<body> my scribbled notes

Friday, March 27, 2009

A Drop Of Hope: Chapter 3

NOTE: Kalimat/kata-kata yang dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti flashback.

Disclaimer: Lihat chapter 1

Percakapan dan beberapa kalimat di chapter ini diambil dari Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya halaman 208-209 dan halaman 256-262.


A Drop Of Hope

Chapter 3: After The Date

Suara mesin mobil yang menderu terdengar di halaman rumah Anne. Lalu beberapa detik kemudian mobil itu berhenti, dan dari dalamnya keluar dua orang berambut pirang dan coklat terang. Mobil Sam―itu nama pasangan kencan Max, kalau kau lupa. Bukan Sam yang mengemudi tentu, karena ia belum cukup umur. Kakaknya yang hanya sekitar dua tahun lebih tua dari Sam yang mengemudi. Sam mengantar Max sampai teras depan rumah Anne.

Kau tanya padaku, aku tahu dari mana?

Tentu saja aku tahu, karena aku sekarang sedang melihat dari jendela kamarku di lantai atas. Kamar ini memiliki pemandangan paling jelas ke arah teras. Untung saja ada tirai di jendela ini, sehingga aku tidak terlihat dari luar dan bisa dituduh memata-matai. Apakah aku memata-matai? Tentu saja tidak. Aku cuma... mengawasi.

Aku menyipitkan mata dan menajamkan pendengaranku yang setajam penglihatan dan pendengaran elang―haha, yeah, ironi. Ngomong-ngomong, aku ini gagak―dan dengan segera aku bisa mendengar percakapan di bawah, sejelas kalau aku berdiri di balik pintu depan dan menempelkan telingaku di daun pintu.

“Terima kasih,” kata Max, dari nadanya terdengar canggung. “Aku sangat menikmati malam ini.”

“Aku juga,” sahut Sam. “Kau tidak seperti cewek-cewek lain yang kukenal.” Betul sekali, Bung.

“Apakah itu bagus atau jelek?” ujar Max, sedikit waspada.

“Bagus. Sangat bagus.” Sam melontarkan senyum yang mungkin dianggapnya paling menawan. Lalu tanpa aba-aba, ia mendekati Max. Diletakkannya satu tangannya di bahu Max, dan yang lainnya di bawah dagu gadis pirang itu. Lalu Sam menciumnya. Dengan mudah, tanpa harus menunduk atau menekuk lutut, karena Max hampir sama tingginya dengan Sam. Mata Max melebar saat itu. Ciuman itu singkat saja, dan Sam memundurkan kepalanya untuk melihat reaksi Max.

Ekspresi Max tidak menunjukkan keresahan, maka ia mendekatkan kepalanya dan mencium Max lagi, memiringkan kepalanya agar lebih 'nyaman' dan mudah saat menciumnya. Kedua tangannya perlahan memeluk pinggang Max. Mungkin Sam bisa mencium dengan baik, karena Max memejamkan matanya dan menerimanya. Sepertinya ia menikmatinya sama seperti Sam. Aku? Aku menggenggam besi kepala tempat tidurku sampai buku-buku jariku memutih, membuat besi itu hampir penyok. Semoga Anne tidak memeriksa kamarku. Oh tunggu, ia memang tidak pernah memeriksa kamarku.

Aku melompat refleks ketika mendengar suara klakson dari arah bawah, merasa agak jengkel. Tapi sebagian lagi merasa puas, karena klakson itu juga membuat mereka saling melepaskan diri dan mengakhiri ciuman mereka. Mereka sama-sama membelalakkan mata terkejut, lalu tertawa kecil.

“Wow,” kata Sam.

Wow sama sekali tidak menggambarkan Max secara tepat. Wow sama sekali tidak cukup untuk menggambarkan Max―dan ciumannya―secara benar. Itu bisa dibilang penghinaan. Tapi aku juga tidak bisa menyebutkan kata yang tepat untuk itu. Jadi kata wow mungkin bisa mendeskripsikannya sedikit . Kau tanya padaku, aku tahu dari mana? Tentu saja aku tahu, karena aku pernah merasakannya. Walaupun saat itu aku bisa dibilang sekarat. Walaupun bibirku pecah-pecah setelah dihajar mutan manusia-serigala. Walaupun responku saat itu adalah 'Ouch!'. Walaupun mungkin itu hanya kecelakaan. Atau insting...

Max menganggukkan kepalanya ke arah Sam, menyetujui. “Kau sebaiknya pergi,” ujarnya. “tapi terima kasih sekali lagi, untuk semuanya. Hari ini menyenangkan sekali.” Max terlalu baik. Aku yakin kencan mereka tidak semenyenangkan itu... Atau memang sangat menyenangkan?

“Ya.” Sam mencondongkan tubuhnya ke arah Max perlahan, sepertinya berniat menciumnya lagi. Besi kepala tempat tidurku sudah hampir patah. Tapi klakson berbunyi lagi, kakaknya sepertinya sudah tidak sabar untuk pulang. Jadi dengan itu, Sam―dengan wajah penuh penyesalan―berjalan menuju mobilnya, dan hanya mengucapkan satu kalimat lagi sebelum memasuki mobilnya. “Sampai jumpa besok!”

Aku sempat mendengar suara “Ya,” pelan dari Max, sebelum menjauhi jendela dan terduduk di ujung tempat tidurku lagi.

***

Aku menunggu dalam kamarku hingga terdengar langkah-langkah sunyi Max menaiki tangga, dan derit pelan pintu pintu kamarnya menutup. Aku diam tak bergerak selama beberapa menit, lalu melangkah keluar kamarku. Tentu saja setelah memastikan ekspresiku normal, dan normal dalam kamusku berarti tanpa ekspresi untuk kalian, atau hanya sedikit ekspresi―kebanyakan terkesan mengejek atau menggoda―untuk Max.

Kudorong pelan pintu kamarnya yang ternyata tidak ditutup rapat, dan kulongokkan kepalaku. “Wow, cahaya kebahagiaanku. Bikin aku silau,” kataku sambil masuk, berlagak melindungi mataku dengan tangan.

Max memutar bola matanya bosan, bisa kulihat dari sela-sela jariku yang menutupi mata. Ia mengguncang bahu dan sayap-sayapnya, setelah melepas jaket bertudungnya. Aku tahu kalau ia pasti lelah setelah semalaman menahan keras sayap-sayapnya. Rahasia kami tidak boleh sampai ketahuan siapa-siapa, atau kami harus pindah lagi. Sepertinya Max berhasil menutupinya, karena ekspresi Sam saat pergi tadi terlihat bahagia dan bersemangat, bukannya tampak ngeri atau histeris.

Biarpun aku setengah berharap reaksi yang terakhirlah yang muncul di wajah Sam.

“Mereka ingin tetap tetap terjaga untuk menunggumu, tapi Anne menyuruh mereka tidur,” kataku sambil menutup pintu, dan melangkah ke arahnya.

"Anne bertindak tepat," katanya.

"Jadi, bagaimana?" aku sampai ke dekatnya, dan bersandar ke meja belajarnya dengan posisi kedua lenganku terlipat di dada. Aku berusaha menenangkan diri, namun aku tak bisa menghindari adanya nada aneh dalam suaraku. Nada penasaran, menuduh, marah, sedih, cemburu―entahlah, aku tak tahu yang mana. Max sepertinya mendeteksi nada itu―meskipun tidak tahu artinya―dan menengadah menatapku. Untungnya wajahku lebih bisa diajak bekerja sama. Ekspresiku kosong tak terbaca. Uh-oh, sepertinya tidak. Aku merasakan mataku agak menegang, dan otot rahangku berkedut, seakan ingin digerakkan untuk menggigit kaki seseorang. Kau tahu siapa yang kumaksud. Apakah Max menyadarinya juga?

"Aku melihat dia―apa istilahnya? Oh ya―'menempel seperti perangko'. Jadi kurasa kalian cocok," tambahku kaku, berusaha mengalihkan perhatiannya dari ekspresi fasialku. Tidak berhasil, itu malah membuatku makin kesal dan tegang. Dan makin menampakkan kalau aku memang menunggunya pulang. Dan mengawasi pertukaran salamnya dengan Sam. Makin menunjukkan kalau aku gelisah. Cemburu.

Max masih memandangiku, kemungkinan besar berusaha menebak apa yang ada di pikiranku. Untung saja ia bukan pembaca pikiran.

"Ya," katanya akhirnya. Ditendangnya sepatunya sampai lepas, dan ia menunduk, sepertinya malu. "Banyak kejadian seperti itu di sini."

Aku berpindah dari tempatku berdiri, duduk di sebelahnya. Kusandarkan punggungku pada kepala tempat tidur. "Jadi kau menyukainya. Aku tidak perlu membunuhnya." Suaraku masih saja tegang. Dan sedikit pasrah, yang dengan amat baik berhasil kusembunyikan kali ini.

Max mengangkat bahunya. "Ya, dia baik sekali. Kami bersenang-senang." Tapi senyum kecil―sangat kecil sampai-sampai aku akan melewatkannya kalau aku tidak memperhatikannya baik-baik―muncul di wajahnya.

"Tapi...?" tanyaku menggantung.

"Tapi memang kenapa?" Senyum mikroskopisnya menghilang. Ia menggosok-gosok pelipisnya dengan kedua telunjuknya. "Dia bisa saja cowok paling baik di dunia, tapi itu tak mengubah apa-apa. Aku tetap mutan aneh. Kita tetap berada dalam situasi yang setiap hari semakin kubenci. Kita tidak bisa mempercayai siapa-siapa. Kita tidak bisa memecahkan misteri kode. Kita tidak bisa menemukan orangtua kita―belum tentu juga ada gunanya juga kalau kita menemukan mereka."

Aku terdiam, menunduk merenungi kata-katanya. Apa yang dikatakannya memang benar.

"Aku melihat Ari malam ini," katanya, dan kepalaku otomatis terangkat, memandang ke arahnya. "Dia berdiri di luar toko es krim. Dia tersenyum padaku. Dan ada seseorang bersamanya..." "Aku melihat―" ia berhenti sejenak, berpikir.

Ia menoleh lambat-lambat ke arahku dan berkata, "Ari membawaku bersamanya. Aku ada di luar jendela." Aku mengerjapkan mataku. Tidak percaya.

"Aku melihat sekelebat rambut belang pirang di van pada hari mereka menyerang kita," jelasnya. "Dan malam ini aku melihat rambut yang sama, di luar bersama Ari. Aku mengira itu bayanganku sendiri di jendela. Tapi itu bukan bayangan. Itu aku."

Aku hanya mendengarkan sambil lalu. Otakku terus berpikir, memutar kembali kata-kata Max, "Aku ada di luar jendela. Itu bukan bayangan. Itu aku." Ada... Max lain? Seakan satu Max saja kurang rumit. Sekarang ada satu lagi, dan yang ini jahat. Apa yang akan terjadi kalau ada dua Max, dan keduanya berlawanan? Apakah aku akan bisa mengenali salah satunya sebagai Max-ku? Ya, tentu saja aku akan bisa mengenali Max-ku. Max-ku. Aku suka bunyi kata itu.

"Astaga," ujarku akhirnya, masih berusaha menelaahnya di benakku. "Max di sisi gelap. Hal terburuk yang bisa kupikirkan. Tuhanku. Satu Max lagi. Max yang jahat. Sial."

"Itu belum semuanya," katanya pelan. Masih ada lagi? Ilmuwan-ilmuwan gila itu tak pernah membiarkan kami beristirahat, ya? Oh, menyenangkan sekali. Bagi yang tidak tahu, aku mengatakannya―err, memikirkannya―dengan nada sarkastis. "Kau tahu saat aku bilang padamu jika aku berubah manjadi jahat, aku ingin kau―melakukan apa yang harus kaulakukan, biar yang lain-lain aman?"

"Ya." Aku menatapnya waspada. Aku masih mengingat permintaannya saat itu. Dan biarpun hatiku berat, aku terpaksa mengangguk. Bukan berarti aku harus menepatinya pada saatnya. Aku pemegang janji yang teguh, tapi aku tidak tahu apakah aku sanggup melakukan hal itu pada Max.

"Alasan aku meminta itu padamu adalah..." ia menarik napas dalam-dalam dan memalingkan wajahnya. "Dua kali, ketika aku menatap cermin, aku―melihat diriku berubah. Menjadi Pemusnah."

Aku tak mengucapkan apa-apa. Aku tak bisa mengucapkan apa-apa.

"Aku menyentuh wajahku, dan rasanya sama saja. Seperti manusia, mulus. Tapi cermin menampakkan aku sebagai Pemusnah." Ia menunduk. Malu? Kenapa dia harus malu? Itu bukan kesalahannya.

Keheningan menguasai kami berdua. Mungkin sudah berabad-abad berlalu sebelum ada yang memecah keheningan ini. Mungkin hanya berlangsung dua detik. Waktu sekali lagi mempermainkanku. Kami berdua tidak bergerak.

"Aku berani taruhan kau mirip anjing Peking," kataku akhirnya sambil mendesah pelan.

Max menoleh cepat. "Apa?"

"Berani taruhan kau tampak seperti cewek anjing yang manis," ulangku. Lalu dengan main-main, aku menyeringai lebar menampakkan gigi-gigiku yang putih seolah mempunyai Fang―taring. "Rarrr!" geramku pelan, lalu mengangkat kedua tanganku pura-pura menerkamnya.

Max memukul kepalaku. Aku menghindar, lalu tertawa. Ia melompat berdiri, ekspresinya marah karena aku malah main-main. Aku mengangkat kedua tanganku lagi, namun kini dengan sikap menyerah. Tubuhku gemetar karena aku masih tertawa. Aku berusaha meredamnya, yang baru berhasil beberapa detik kemudian.

"Dengar," ujarku, memasang wajah serius. Bukan wajah kosong sehingga tampak serius, tapi wajah dengan emosi serius. Kau menangkap maksudku? "Aku tahu kau bukan Pemusnah. Aku tidak tahu kenapa kau melihatnya di cermin, dan aku tak tahu siapa Max yang satu lagi, tapi aku tahu siapa dirimu, sampai ke tulang-tulangnya. Dan kau bukan Pemusnah. Dan bahkan jika aku melihatmu sebagai Pemusnah, aku akan tetap mengenalimu. Aku tahu kau tidak jahat, tidak peduli seperti apapun rupamu."

"Terima kasih," katanya serak.

"Kau baik-baik saja," ujarku lirih, berdiri dua inchi darinya, mengusap-usap rambutnya. Betapa aku ingin mempersempit jarak itu dan mendekapnya, membisikkan lebih banyak kata-kata penghiburan, menghapus kekhawatirannya.

"Jangan berani memasukkan ini ke blog-mu," Max mengancam tiba-tiba. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya sedetikpun."

"Jangan sok penting deh," kataku kembali ke diriku semula―yang berarti aku kembali sarkastis―lalu berbalik meninggalkan kamarnya. Begitu pintunya tertutup, aku tersenyum lebar. Aku tahu bahwa ia sudah baik-baik saja.

-

Aku duduk di lantai, bersandar di tempat tidurku. Kepalaku menunduk, disangga oleh kedua telapak tanganku yang sikunya berbenturan dengan lututku. Aku tak tahu apa yang harus kupikirkan lagi.

Aku tahu, aku tahu. Seharusnya aku memikirkan tentang cara membantu Max memastikan anak-anak yang lain aman. Memastikan para Pemusnah itu tidak kembali mengejar dan menyerang kami. Aku seharusnya mencari tahu soal Ari dan Max yang jahat yang kemungkinan telah diciptakan. Atau memeriksa dan merasa resah apakah benar Max akan menjadi Pemusnah.

Tapi bukan itu yang ada di pikiranku sekarang.

Yang terbayang di benakku adalah senyum lembut Max saat mengatakan kalau kencannya menyenangkan, dan saat ia mengatakan kalau Sam baik sekali. Juga saat Sam dan Max berciuman di teras, tak berpisah selama beberapa detik, dan mungkin takkan berpisah kalau mereka tidak harus bernapas dan tidak ada suara klakson yang dibunyikan kakaknya Sam. Mungkin Sam memang baik sekali, memperlakukan Max seperti yang Max inginkan, seperti seorang perempuan atau semacamnya.

Mungkin Max memang menyukai Sam.

Dan aku tidak menyukai hal itu. Aku membencinya. Dan aku membenci diriku sendiri karena membenci kebahagiaan Max.

Tapi aku juga ingat ekspresi lelahnya, juga kata-katanya, bahwa dia ini―kami semua―adalah mutan aneh, dan dengan begitu tidak akan pernah mendapat kesempatan hidup tenang. Kami tidak bisa mempercayai siapapun. Hal sehari-hari yang kami lalui hanyalah eksperimen. Pengejaran. Penangkapan. Pelarian. Begitu seterusnya. Hal itu tidak bisa dihindari, bagaimanapun kami membencinya.

Aku sedih untuknya mengenai hal itu. Untuk kami semua.

Aku sedih untuk Max yang tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh dengan normal seperti remaja lainnya. Ia dipaksa dewasa lebih cepat dan mengurus anak-anak lain yang lebih muda. Walau mungkin rasa sedihku tak berguna juga. Ia sendiri sudah terlalu terbiasa dengan tahtanya itu. Posisinya sebagai ibu kami memang sangat dinikmatinya, ia telah dekat dengan setiap individu dalam kawanan kami.

Aku jadi teringat dengan kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat ia marah karena merasa posisinya sebagai ibu 'direbut' oleh Anne.

.

.

"Kau petarung, bukan ibu." Aku mengangkat bahu.

"Aku tidak bisa jadi dua-duanya? Kaupikir aku ibu yang payah? Apa, karena aku kurang feminin, begitu? Tidak seperti gadis berambut merah itu, yang menempel padamu seperti lem!" Ekspresinya sakit hati, sampai-sampai aku hampir menyesal mengatakan hal sebelumnya itu. Dan kalimat terakhirnya barulah terpahami olehku. Max... melihatnya?

Aku terlalu termakan pikiran itu, aku bahkan tidak merasakan saat ia mendorongku kuat-kuat.

Tapi hanya sebentar.

Karena aku adalah aku, Fang yang tidak sensitif dan dingin, aku balas mendorongnya sampai hampir membentur dinding. Max nampaknya sangat marah, wajahnya memerah. Rasa bersalah segera merayapiku. Aku ingin sekali berlutut dan meminta maaf. Tapi egoku terlalu besar untuk melakukan itu. Sebagai gantinya, aku berjalan pelan mendekatinya, hingga wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajahku.

"Kau cukup feminin," kataku lirih. "Seingatku." Aku teringat saat ia menciumku di pantai itu. Saat aku tergeletak di ambang kematian. Saat dalam sedetik aku tidak merasakan sakit sama sekali, hanya kelembutan bibirnya menekan bibirku yang pecah.

Wajahnya semakin memerah, dan ia menggertakkan giginya.

"Dan selama ini kau ibu yang hebat. Tapi kau baru empat belas tahun, dan mestinya kau tidak harus jadi ibu. Beri dirimu waktu sepuluh tahun." Kalau diterjemahkan: kau bisa jadi ibu untuk anak-anakmu. Aku berjalan menuju kamarku, menyenggol bahunya saat melewatinya.

"Omong-omong," kataku dari ujung lorong, tepat sebelum aku memasuki kamarku. "Aku membuat blog. Aku menggunakan komputer sekolah. Melanggar peraturan, tentu saja. Blog Fang." Aku terkekeh, merasa sedikit konyol. "Coba kaulihat sekali-sekali... Mom."

.

.

Apa artinya itu?

Kalau aku merenungkannya lagi sekarang, Max menunjukkan reaksi yang terlalu berlebihan saat itu. Dan dia terlihat tidak suka saat memergoki aku berciuman dengan Lissa. Aku memang merasa bersalah sudah membuatnya tidak nyaman seperti itu, tapi diam-diam rasa puas muncul bersamanya. Mungkin Max cemburu karena aku mencium Lissa? Dan Max tidak hampir tidak pernah semerah itu. Apa mungkin selain dia marah, dia juga... malu?

Aku tersenyum kecil ke dalam telapak tanganku. Aku ini benar-benar idiot. Dan aku malah tersenyum begitu menyadari bahwa aku idiot. Sheesh. Tapi aku tetap senang.

Mungkin sebenarnya aku masih punya setitik harapan kalau Max sebenarnya mencintaiku.

Atau tidak.

Max sudah mengatakan, bahwa hidup kami tak pernah tenang. Takkan ada waktu untuk hal-hal seperti ini. Kami takkan menetap, dan kami akan terus berada dalam situasi membahayakan. Kami akan terus dalam pelarian. Meskipun tidak selamanya. Mungkin suatu saat, saat Max sudah menyelamatkan dunia, hidup kami bisa menjadi normal lagi.

Tapi apapun yang terjadi, aku akan menggunakan sebaik mungkin kesempatan yang kumiliki. Aku akan melewatkan setiap waktuku untuk berasa di sisinya, selama ia menginginkanku. Bahkan meskipun hanya sebagai saudaranya. Teman baiknya. Tangan kanan kepercayaannya. Itu sudah cukup bagiku.

Perasaanku padanya tidak akan pernah berubah. Karena perasaan seorang bocah burung sepertiku, sekali ditetapkan, maka ia terpatri kuat di di atas batu. Atau begitulah anggapanku. Paling tidak begitulah perasaanku.

Bukan berarti aku akan mengatakan perasaanku padanya. Seperti kubilang sebelumnya, tidak hari ini, tidak besok, tidak sampai seribu tahun mendatang.

Oh, baiklah, mungkin aku akan mengatakannya, tapi yang jelas, tidak dalam waktu dekat.


A/N: Err... Endingnya begitu sajalah. Saya tidak ahli bikin ending.

Curhat colongan, saya ga suka sama yang namanya Lissa. Eww, dia merebut Fang dari Max. T_T.

Labels:

lily at

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home