<body> my scribbled notes

Friday, March 27, 2009

Hiding In The Dark Corner: Chapter 12

NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti pikiran seseorang.

Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson.


Chapter 12
TF: After Confrontation

Max POV

Hari Senin.

Ada ungkapan yang popular di kalangan err… manusia normal. 'Aku benci Senin'. Aku tidak begitu mengerti dengan ungkapan itu, karena selama kami di pelarian dulu, saat berusaha “menyelamatkan dunia” kami tidak harus tahu hari apa hari ini. Setelah cabang-cabang Itex kami hancurkan, kamipun hanya berpindah-pindah tempat, mengunjungi tempat-tempat yang menarik, dan kami tidak harus mempedulikan waktu. Aku bahkan hampir tidak sadar kalau kami berkeliling tanpa arah selama hampir tiga tahun. Intinya, aku tidak begitu mengerti, kenapa orang-orang benci hari Senin. Bagiku hari itu sama saja seperti hari-hari biasa.

Sekarang aku mengerti. Aku juga benci hari Senin.

Alasan paling jelas, sekolah (biasa) dimulai pada hari Senin. Yang berarti kami harus berhadapan dengan Edward dan Alice Cullen, meskipun aku hanya punya dua kelas dengan mereka.

Setelah pertemuan kami dengan para Cullen, kami melanjutkan acara berkemah kami, bersikap seperti biasa dan tidak mengungkit-ungkitnya lagi, menyingkirkannya ke sudut terjauh benak kami, yang mungkin bahkan tidak bisa dipenetrasi oleh Angel. Aku bersikap tenang dan tidak macam-macam, hanya mengingatkan kawananku sekali bahwa mereka tidak boleh bicara macam-macam soal identitas ataupun kekuatan kami.

Aku sudah mengingatkan agar yang lainnya tidak banyak bicara dan mengungkit-ungkit kejadian kemarin, dan menghindari keluarga Cullen kecuali kalau aku mengatakan lain setelah ini. Tapi rencana untuk sekarang, aku yang akan berbicara untuk kami kalau ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan Cullen. Yang mana sebenarnya sama sekali tidak membuatku bersemangat, namun itu sudah tugasku sebagai ketua.

Aku tidak tahu sama sekali apa yang harus kuharapkan terjadi di hari Senin ini. Mengumpulkan tugas Biologi mengenai rangkaian proses penyusunan asam amino, yeah, itu mudah diprediksi. Kuis Bahasa Inggris juga sudah kuketahui, karena sudah diumumkan pada pertemuan sebelumnya. Namun apa yang akan dilakukan keluarga Cullen di sekolah nanti, bagaimana mereka bersikap terhadap kami? Aku cuma bisa bertanya-tanya dalam kepalaku, kurasa.

Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Pergi ke sekolah dan menjalani hari untuk melihat apa yang kemudian terjadi. Menyenangkan sekali… sama sekali tidak.

Namun ternyata tidak terjadi sesuatu yang di luar kebiasaan sepanjang pagi harinya. Kami bertegur sapa dengan teman kami masing-masing, masuk kelas, mengikuti pelajaran, sama seperti minggu-minggu selanjutnya. Saat makan siang di kafetaria­―tiga porsi untuk masing-masing anak―Edward dan Alice Cullen sekalipun tidak melirik ke arah kami. Bella, yang kemungkinan besar belum diberitahu sama sekali tentang pertemuan kami di hutan, seperti hari-hari sebelumnya, sesekali mencuri pandang ke meja kami dengan penasaran, namun hanya itu.

Aku tidak terlalu banyak bicara, hanya mengawasi situasi di sekitarku dan memfokuskan sebagian besar perhatianku ke meja para vampir, dan setelah beberapa menit menyadari bahwa mereka mengacuhkan kami, aku mendesah sangat pelan, merasakan kelegaan karena tidak harus berurusan dengan mereka. Di sampingku kudengar Fang mendengus. Jelas sekali bahwa ia, sepertiku, mengacuhkan celotehan ceria Nudge―menyangkut tas terbaru yang dikeluarkan Prada atau semacam itu, aku sangat salut pada Iggy yang bisa mendengarkannya setiap hari tanpa kehilangan pendengarannya juga―ke latar belakang dan mengawasi keadaan sekitar sepertiku. Ia selalu menjadi pelindung seperti biasa.

“Apa?” tanyaku sedikit sewot. Aku tidak repot-repot mendelik karena itu hanya akan membuatnya puas.

“Tidak,” jawabnya sinis. Namun ia melanjutkan, “Kau tahu bahwa hari ini akan terjadi sesuatu. Jangan lega dulu. Di sekitar kita memang selalu terjadi hal yang tidak terduga, jadi waspadalah...” Kubayangkan sekarang di wajahnya sudah terbentuk seringai sinis khasnya, kecil namun angkuh.

“Yeah, yeah...” gumamku teredam muffin yang baru saja kumasukkan dalam mulutku.

“Tapi… kau tidak perlu khawatir. Apapun yang terjadi, apapun keputusanmu―” tak diduga Fang melanjutkan kata-katanya, meskipun aku tak yakin ia mendengar jawaban-teredam-muffinku atau tidak. Suaranya lebih halus dibanding sebelumnya, “―aku akan selalu ada di sana, mendukungmu dan melindungimu, meski mungkin kau tak memerlukannya…” Aku menegang saat kurasakan jari-jarinya menyusup di rambutku, di tempat berlawanan dengan tempat duduknya. Sikunya menggesek belakang leherku.

Tak pernah kupikirkan kalau jari-jarinya terasa kuat, namun sekaligus halus. Mungkin dua kali lebih besar dibanding jari-jariku sendiri, dan lebih panjang. Aku terkejut aku tak segera menepis tangannya atau menyikut perutnya sampai ia berguling-guling di lantai. Aku tidak menemukan keinginan untuk melakukan itu. Alih-alih aku menoleh ke arahnya, memandang langsung ke mata onyxnya yang tengah mengamatiku. Aku mencari-cari di dalamnya, maksud ia mengatakan itu, apakah ia sungguh-sungguh dengan kata-katanya. Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, namun…

“Nick!” nada sengau dari sisi lain Fang, disusul kepala pirang cewek menyebalkan bernama Lauren Mallory muncul, ia duduk di tangan kursi yang diduduki Fang. Kepala Fang dan aku menoleh serentak ke arahnya, namun jari-jari Fang yang menyusup di rambutku sama sekali tidak terlepas. Bagaimana bisa ia tidak menyadari bahwa Fang tidak tertarik padanya―Fang sudah pernah menolaknya terang-terangan (empat kali!) saat Lauren mengajaknya keluar di hadapan banyak orang saat ia bertingkah genit, tidak termasuk saat pertama kali kami pindah kemari, Fang juga pernah melempar tas Lauren jauh-jauh saat dengan nekat ia menunggu kami di parkiran dan meletakkan tasnya di kap mobil kami; itu baru yang kutahu, yang dilakukannya di belakangku... aku tak berani membayangkan―aku tak pernah tahu. Selain itu setahuku dia bersama dengan Taylor, bukan―Trailer... bukan juga, ah, Tyler, ya, kurasa itu namanya. Aku tidak pernah mendengar kabar kalau mereka sedang bertengkar atau sudah putus. jadi mau apa Lauren masih di sini?

“Sabtu ini Mike mengadakan pesta di rumahnya, kau jadi ikut kan?” tanyanya dengan suara tingginya, seperti anak umur lima tahun meminta permen pada ibunya. Matanya mengedip-ngedip genit, dan jarinya bergerak menelusuri lengan Fang (yang sebelahnya, yang tidak berada di belakang leherku). Ia seperti menganggapku tak ada.

Eww, ia lebih parah daripada Lissa!

Tiba-tiba aku memiliki keinginan gila untuk menggigit putus kepala Lauren. Tapi aku tidak berhak melakukan itu, karena itu bukan urusanku. Aku cuma saudara adopsinya... Jadi aku menahan diri, dan membiarkan Fang saja yang membereskan masalahnya sendiri.

Kalau ia mau menyelesaikannya. Tapi kalau ia menikmati ini...

Yang benar saja, aku bahkan beberapa saat lalu mengatakan Lauren lebih parah daripada Lissa, atau Brittany, yang menurutku―Fang bahkan setuju denganku!―parah... Pada faktanya, semua cewek yang pernah bersinggungan dengan Fang menurutku... parah. Haha.

Fang mendelik tajam pada Lauren, dan berkata―lebih terdengar seperti membentak, menurutku―galak, "Pergi kau, Lauren, aku tidak pernah bilang aku mau pergi, apalagi denganmu." Wow, baru sekarang kudengar Fang bicara panjang lebar selain pada anggota kawananku.

"Lagipula, kau tidak lihat aku sedang sibuk?" tanyanya dengan satu alis terangkat, dan tangannya yang menyusup di rambutku serta merta menarikku mendekat, bibirnya amat sangat dekat dengan telingaku ketika ia menoleh menghadapku lagi, bisikan sehalus helaian bulu menerpa pendengaranku, "Ikut bersandiwaralah!" Tak sampai sedetik setelah suku kata terakhir terucap dari mulutnya, aku merasakan sesuatu yang basah dan lembut menyentuh leherku. Spontan aku menutup mataku.

"Kau berhutang padaku!" balasku tak kalah pelan―manusia takkan bisa mendengarnya―di telinganya yang tak terhindarkan amat dekat dengan mulutku. Aku meniupkan napasku ke daun telinganya yang membuatnya bergidik. Hal itu membuatku terkikik―kikikan yang sangat feminin, yang takkan pernah kausangka bisa keluar dari mulut seorang Maximum Ride. Sambil tetap menutup mata, aku memainkan daun telinganya dengan gigiku, bersamaan dengan bergeraknya bibir Fang dari leher ke pundakku―kalau itu mungkin.

Malas-malasan, kubuka mataku, yang langsung bertatapan dengan mata melebar milik Lauren. Aku menahan keinginan untuk terbahak, dan menukas manis, "Kau tidak punya pekerjaan lain selain menonton kami, Lauren?" Kututup mataku lagi sambil menaikkan tenganku yang bebas agar tersampir di bahu Fang, tangannya menyusup semakin dalam di rambutku. Kudengar suara kursi berderit dan langkah kaki menjauh, lebih keras daripada seharusnya, seakan sang pemilik kaki menjejakkan kakinya dengan tenaga ekstra.

"Hei, sudah selesai," gumamku, kemudian mendorong Fang tanpa terlihat mencurigakan oleh yang lain. Jejak yang ditinggalkan bibirnya lembab, membuatku bergidik ketika angin dari pendingin ruangan menyentuhnya, namun entah bagaimana sekaligus terasa panas, persis tempat kulit bertemu kulit. Aku tidak menunjukkannya dalam ekspresiku, tentunya. Wajahku tetap netral seakan yang kulakukan tadi aktivitas rutinku. Diam-diam mataku menjelajahi kafetaria, banyak yang masih membelalakkan matanya, atau setengah jalan akan menyuap makanannya. Mulut Bella masih terbuka lebar, dan Edward sama sekali tidak bergerak menutupnya, memandang kami curiga. Aku mengedipkan sebelah mataku padanya, sebelum beralih pada Nudge dan Iggy.

Nudge hanya terkikik pelan, matanya berkerlip bercahaya, pengaruh cahaya lampu. Aku tak ragu kalau ia sama kagetnya dengan penghuni kafetaria lain, namun ia pasti dengan cepat menutupi ekspresinya. Iggy, di lain pihak, mengenakan seringai yang ditujukan pada Fang, yang seperti mengatakan hah-apa-kubilang-aku-benar-kan. Nudge pasti sudah menceritakan apa yang baru saja terjadi (secara rahasia tentu saja) pada Iggy.

Aku menoleh pada Fang, yang membalas seringai Iggy dengan seringai congkaknya sendiri. Merasakan pandanganku padanya, ia menoleh, dan menaikkan satu alisnya. Seringainya masih tertempel lekat. Aku memandangnya penasaran, menimbang-nimbang. Kurasakan jari merayap di rambutku, baru kusadari kalau Fang belum menyingkirkan tangannya. Kutepis tangannya dengan kasual, lalu mengubah ekspresiku menjadi serius.

"Fang," kataku, memandangnya lekat.

"Yeah?" tanyanya dengan suara yang lebih dalam daripada biasanya.

"Mengenai yang tadi..." kubiarkan kata-kataku menggantung tak terselesaikan, masih tak melepaskan mataku darinya.

"Em-hmm?" gumamnya, matanya agak tak terfokus, walau aku tak tahu kenapa.

"Tugasmu adalah cuci piring selama sebulan, dimulai dari besok, oke?" kataku sambil tersenyum tipis, lalu menepuk bahunya dan bangkit dari kursiku tanpa melihat ekspresi Fang, berjalan keluar dari kafetaria. Kelas mulai sekitar lima menit lagi.

Di belakangku terdengar kikik geli Nudge dan tawa lepas Iggy.

Lebih jauh, di meja Cullen, kudengar Bella bertanya, "Kau baik-baik saja, Edward? Kedinginan?" Edward menggeleng namun kulihat bahunya bergetar tanpa alasan. Well, tentu saja ada alasannya, dan aku tahu apa itu.

Aku hanya menggelengkan kepalaku dengan geli dan melanjutkan berjalan.

***

Fang POV

Aku sangat menikmati apa yang baru saja terjadi antara aku dan Max. Well, aku tahu kalau ia melakukannya bukan karena ia menyukaiku, namun hanya bersandiwara agar Lauren menjauhi kami. Namun tetap saja, merasakan ia sedekat itu denganku... membuatku bersemangat.

Kurasa itu bukan kata yang tepat. Tapi aku tidak bisa memikirkan kata yang tepat. Kukira aku memang tidak bisa berpikir. Sial, kurasa Max membekukan otakku. Tapi kalau imbalannya seperti tadi, aku tak keberatan otakku dibekukan ribuan kali olehnya.

Tapi konsekuensinya mengerikan.

"Tugasmu adalah cuci piring selama sebulan, dimulai dari besok, oke?"

Max dengan santai menepuk pundakku dan berjalan pergi, meninggalkanku dengan rahang terbuka, mengawasinya melenggang dan melangkahkan setiap langkahnya. Pundakku yang tadi ditepuknya terasa hangat, tapi... ayolah, cuci piring?

Bagimu mungkin itu hal sepele. Ha, salah besar! Kalau kau tidak tahu, kuberi kau petunjuk.

Kami memerlukan minimal dua ribu kalori per harinya. Seorang bocah burung biasanya makan tiga porsi sekali makan (seperti yang kami lakukan di kafetaria, kami tidak terlalu peduli lagi dengan kerahasiaan, biarkan saja anak-anak itu mau bilang apa) dan kami minimal makan dua kali sehari (tidak termasuk makan di kafetaria). Di rumah kami ada enam orang, tujuh jika Total dihitung (napsu makannya menandingi kami). Silakan hitung ada berapa minimal piring makan yang harus dicuci. dan peralatan makan lainnya. Dan alat masak. Oh, itu belum termasuk pencuci mulut dan cemilan, berarti beberapa mangkuk bekas popcorn atau es krim.

Menyenangkan sekali. Yeah, aku bernada sarkastis di sini, kalau kau tidak tahu.

Tawa liar Iggy menyadarkanku, kunaikkan rahangku dengan geram. Sebulan!! Aku lebih baik menghadapi lima puluh Pemusnah Terbang!

"―baik-baik saja, Edward? Kedinginan?" terdengar suara dari meja para vampir. Aku mendengus. Memangnya vampir bisa kedinginan? Kulit mereka saja sama dinginnya dengan temperatur freezer!

Bahuku melunglai.

Seharusnya aku tahu lebih baik daripada berhutang pada Max.

Sial, sebulan ke depan pastilah neraka bagiku.

Aku berjalan terseret-seret menuju kelas, diikuti tawa Iggy yang sesekali masih muncul.

***

Max POV

Aku tak bisa berhenti tersenyum. Hari Senin ternyata tidak terlalu buruk. Faktanya, hari Senin ternyata tidak buruk sama sekali. Aku sama sekali tidak benci hari Senin. Aku bahkan bebas dari tugas cuci piring mingguan. Dan hari-hari kami sepertinya bisa kembali normal. Agak membosankan, mungkin, tapi itulah yang kami perlukan, hidup normal dan jauh dari keanehan dunia yang entah bagaimana selalu tertarik pada kami. Contohnya? Akan kuberi beberapa. Ilmuwan gila, manusia-serigala terbang, vampir.

Tak ada rasanya yang bisa merusak moodku hari ini.

Atau ada.

"Max?"

Telah menunggu di sebelah mobil kami, Maseratiku tersayang, adalah Alice Cullen, dengan senyum manis mengerikannya. Di belakang Alice nampak Edward, yang wajahnya menghilang di balik rambut Bella, dan Bella, yang napasnya yang hampir menghilang seakan baru lari maraton.

Aku memutar bola mataku pada pemandangan itu dan memfokuskan perhatianku pada Alice dengan tidak nyaman, perasaanku tidak enak. "Ya, Alice?" jawabku, tidak terlalu manis kalau dibandingkan dengan sapaannya. Aku tak peduli.

Fang tiba di belakangku dan memandang Alice dari sela bahuku. Jemarinya menyusup ke telapak tanganku dan ia meremasnya meyakinkan bahwa ia selalu ada di sampingku. Nudge dan Iggy menyusul di belakangnya, memandang Alice dengan penasaran (untuk kasus Nudge. Iggy hanya memandang kosong ke depan).

"Ayo kita berangkat ke rumahku! Kau tidak bisa menolak, aku sudah melihat kalian ada di sana! Oh, bolehkah aku naik Maserati kalian? Dua orang dari kalian bisa naik Volvo Edward, dengan begitu tidak akan ada yang tersesat~!" katanya riang.

Mataku melebar memandangnya, terkejut sekaligus bingung. "Err... Apa?"

"Alice bisa melihat masa depan. Ia pasti melihat kalian ada di rumah kami." Wajah Edward sudah kembali, di sebelahnya Bella yang merona memandangku malu-malu.

Vampir mini ini bisa melihat masa depan? Oh joy. Apa berikutnya, vampir yang bisa menghilang? Telekinesis? Vampir superkuat?Apa boleh buat sepertinya, mau tak mau kami harus datang ke rumah mereka.

Perasaanku tetap tidak enak. Sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.

Aku berubah pikiran, aku benci hari Senin.


A/N. Sorry for the delay. Education's more important... *ngeles* Btw, sebenarnya saya punya beberapa draft untuk chapter ini, karena saya bingung mau melanjutkan dengan cara fast pace atau slow pace. Namun akhirnya, chapter yang ditulis ini sama sekali baru dan ditulis dalam waktu err... tiga jam. Sementara draft-draft sebelumnya sama sekali jauh dari selesai, ahaha... Please tell me if you find mistakes in this chapter. Non-beta-ed.

EDIT TO ADD: Telah dibeta oleh avatarbear67.

Labels:

lily at

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home