A Drop of Hope: Chapter 1
Sudut pandang Fang mengenai 'insiden' di buku Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya. Mungkin akan terlihat OOC, atau aneh, tapi mau bagaimana lagi, karena dialter ke bahasa Indonesia, jadi ada beberapa istilah atau kalimat yang terdengar aneh mungkin. Uh, dan harus diakui kalau menulis dari sudut pandang Fang itu sulit :D.
NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti percakapan pikiran atau pikiran yang diarahkan langsung pada Angel.
Disclaimer: Maximum Ride dan segala sesuatu yang bersangkutan dengannya adalah milik James Patterson.
Disclaimer ini juga untuk chapter-chapter berikutnya. Percakapan dan beberapa kalimat di chapter ini diambil dari Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya halaman 247-250.
A Drop Of Hope
Chapter 1: Before The Date
Minggu-minggu ini adalah hari-hari paling ajaib yang pernah kujalani. Dan itu mengatakan sesuatu, karena datangnya dari orang yang pernah tinggal di kandang anjing, dan menghabiskan waktu menjalani berbagai eksperimen—bukan, bukan yang melakukan eksperimen, tetapi yang menjadi eksperimen―di laboratorium berbau antiseptik yang disebut Sekolah dengan hurup depan kapital S, dan berlari-lari di labirin sambil berusaha menghindari—atau kalau perlu, melawan dan membunuh―manusia serigala―buatan, bukan asli. Oh, jangan lupa, ia juga punya sayap hitam dengan panjang rentang sayap dari kiri ke kanan sekitar tiga belas kaki. Minggu-minggu ini lebih aneh dibanding ketika kami menjadi pelarian, dikejar-kejar mutan terbang, dan mencari-cari gedung tinggi bernama Institut Kehidupan Tinggi yang harus kami hancurkan.
Ini lebih aneh dibanding itu semua.
Hidup kami kembali seperti orang normal.
Benar, mungkin kau akan bilang kalau aku―kami―beruntung, bisa menjalani kehidupan normal seperti manusia lainnya. Dan seharusnya begitu, karena itu adalah hal yang paling kami inginkan. Hidup normal, punya orangtua, punya rumah dengan tempat tidur dan sarapan enak setiap hari, pergi sekolah dan punya banyak teman. Tapi seperti yang kau ketahui, kami ini mutan aneh, hidup berpindah dan tidak punya rutinitas tetap sudah jadi hal yang wajar bagi kami, sehingga hal-hal normal terasa aneh untuk kami, dan sejujurnya, aku tidak begitu senang pergi ke sekolah. Menyebut namanya saja membuatku merinding. Tapi Anne bersikeras bahwa hal ini penting untuk kami.
Jadi, seperti kubilang tadi, hidup kami seperti orang normal, dan seperti baru saja kutekankan, aku tidak begitu antusias dengan prospek pergi ke sekolah, yang sayangnya harus kujalani. Dan minggu-minggu pertama saja sudah penuh insiden dan hal-hal baru yang kami temukan. Aku dan Max secara tidak sengaja menemukan orangtua Iggy, misalnya. Juga beberapa... uh, kejadian tidak terduga. Gazzy dan Iggy sudah beberapa kali membuat ulah dengan menjelajahi beberapa tempat dan meledakkan bom mereka. Mereka juga menemukan beberapa keganjilan. Dan itu sempat membuat kami panik.
Namun besoknya, saat kami kembali ke sekolah, semua berjalan seperti biasa. Kami juga berusaha bersikap biasa, tidak mengundang perhatian, namun tetap waspada penuh. Dan sejauh ini tidak ada guru yang memandang curiga dari balik kacamata tebalnya, atau tiba-tiba meliburkan kelas dan membebaskan pe-er selama seminggu―dengan adanya pengendali pikiran seperti Angel di sekitarmu kau takkan pernah tahu. Nudge diundang ke pesta ulang tahun temannya. Anne berjanji mencarikannya pakaian yang bisa menyembunyikan sayapnya namun tetap terlihat cantik dan normal. Ia sangat antusias sampai-sampai berceloteh sepanjang hari dan membuat kuping semua orang hampir lepas―bahkan earphoneku pun tidak sanggup menghalau suara bernada tingginya menjauh dari telingaku.
Tapi tidak ada di antara hal-hal itu yang lebih aneh―dan lebih membuatku terhenyak dalam hati―dibanding hal paling normal berikut ini, yang tentu saja sangat mungkin terjadi:
Seorang cowok berambut coklat terang bernama Sam mengajak Max kencan.
“Apa?” seru Iggy.
Saat itu makan malam. Semua orang duduk mengelilingi meja makan, menyerang makanan bertumpuk yang dimasak Iggy, dan yang dengan susah payah dimasak Anne. Kecuali aku. Aku sudah menghabiskan bagianku, dan sekarang berdiri bersandar ke lemari es, memperhatikan percakapan di sekitarku dalam diam.
“Aku diajak kencan,” ulang Max dengan suara ‘normal’, tetap melanjutkan makannya dengan tenang.
“Oh, Max!” seru Nudge antusias―yeah, seperti yang ia tak pernah antusias saja.
“Kau bercanda,” ujar Gazzy sambil tertawa, namun berusaha susah payah supaya tidak menyemburkan makanan di mulutnya, sementara Nudge mengerlingnya dengan jijik. Anne tidak akan senang kalau lantainya sampai kotor. “Dasar payah! Apa katanya waktu kau menolaknya?”
Hening melanda ruangan. Tidak ada yang berbicara atau bergerak―aku bahkan hampir curiga tidak ada yang bernapas. Hanya terdengar suara pisau berdenting beradu dengan piring ketika Max memotong steaknya.
“Kau menerimanya ya?” Nudge memecah keheningan.
“Oh, ya Tuhan,” Iggy bergaya mendramatisir, telapak tangannya diletakkan di dahi. “Max berkencan. Kukira kita harus menghindari air mata, kekerasan dan penganiayaan.”
Max mendelik tajam padanya, tapi sebagai bocah burung yang buta, Iggy tentu saja punya kemewahan untuk dengan mudah mengabaikannya.
“Kurasa ini asyik,” kata Angel dengan manis, ikut angkat bicara. “Max cantik. Sudah seharusnya ia berkencan.” Kau juga berpendapat begitu kan, Fang?
Aku merasa ada makna ganda dalam kalimat itu. Jadi aku tidak menjawabnya. Juga karena aku tidak tahu yang mana yang dimaksud Angel, mengenai kalau Max cantik, atau kalau sudah seharusnya Max berkencan. Pendapatku? Menurutku keduanya. Max memang cantik, dan aku setuju kalau sudah seharusnya ia berkencan. Tapi aku tidak sependapat dengan pilihan pasangan kencannya. Ia sama sekali tidak cocok untuk Max!
Tapi tentu saja aku tidak mengatakan hal itu. Alih-alih aku memasang ekspresi kosong seperti biasanya. Dan berusaha tidak mengepalkan tanganku dengan keras sampai buku-buku jariku memutih, untuk menahan diriku dari meninju sesuatu, lebih disukai kalau anak laki-laki berambut coklat terang yang jadi samsak tinjuku.
Kalau begitu menurutmu siapa yang cocok berkencan dengan Max, Fang?
Ugh, aku lupa bahwa di sekitarku ada Angel, yang berarti seharusnya aku tidak boleh lengah dengan apa yang ada di benakku. Tapi seharusnya ia memang tidak boleh menginvasi pikiran orang lain. Dasar pembaca pikiran kecil―Uh, maaf Angel...
Tidak apa-apa, Fang.
Dan tolong jangan baca pikiranku, tambahku sesingkat mungkin pada Angel, berusaha menjaga kalimatku tetap pendek-pendek.
Oke. Jawaban itu datang agak terlambat, tapi tetap diucapkan. Aku menghembuskan napas yang tak sadar kutahan dalam hati, lega karena benakku sekali lagi aman―mungkin.
“Dan apa yang akan kaupakai?” suara Anne membawaku kembali ke kenyataan. Ia bertanya pada Max sambil tersenyum, mungkin antusias karena mendapat boneka barbie untuk didandani. Max yang malang.
“Tidak tahu,” gumam Max pelan, wajahnya memerah. Mungkin ia malu karena tidak punya ide sama sekali apa yang harus dilakukannya di kencan pertamanya. Atau mungkin karena semua orang mengomentarinya.
Sadarkah kau siapa yang sama sekali tidak berkomentar?
Benar.
***
“Anggap saja ini misi pengamatan.”
Sekarang sekitar satu sampai beberapa puluh menit sebelum pasangan kencan Max datang. Aku bersandar di pintu kamar Max, sementara ia bersiap-siap untuk kencannya yang akan mulai sebentar lagi. Ia bolak-balik memperhatikan refleksinya di cermin meja rias.
“Apa?” katanya, nadanya jelas-jelas tersinggung, mungkin mengira aku menganggapnya gugup―yang mana memang benar. “Aku baik-baik saja.” Sudut-sudut mulutku terangkat sepersekian milimeter, heran sekaligus geli dengan fakta bahwa ia tersinggung. Memangnya aku bilang apa, eh? Aku memperhatikannya menarik kausnya dan mengenakan jaket bertudung agak kebesaran yang menyembunyikan sayap-sayapnya. Sayang sekali disembunyikan, padahal menurutku sayap-sayap itu cantik. Tapi tanpa sayap-sayap itupun, apapun yang Max kenakan, ia tetap cantik...
Dan sekali lagi, karena aku adalah aku, maka tentu saja aku tidak mengatakan hal itu, tapi sebagai gantinya malah...
“He-eh. Biasanya jika kau tampak seperti itu, aku tahu kau bakal muntah.” Senyum mikroskopisku berkembang jadi seringai.
Kerja yang bagus, Fang. Sepertinya kau bisa berharap dia meninju pipimu dalam dua detik mendatang.
Tik. Tik.
Ah, rupanya tidak. Suatu keberuntungan. Tapi aneh sekali. Mungkin ia tidak mau dandanannya rusak? Biasanya anak perempuan hanya peduli pada hal itu―bukan berarti peraturan itu berlaku pada Max. Sekarang saja ia tidak mengenakan make up sama sekali. Dan ia tetap tampak... Ya, ya, pikiran, sebaiknya kau menyingkir sebentar. Kembali ke mengapa Max tidak meninjuku. Mungkin ia terlalu senang hari ini sampai-sampai komentar sarkastisku tidak merusak harinya?
Tapi aku tidak sarkastis tanpa alasan, dan aku memang mengatakan yang sebenarnya. Ia tampak seperti mau muntah (Sekali lagi aku ingin tahu apakah itu karena ia sangat antusias, atau sebaliknya?). Hampir setiap detik berada di sekitarnya membuatku bisa memprediksikannya dengan baik. Berbeda denganku, ia dengan mudah hampir selalu bisa dibaca.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya kaku. Ia terdiam sejenak, agak mengerutkan kening. Sebagai sahabat baiknya yang sudah bersamanya hampir seumur hidupnya, aku tahu bahwa ia sedang memutuskan sesuatu. Atau sedang berdebat dengan Suara di kepalanya untuk memutuskan sesuatu. Ya, Max punya Suara di kepalanya, kau tidak punya? Wah, kejutan besar. Mungk―
Bel pintu berdering, memotong laju pikiranku, sekaligus mengakhiri perdebatan batin Max. Aku segera membenahi ekspresiku dan tersenyum jail, lalu mendahului berjalan menuju lantai bawah.
Oh, waktu, ayo cepatlah berlalu.
Labels: fiction
Sudut pandang Fang mengenai 'insiden' di buku Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya. Mungkin akan terlihat OOC, atau aneh, tapi mau bagaimana lagi, karena dialter ke bahasa Indonesia, jadi ada beberapa istilah atau kalimat yang terdengar aneh mungkin. Uh, dan harus diakui kalau menulis dari sudut pandang Fang itu sulit :D.
NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti percakapan pikiran atau pikiran yang diarahkan langsung pada Angel.
Disclaimer: Maximum Ride dan segala sesuatu yang bersangkutan dengannya adalah milik James Patterson.
Disclaimer ini juga untuk chapter-chapter berikutnya. Percakapan dan beberapa kalimat di chapter ini diambil dari Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya halaman 247-250.
A Drop Of Hope
Chapter 1: Before The Date
Minggu-minggu ini adalah hari-hari paling ajaib yang pernah kujalani. Dan itu mengatakan sesuatu, karena datangnya dari orang yang pernah tinggal di kandang anjing, dan menghabiskan waktu menjalani berbagai eksperimen—bukan, bukan yang melakukan eksperimen, tetapi yang menjadi eksperimen―di laboratorium berbau antiseptik yang disebut Sekolah dengan hurup depan kapital S, dan berlari-lari di labirin sambil berusaha menghindari—atau kalau perlu, melawan dan membunuh―manusia serigala―buatan, bukan asli. Oh, jangan lupa, ia juga punya sayap hitam dengan panjang rentang sayap dari kiri ke kanan sekitar tiga belas kaki. Minggu-minggu ini lebih aneh dibanding ketika kami menjadi pelarian, dikejar-kejar mutan terbang, dan mencari-cari gedung tinggi bernama Institut Kehidupan Tinggi yang harus kami hancurkan.
Ini lebih aneh dibanding itu semua.
Hidup kami kembali seperti orang normal.
Benar, mungkin kau akan bilang kalau aku―kami―beruntung, bisa menjalani kehidupan normal seperti manusia lainnya. Dan seharusnya begitu, karena itu adalah hal yang paling kami inginkan. Hidup normal, punya orangtua, punya rumah dengan tempat tidur dan sarapan enak setiap hari, pergi sekolah dan punya banyak teman. Tapi seperti yang kau ketahui, kami ini mutan aneh, hidup berpindah dan tidak punya rutinitas tetap sudah jadi hal yang wajar bagi kami, sehingga hal-hal normal terasa aneh untuk kami, dan sejujurnya, aku tidak begitu senang pergi ke sekolah. Menyebut namanya saja membuatku merinding. Tapi Anne bersikeras bahwa hal ini penting untuk kami.
Jadi, seperti kubilang tadi, hidup kami seperti orang normal, dan seperti baru saja kutekankan, aku tidak begitu antusias dengan prospek pergi ke sekolah, yang sayangnya harus kujalani. Dan minggu-minggu pertama saja sudah penuh insiden dan hal-hal baru yang kami temukan. Aku dan Max secara tidak sengaja menemukan orangtua Iggy, misalnya. Juga beberapa... uh, kejadian tidak terduga. Gazzy dan Iggy sudah beberapa kali membuat ulah dengan menjelajahi beberapa tempat dan meledakkan bom mereka. Mereka juga menemukan beberapa keganjilan. Dan itu sempat membuat kami panik.
Namun besoknya, saat kami kembali ke sekolah, semua berjalan seperti biasa. Kami juga berusaha bersikap biasa, tidak mengundang perhatian, namun tetap waspada penuh. Dan sejauh ini tidak ada guru yang memandang curiga dari balik kacamata tebalnya, atau tiba-tiba meliburkan kelas dan membebaskan pe-er selama seminggu―dengan adanya pengendali pikiran seperti Angel di sekitarmu kau takkan pernah tahu. Nudge diundang ke pesta ulang tahun temannya. Anne berjanji mencarikannya pakaian yang bisa menyembunyikan sayapnya namun tetap terlihat cantik dan normal. Ia sangat antusias sampai-sampai berceloteh sepanjang hari dan membuat kuping semua orang hampir lepas―bahkan earphoneku pun tidak sanggup menghalau suara bernada tingginya menjauh dari telingaku.
Tapi tidak ada di antara hal-hal itu yang lebih aneh―dan lebih membuatku terhenyak dalam hati―dibanding hal paling normal berikut ini, yang tentu saja sangat mungkin terjadi:
Seorang cowok berambut coklat terang bernama Sam mengajak Max kencan.
“Apa?” seru Iggy.
Saat itu makan malam. Semua orang duduk mengelilingi meja makan, menyerang makanan bertumpuk yang dimasak Iggy, dan yang dengan susah payah dimasak Anne. Kecuali aku. Aku sudah menghabiskan bagianku, dan sekarang berdiri bersandar ke lemari es, memperhatikan percakapan di sekitarku dalam diam.
“Aku diajak kencan,” ulang Max dengan suara ‘normal’, tetap melanjutkan makannya dengan tenang.
“Oh, Max!” seru Nudge antusias―yeah, seperti yang ia tak pernah antusias saja.
“Kau bercanda,” ujar Gazzy sambil tertawa, namun berusaha susah payah supaya tidak menyemburkan makanan di mulutnya, sementara Nudge mengerlingnya dengan jijik. Anne tidak akan senang kalau lantainya sampai kotor. “Dasar payah! Apa katanya waktu kau menolaknya?”
Hening melanda ruangan. Tidak ada yang berbicara atau bergerak―aku bahkan hampir curiga tidak ada yang bernapas. Hanya terdengar suara pisau berdenting beradu dengan piring ketika Max memotong steaknya.
“Kau menerimanya ya?” Nudge memecah keheningan.
“Oh, ya Tuhan,” Iggy bergaya mendramatisir, telapak tangannya diletakkan di dahi. “Max berkencan. Kukira kita harus menghindari air mata, kekerasan dan penganiayaan.”
Max mendelik tajam padanya, tapi sebagai bocah burung yang buta, Iggy tentu saja punya kemewahan untuk dengan mudah mengabaikannya.
“Kurasa ini asyik,” kata Angel dengan manis, ikut angkat bicara. “Max cantik. Sudah seharusnya ia berkencan.” Kau juga berpendapat begitu kan, Fang?
Aku merasa ada makna ganda dalam kalimat itu. Jadi aku tidak menjawabnya. Juga karena aku tidak tahu yang mana yang dimaksud Angel, mengenai kalau Max cantik, atau kalau sudah seharusnya Max berkencan. Pendapatku? Menurutku keduanya. Max memang cantik, dan aku setuju kalau sudah seharusnya ia berkencan. Tapi aku tidak sependapat dengan pilihan pasangan kencannya. Ia sama sekali tidak cocok untuk Max!
Tapi tentu saja aku tidak mengatakan hal itu. Alih-alih aku memasang ekspresi kosong seperti biasanya. Dan berusaha tidak mengepalkan tanganku dengan keras sampai buku-buku jariku memutih, untuk menahan diriku dari meninju sesuatu, lebih disukai kalau anak laki-laki berambut coklat terang yang jadi samsak tinjuku.
Kalau begitu menurutmu siapa yang cocok berkencan dengan Max, Fang?
Ugh, aku lupa bahwa di sekitarku ada Angel, yang berarti seharusnya aku tidak boleh lengah dengan apa yang ada di benakku. Tapi seharusnya ia memang tidak boleh menginvasi pikiran orang lain. Dasar pembaca pikiran kecil―Uh, maaf Angel...
Tidak apa-apa, Fang.
Dan tolong jangan baca pikiranku, tambahku sesingkat mungkin pada Angel, berusaha menjaga kalimatku tetap pendek-pendek.
Oke. Jawaban itu datang agak terlambat, tapi tetap diucapkan. Aku menghembuskan napas yang tak sadar kutahan dalam hati, lega karena benakku sekali lagi aman―mungkin.
“Dan apa yang akan kaupakai?” suara Anne membawaku kembali ke kenyataan. Ia bertanya pada Max sambil tersenyum, mungkin antusias karena mendapat boneka barbie untuk didandani. Max yang malang.
“Tidak tahu,” gumam Max pelan, wajahnya memerah. Mungkin ia malu karena tidak punya ide sama sekali apa yang harus dilakukannya di kencan pertamanya. Atau mungkin karena semua orang mengomentarinya.
Sadarkah kau siapa yang sama sekali tidak berkomentar?
Benar.
***
“Anggap saja ini misi pengamatan.”
Sekarang sekitar satu sampai beberapa puluh menit sebelum pasangan kencan Max datang. Aku bersandar di pintu kamar Max, sementara ia bersiap-siap untuk kencannya yang akan mulai sebentar lagi. Ia bolak-balik memperhatikan refleksinya di cermin meja rias.
“Apa?” katanya, nadanya jelas-jelas tersinggung, mungkin mengira aku menganggapnya gugup―yang mana memang benar. “Aku baik-baik saja.” Sudut-sudut mulutku terangkat sepersekian milimeter, heran sekaligus geli dengan fakta bahwa ia tersinggung. Memangnya aku bilang apa, eh? Aku memperhatikannya menarik kausnya dan mengenakan jaket bertudung agak kebesaran yang menyembunyikan sayap-sayapnya. Sayang sekali disembunyikan, padahal menurutku sayap-sayap itu cantik. Tapi tanpa sayap-sayap itupun, apapun yang Max kenakan, ia tetap cantik...
Dan sekali lagi, karena aku adalah aku, maka tentu saja aku tidak mengatakan hal itu, tapi sebagai gantinya malah...
“He-eh. Biasanya jika kau tampak seperti itu, aku tahu kau bakal muntah.” Senyum mikroskopisku berkembang jadi seringai.
Kerja yang bagus, Fang. Sepertinya kau bisa berharap dia meninju pipimu dalam dua detik mendatang.
Tik. Tik.
Ah, rupanya tidak. Suatu keberuntungan. Tapi aneh sekali. Mungkin ia tidak mau dandanannya rusak? Biasanya anak perempuan hanya peduli pada hal itu―bukan berarti peraturan itu berlaku pada Max. Sekarang saja ia tidak mengenakan make up sama sekali. Dan ia tetap tampak... Ya, ya, pikiran, sebaiknya kau menyingkir sebentar. Kembali ke mengapa Max tidak meninjuku. Mungkin ia terlalu senang hari ini sampai-sampai komentar sarkastisku tidak merusak harinya?
Tapi aku tidak sarkastis tanpa alasan, dan aku memang mengatakan yang sebenarnya. Ia tampak seperti mau muntah (Sekali lagi aku ingin tahu apakah itu karena ia sangat antusias, atau sebaliknya?). Hampir setiap detik berada di sekitarnya membuatku bisa memprediksikannya dengan baik. Berbeda denganku, ia dengan mudah hampir selalu bisa dibaca.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya kaku. Ia terdiam sejenak, agak mengerutkan kening. Sebagai sahabat baiknya yang sudah bersamanya hampir seumur hidupnya, aku tahu bahwa ia sedang memutuskan sesuatu. Atau sedang berdebat dengan Suara di kepalanya untuk memutuskan sesuatu. Ya, Max punya Suara di kepalanya, kau tidak punya? Wah, kejutan besar. Mungk―
Bel pintu berdering, memotong laju pikiranku, sekaligus mengakhiri perdebatan batin Max. Aku segera membenahi ekspresiku dan tersenyum jail, lalu mendahului berjalan menuju lantai bawah.
Oh, waktu, ayo cepatlah berlalu.
Labels: fiction
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home