<body> my scribbled notes

Friday, March 27, 2009

Hiding In The Dark Corner: Chapter 2

Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson. Tapi kalau Meyer mau memberikan Jasper atau Edward, atau Patterson mau menyerahkan Fang untuk hadiah ulang tahun saya, boleh :D.


Chapter 2
TC: The New Family

Bella POV

Hari-hariku kembali normal. Yah, senormal yang bisa kaudapatkan kalau cinta sejatimu adalah seorang vampir, dan sahabat baikmu adalah werewolf. Senormal yang bisa kaurasakan setelah menghadapi keluarga bangsawan dunia vampir yang disebut keluarga Volturi dan mengetahui kalau kau diincar oleh vampir perempuan yang ingin balas dendam padamu. Senormal yang bisa kaubayangkan mengetahui bahwa umur detak jantungmu hanya tinggal menghitung hari.

Tapi aku sama sekali tidak mengeluh untuk yang terakhir itu. Hal itu adalah hal yang paling kuinginkan dalam hidupku. Sebagian dari diriku takut, ya, namun sebagian yang lain―dan bagian ini sangat besar, kuyakinkan kau―merasa bersemangat dengan prospek ini. Edward, kekasih vampirku, telah kembali dalam kehidupanku. Aku masih bisa mengingat bagaimana keadaanku saat ia pergi meninggalkanku di dalam hutan. Bagaimana kosongnya jiwaku dan sakitnya dadaku, seakan ada lubang menganga di sana. Semua orang masih bisa mengingat dan menceritakannya padamu bagaimana tubuhku bergerak bagai zombie. Aku mungkin beraktivitas, namun tanpa gairah, hanya seperti robot, bergerak otomatis. Semua orang bisa menceritakannya padamu, karena Forks adalah kota kecil, dan semua orang tahu urusan orang lain.

Namun begitu Edward kembali, duniaku serasa cerah kembali. Lubang yang menganga di dadaku seakan tertutup lagi. Memang, Jacob, sahabat baikku, memiliki peran dalam menjahitnya kembali, menyembuhkannya perlahan dengan keceriaannya dan saat Edward melangkah masuk kehidupanku lagi, lubang itu bagaikan tak pernah ada, eksistensinya hanya seperti mimpi.

Aku terbang ke Italia bersama Alice setelah ia melihat Edward berusaha menyerahkan diri pada keluarga Volturi untuk mati, dan seperti mimpi, aku berhasil membawanya keluar hidup-hidup, meskipun prosesnya lebih menyerupai mimpi buruk. Dan proses itu jugalah yang menentukan takdirku, lambat laun aku akan menyerupai Edward. Menjadi vampir juga.

Dan aku tidak menyesal maupun takut akan hal itu, hal itu adalah hal yang sudah lama kuinginkan. Karena dengan begitu aku akan bisa terus bersama Edward. Selamanya.

Satu-satunya yang kusesali adalah hal ini membuat sahabat terbaikku, Jacob Black, menjauh dariku. Karena ia adalah seorang werewolf. Werewolf merupakan musuh alami vampir, sehingga ia tidak bisa akur dengan Edward. Aku juga yakin bahwa ia akan semakin marah kalau tahu bahwa aku akan dikutuk, menjadi salah satu dari Yang Tidak Bisa Mati.

Jadi minggu-minggu terakhir ini kujalani dengan berat, karena banyaknya hal yang terjadi di sekitarku. Sahabatku tidak mau lagi bicara padaku, dia bahkan menolak mengangkat telepon dariku. Teman-temanku di sekolah menjauhiku―yah, mereka sudah mau bicara dan bercengkrama denganku, setelah aku bersikap seperti 'manusia' lagi, tapi semuanya tidak bisa kembali seperti dulu. Victoria, vampir perempuan berambut merah yang pasangannya mati di tangan Edward―James, pasangan Victoria mati karena ingin 'bermain-main' dengan Edward dan berobsesi menghisap darahku yang manis sampai kering― masih berkeliaran di luar sana, menunggu saat yang tepat untuk menghabisiku. Dan aku dilarang keluar rumah selain untuk sekolah dan kerja, semua itu berkat Jacob yang sudah mengekspos hobi baruku mengendarai sepeda motor, pelampiasan dan pengalih perhatianku saat Edward 'tidak ada'.

Tapi aku bisa bertahan selama Edward berada di sisiku. Dan itu berarti setiap saat selama aku berada di sekolah―Edward berada di semua kelasku―dan juga malam harinya di kamarku. Tak hanya itu, ia juga selalu datang pada jam kunjungan yang ditetapkan Charlie. Seperti sebentar lagi.

Tiga ketukan mantap yang datang dari depan rumah menyadarkanku dari lamunanku. Dengan segera aku berlari ke pintu depan―tanpa tersandung, syukurlah―dan membukanya dengan cepat. Aku disambut senyum favoritku yang tertera di wajah sempurnanya. Aku melihatnya hampir setiap saat, namun tetap saja setiap kali memandangnya, lututku melemah dan aku tidak bisa menghalau senyum lebar terbentuk di wajahku. Aku masih hampir tak bisa percaya bahwa figur bagai dewa di hadapanku ini menyatakan dirinya mencintaiku. Aku yang biasa-biasa saja, dengan kulit kelewat pucat dan rambut coklat membosankan. Sementara ia begitu tampan, dengan mata keemasannya yang bersinar lembut setelah berburu, rambut tembaganya yang berantakan, tulang pipinya yang tinggi, dan garis-garis wajahnya yang sempurna. Dia bisa mendapatkan gadis manapun yang ia mau. Tapi ia mencintaiku. Dan semua yang dilakukannya untukku membuatku hampir mempercayainya.

"Hai," ia menyapa, bahkan napasnya mampu mempesonaku. Senyumanku masih belum hilang dari tempatnya, bahkan jika mungkin, ia bertambah lebar hanya dengan satu kata itu darinya. "Bagaimana harimu?" tanyanya dengan suara selembut sutranya.

"Lamban," jawabku, masih berdiri di ambang pintu, masih terpesona. Memang benar, setiap detikku tanpanya bagaikan merentang menjadi jam. Dan setiap saat yang kuhabiskan tanpa berada di sisinya terlihat buram dan membosankan. Ia melangkah masuk, tangannya menyusup melingkari pinggangku, dan membimbingku menuju ke dapur, tempat kami biasa mengobrol di jam-jam seperti ini. Charlie pura-pura berkonsentrasi pada pertandingan di televisi, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia mengetahui Edward baru saja datang. Ia masih belum memaafkan Edward karena meninggalkanku seperti selongsong kosong di hutan, berabad-abad yang lalu. Well, rasanya seperti itu bagiku.

Ia mendudukkanku di salah satu kursi, sementara dia duduk di kursi lainnya, tepat di seberangku. Ia memandangku lekat, seakan berusaha membaca pikiranku. Itulah masalahnya, aku satu-satunya orang yang pikirannya tak bisa ia baca. Kalau kau belum tahu, Edward adalah vampir dengan bakat membaca pikiran. Tapi entah kenapa, ia tak bisa membaca pikiranku. Sebagian diriku diam-diam senang, karena ia tidak bisa membaca setiap kalimat yang kukatakan di benakku, setiap pikiran yang terlintas di kepalaku. Juga bahwa ia tidak tahu betapa aku terobsesi, betapa aku memujanya. Mungkin ia bahkan akan mengernyit, dan memutuskan untuk tidak mencintaiku lagi, begitu melihat ternyata pikiranku tidak jauh berbeda dengan remaja pada umumnya. Bukan berarti aku tahu apa saja yang ada di kepala remaja pada umumnya. Bukan aku yang bisa membaca pikiran.

Tapi paling tidak aku tahu bahwa kebanyakan remaja―terutama perempuan, dan mungkin satu atau dua laki-laki?―sudah pasti menginginkan Edward, memujanya, berfantasi tentangnya. Tidak perlu seorang pembaca pikiran untuk mengetahui hal itu. Dalam hal itu aku tidak berbeda dengan remaja pada umumnya. Satu-satunya yang kuyakini berbeda adalah bahwa pemujaanku padanya bersumber dari betapa aku mencintainya, bukan semata ketertarikan sesaat belaka, atau hanya karena fisiknya saja. Aku sudah bersamanya selama beberapa waktu, sehingga aku tahu bahwa di bawah kulitnya yang dingin, di balik dadanya yang sekeras granit, hatinya sebaik malaikat. Sayang sekali ia seringkali menyangkalnya dan mengatakan bahwa ia adalah monster―mengacu pada kebutuhannya untuk meminum darah.

Bagian lain dari diriku sedih, karena aku tidak bisa meyakinkannya bahwa aku sangat mencintainya seperti ia mencintaiku, bahkan lebih. Ia tidak tahu aku begitu mencintainya, sampai-sampai hampir setiap keping pikiranku adalah tentangnya, atau berhubungan dengannya.

"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya, masih menatapku dengan pandangan ingin tahu. Itu adalah pertanyaan yang biasa diajukannya padaku. Karena ia tidak bisa membaca pikiranku―dan itu sangat membuatnya frustasi―ia memiliki kebiasaan untuk bertanya apa yang ada di pikiranku. Mungkin ia menyadari sorot mataku yang tiba-tiba seolah menerawang tadi, sehingga ia bisa menebak bahwa aku terhanyut dalam pikiranku. Aku mengerjap, berusaha menyisir jalannya pikiranku, dan mencari jawaban atas pertanyaannya. Aku memang selalu memberitahukan pikiranku padanya, meskipun mungkin aku mengeditnya. Tidak, aku tidak berbohong padanya, ia akan tahu kalau aku berbohong, karena aku pembohong yang buruk. Bukan berarti aku harus berbohong untuk pikiranku yang satu ini.

Aku tersenyum, lalu menjawab dengan nada setengah melamun, "Kau." Ia hanya menggelengkan kepalanya, tak percaya. Tapi tak urung sudut-sudut mulutnya terangkat ke atas, membentuk senyuman yang menambah pesonanya.

Aku meliriknya, menyadari sesuatu yang aneh. Tadi aku terlalu terfokus pada senyum dan wajahnya, sehingga tidak sempat mengobservasinya. Edward tidak membawa apapun hari ini dengannya.

Biasanya, di waktu seperti ini Edward sibuk memperlihatkanku brosur-brosur tentang perguruan-perguruan tinggi ternama, tidak menghiraukan keinginanku masuk ke Universitas Alaska, di mana aku bisa membayar hampir seluruh biaya kuliahku dengan uangku sendiri. Ia gencar melakukan hal itu dengan alasan bahwa pengalaman itu sangat penting untukku. Dengan semakin dekatnya perubahanku, maka ia ingin aku mengalami momen manusiaku sebanyak mungkin, dan sesempurna mungkin. Itu juga salah satu topik yang sering kami bicarakan dengan suara pelan―supaya Charlie tidak mendengarnya―di ruangan ini. Perubahanku. Sejak awal ia menentang hal ini, ia menginginkan aku tumbuh dan menua sebagaimana manusia pada umumnya, dan tidak terkutuk dan menjadi monster seperti dirinya. Tapi tentu saja aku tidak mau menjadi tua sementara Edward akan tetap berusia tujuh belas tahun. Kami sepakat bahwa aku akan segera diubah Setelah kelulusanku oleh Carlisle. Seiring berjalannya waktu―dan karena keadaan memaksanya―ia akhirnya mau berkompromi dengan hal itu. Sampai pada tahap tertentu.

Tapi hari ini ia tidak mengungkit-ungkitnya. Dan tidak membawa brosur perguruan tinggi manapun. Atau memulai pembicaraan mengenai hal-hal ringan yang biasa kami diskusikan. Atau mungkin belum, mungkin ia baru mau membuka pembicaraan soal hal itu, tapi matanya lebih dulu menangkap judul berita di koran yang terletak di meja makan.

"Ada orang hilang lagi?" katanya pelan, seperti bertanya pada diri sendiri. Aku mengerling judul berita itu, huruf hitam dan besar-besar yang tercetak jelas membuatku tak perlu mencondongkan kepala untuk membacanya. Judul itu berbunyi: LIMA ORANG LAGI DILAPORKAN HILANG, TIDAK ADA JEJAK MAUPUN SURAT PERMINTAAN TEBUSAN DARI SI PELAKU.

Edward membaca cepat beritanya, lalu meletakkan koran itu perlahan di tempatnya semula. Ekspresi wajahnya menjadi agak murung. Ini menjadi salah satu perhatiannya juga hari-hari ini. Orang-orang yang menghilang di Seattle dalam jumlah besar. Semuanya menunjukkan tanda-tanda bahwa itu perbuatan vampir. Kemungkinan besar vampir baru, mengingat ia―atau mereka, Edward sering mengingatkanku, melihat banyaknya korban yang menghilang dan mayat yang ditemukan―tidak repot-repot menutupi perbuatan mereka atau mengkamuflasekan jasad korbannya. Sebetulnya ini bukanlah tanggung jawabnya, namun peristiwa ini bisa mengundang keluarga Volturi ke Seattle, dan kalau keluarga Volturi berada di Seattle yang dekat dengan Forks, ada kemungkinan mereka akan datang mengunjungi kami, dan memeriksa apakah aku sudah menjadi salah satu dari mereka. Edward tidak mau aku diubah dengan terburu-buru.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, tahu bahwa itu tidak perlu dijawab. Lagipula aku terlalu terfokus mendengarkan suaranya. Ia mengangkat pandangannya dari koran, dan mengalihkannya padaku.

"Carlisle dan aku, juga anggota keluarga yang lain sudah membicarakan hal ini. Ia juga memantau berita-berita di koran dan televisi. Berita yang ini belum sempat kubaca, aku baru saja pulang berburu. Tapi lajunya memang benar-benar mengkhawatirkan. Bisa-bisa dalam hitungan minggu keluarga Volturi sudah berada di sini. Dan jangan coba-coba membujukku untuk mempercepat perubahanmu," kata Edward menambahkan, menatapku tajam. Aku balas memandang, mencoba tidak gentar di bawah pengaruh tatapan matanya. Sedikit rasa terluka terpancar dari sorot mataku.

Edward mendesah, "Dengar, Bella. Aku mencintaimu, dan akan selalu menginginkanmu. Aku menunggu hari dimana kau akan selamanya bersamaku. Tapi aku tidak ingin kau diubah dengan terpaksa, karena suatu hal. Aku ingin kau diubah sesuai dengan rencana kita, dan karena kau memang sudah siap." Argumen kami hampir setiap hari selalu seperti ini.

Ia kemudian melanjutkan, kembali ke topik sebelumnya. "Carlisle tidak tahu siapa yang kira-kira berkeliaran di Seattle, atau siapa yang mengubah vampir baru pertama yang kemudian mengacau di Seattle. Emmett sudah mengusulkan untuk segera pergi ke sana saja dan 'menendang para pengacau itu sampai ke Italia', menurut kata-katanya," Edward tersenyum sedikit, "tapi Jasper melarangnya. Kita tidak tahu ada berapa banyak vampir baru yang ada di sana. Memusnahkan beberapa saja tidak cukup, dan berbahaya menyerang tanpa tahu kekuatan lawan kita. Seharusnya kau aman berada di sini, asalkan kau tidak mendekati Seattle, tapi dengan keberuntunganmu..." Edward memandangku khawatir.

Dengan keberuntunganku, kemungkinan besar vampir-vampir itu malah akan terbang menghampiriku dan berebutan menghisap darahku. Seperti yang pernah dikatakan Edward, sesuai istilahnya, aku ini magnet bahaya. Dan jangan lupa, Victoria juga masih ada di luar sana.

Berusaha untuk mengubah topik pembicaraan, aku berkata, "Charlie bilang ada keluarga baru yang pindah ke Forks hari ini."

"Oh ya?" katanya dengan suara setengah melamun. Jelas sekali ia masih memikirkan berita tadi, dan mempertimbangkan segala memungkinan yang bisa terjadi dan tindakan-tindakan yang bisa diambilnya untuk mengamankanku.

"Ya, keenam anaknya akan bersekolah mulai besok. Dua diantaranya akan masuk Sekolah Dasar dan empat sisanya masuk sekolah kita, tiga orang di tingkat Senior, sama seperti kita," aku meneruskan, masih tidak melepas topik ini dan berusaha membuatnya sedikit rileks.

Rupanya info ini menangkap perhatian penuhnya. Tapi tidak dalam konteks yang kuharapkan. Ia malah berwajah tegang dan menatapku dengan mata sedikit―sedikit sekali sampai-sampai aku tidak akan menyadarinya kalau aku tidak memperhatikannya―melebar.

"Kau bilang ada enam orang anak di keluarga itu?" tanyanya sedikit kasar, lalu seolah menyadari kesalahannya, ia menambahkan dengan nada yang lebih lembut. "Apa kau tahu siapa nama mereka? Seperti apa mereka? Apa kau sudah melihat orangtua mereka?"

Aku menaikkan satu alisku, mempertanyakan ketergesaannya. "Memangnya kenapa?"

Jari-jari Edward mengetuk-ngetuk pelan meja, dahinya agak berkerut pertanda ia berpikir keras. "Tidak mungkin satu keluarga memiliki empat anak yang masuk ke Sekolah Menengah bersama-sama. Kecuali mereka dua pasang anak kembar. Atau minimal dua di antara mereka kembar. Tapi itupun rentang umurnya terlalu dekat, kalau sampai tiga orang masuk tingkat yang sama."

"Kudengar mereka diadopsi atau semacam itu... Dan aku belum pernah melihat salah satu dari mereka, aku sedang dikurung di rumah, ingat?" kataku perlahan, lalu teringat berita di koran yang tadi, dan kemiripan situasinya dengan saat aku masih baru di kota ini. "Kau tidak beranggapan kalau mereka vampir kan? Atau lebih parah, vampir yang melakukan pembantaian di Seattle? Apakah ada vampir selain kalian yang mau berinteraksi dengan manusia? Bukan berarti hal itu buruk," aku menambahkan.

"Tidak, tentu saja tidak. Vampir baru tidak akan punya ketahanan untuk berada dekat-dekat manusia selama lebih dari beberapa menit tanpa memiliki keinginan sangat besar untuk menghisap darah mereka. Dan kami yakin hampir seratus persen bahwa pelaku di Seattle adalah vampir baru. Tapi sangat tidak umum ada satu keluarga yang mengadopsi sampai enam orang anak. Dan pindah ke kota kecil seperti Forks, kecuali kalau mereka ingin berkumpul sedekat mungkin seperti kami," Edward menyangkal, salah satu tangannya melayang ke kepalanya, mengacak rambutnya dan membuatnya lebh berantakan daripada sebelumnya.

"Mungkin pasangan suami istri yang mengadopsi mereka sangat baik? Apa kau yakin mereka itu vampir? Kalaupun ya, mungkin mereka juga vampir vegetarian seperti kalian yang ingin sedekat mungkin menjalani gaya hidup sebagai manusia," aku mengangkat bahu, berusaha membantu mencari penjelasan yang masuk akal.

"Mungkin saja," jawab Edward merenung, "Tapi hampir tidak mungkin ada kelompok vampir vegetarian sebesar itu dan tidak diketahui oleh Volturi. Setahuku kelompok vampir besar selain Volturi adalah kami. Vampir jarang berkumpul lebih dari dua atau tiga orang. Dan dua orang masuk Sekolah Dasar? Vampir anak-anak sudah hampir tidak ada. Well, Jane dan Alex masih bisa dibilang anak-anak, tapi mereka anggota Volturi, jadi tidak heran. Dan tidak mungkin vampir anak-anak tidak terdeteksi oleh Volturi." Geez, sekarang ia malah meragukan teorinya sendiri. Tapi biarpun begitu aku tetap mencintainya.

"Sudahlah, Edward. Mungkin mereka memang bukan vampir, dan hanya anak-anak yang diadopsi keluarga yang baik hati. Kalau kau masih cemas, kita lihat saja besok di sekolah," ujarku berusaha menenangkan Edward. Diam-diam aku menyesal telah membawa topik ini ke permukaan. Aku malah menambah beban pikiran cinta dalam hidupku, dan dalam waktu dekat, cinta eksistensiku, mengingat aku tak akan lagi punya detak jantung.

"Ya, mungkin..." tukas Edward perlahan, tapi ekspresinya masih menyiratkan keraguan...


Akhirnya ternyata jalan ceritanya tidak mengutip percakapan per percakapan di Eclipse, karena ternyata setelah dicoba menyulitkan. Anggap saja itu hari yang baru, salah satu hari setelah Edward membaca berita orang-orang hilang di rumah Bella.

Labels:

lily at

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home