<body> my scribbled notes

Friday, March 27, 2009

Hiding In The Dark Corner: Chapter 3

NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti percakapan pikiran atau pikiran yang diarahkan langsung pada Angel.

Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson. Tapi kalau Meyer mau memberikan Jasper atau Edward, atau Patterson mau menyerahkan Fang untuk hadiah ulang tahun saya, boleh :D.


Chapter 3
TF: First Day at School

Max POV

Pagi itu keberangkatan kami tertunda. Hal ini disebabkan kami bangun lebih siang daripada waktu yang sudah direncanakan. Jadi dengan cepat aku menyusun rencana baru, dan memutuskan bahwa kami akan berangkat siang hari saja. Hasilnya, kami punya waktu untuk sarapan dan mandi dengan benar. Dan mengepak ulang barang-barang kami dengan benar. Angel dan Gazzy bisa mengepak barang dengan praktis, ya, karena kami sering harus mengepak terburu-buru saat dalam pelarian. Tapi sayangnya mereka tidak dilatih untuk mengepak barang dengan benar, sehingga beberapa barang milik seseorang tercampur dengan barang milik orang lain, atau pakaian diletakkan bercampur dengan suplai makanan―kami para manusia bersayap (panggilan yang lebih 'manusiawi' untuk mutan burung seperti kami) cepat lapar, mengingat kami membutuhkan minimal tiga ribu kalori per hari.

Aku juga jadi memiliki waktu untuk menelepon sekolah yang bersangkutan mengenai kedatangan dan keinginan kami 'melanjutkan' sekolah di sana. Juga memberitahu pemerintah setempat bahwa kami akan tinggal di sana. Aku tidak memberitahukan bahwa kami akan tinggal tanpa orangtua, hanya berkata bahwa pekerjaan orangtua angkat kami adalah misionaris yang sering bepergian, tidak bahwa mereka sudah 'bepergian' sehingga tidak akan bersama kami. Singkatnya, kami tinggal menuju rumah kami dan membereskannya. Lalu besoknya kami mulai bersekolah. Untung saja letak hotel ini tidak terlalu jauh dari Forks, dengan terbang tiga jam dalam kecepatan normal kami sudah bisa sampai.

Tidak banyak kejadian berarti pada siang dan sore harinya. Perjalanan udara kami tidak mendapat banyak hambatan kecuali angin yang kadang berhembus melawan arah tujuan kami, dan kami mendarat di halaman belakang rumah baru kami yang berbatasan langsung dengan hutan.

Foto yang kulihat di laptop Fang sama sekali tidak memberi gambaran asli mengenai rumah ini. Rumah ini... payah. Di foto rumah yang kulihat adalah rumah besar indah bercat biru dan berlantai dua. Sementara rumah ini... well, aku akui memang besar, sama seperti di foto, tapi rumah ini sangat tidak terawat. Cat-catnya sudah sangat terkelupas dan dari udara terlihat halaman depannya yang luas kotor sekali. Pantas saja harganya murah. Kalau kau pikir seharusnya aku tidak memikirkan harga karena kartu Maximum Rideku memiliki suplai uang tanpa batas, mungkin kau benar, tapi aku berusaha tidak menjadi orang yang boros dan menghambur-hamburkan uang. Kau tidak tahu apa yang bisa terjadi esok hari.

Kami berjalan memutar ke depan rumah, dan di sana mobil baru kami sudah menunggu. Ya, kami membeli mobil, meskipun sebenarnya tidak ada mobilpun tidak apa-apa. Siapa yang butuh mobil kalau kau bisa terbang dengan kecepatan lebih dari seratus mil per jam? Tapi kami harus membaur dengan manusia lainnya, jadi kami membeli mobil. Aku memutuskan untuk mencoba mobil itu nanti saja, dan terus berjalan ke arah rumah, dengan kawananku di belakangku. Aku menendang pintunya sampai terbuka―kubilang aku akan memasang kunci baru pada si penjual rumah, jadi dia tidak memberiku kunci, hanya surat-surat penting yang dititipkan di bangunan pemerintah setempat, yang kuambil sebelum kami datang kemari.

Bagian dalamnya tidak lebih baik daripada luarnya. Lantainya kotor dan perlu dipel, dindingnya perlu dicat ulang, dan barang-barang yang kami beli masih berada dalam kotak-kotaknya. Aku menghela napas dan mulai berpikir cepat, lalu mengeluarkan perintah-perintah.

"Fang, kau cat bagian luar rumah. Nudge, kau bagian dalam rumah di lantai bawah. Angel dan Gazzy bisa mengepel lantainya. Aku akan mengecat dan membersihkan lantai dua. Iggy, kau bisa membereskan dapur lalu mulai memasak," kataku tanpa nada ragu-ragu dalam suaraku. Kau pasti berpikir aku gila karena menyuruh orang buta untuk ikut bersih-bersih, dan bahkan memasak. Percayalah padaku, Iggy bisa mengatasinya dengan baik, kadang-kadang aku bahkan lupa kalau ia buta. Dia bahkan bisa memasak jauh lebih baik dariku. Faktanya, semua orang bisa memasak jauh lebih baik dariku.

"Hei, bagaimana denganku?" Aku menoleh ke arah sumber suara. Total, anjing hitam bersayap putih kami, memandangku dengan tatapan bertanya, ekornya bergoyang-goyang di antara kaki belakangnya. Benar, anjing kami bisa bicara, masa kau belum tahu juga sih?

Aku memperhatikannya selama dua detik, lalu menjawab, "Err... kau bisa mengumpulkan daun di halaman depan atau apalah. Yang jelas, jangan ganggu yang lain saat mereka bekerja, dan jangan masuk ke dalam rumah sebelum kau mandi." Aku mengucapkan beberapa kata terakhir dengan penekanan. Total hanya memutar bola matanya―err, anjing bisa memutar bola matanya tidak? Kalau tidak bisa, anggap saja bahwa ia pasti akan memutar bola matanya kalau ia bisa. Kau mengerti?―dan berjalan malas ke luar rumah.

Semua orang langsung bergerak tanpa membantah. Mereka sudah terbiasa dengan perintah-perintahku, mereka tahu bahwa aku selalu memikirkan yang terbaik untuk mereka, seberat atau segila apapun perintahku. Iggy meminta Gazzy mengambilkan belanjaannya, lalu setelah mendapatkan gambaran mengenai struktur rumah ini, ia langsung melesat ke dapur. Angel dan Gazzy langsung menyambar alat pel dan ember lalu berjalan menuju ke kamar mandi. Aku, Fang dan Nudge mengambil kaleng cat yang juga dengan pintar sudah kupesan bersama barang-barang ini, dan menuju tempat bertugas masing-masing. Kami semua mulai bekerja.

Aku tidak akan membuatmu bosan dengan detail-detail membosankan tentang hal-hal yang terjadi selama kami bekerja. Yang jelas, pada jam makan malam semuanya permukaan dinding sudah dicat dan catnya sudah kering (aku memakai cat yang cepat kering, kalau kau bertanya-tanya kenapa dalam beberapa jam catnya sudah kering. Apa kau sadar bahwa aku memakai banyak kata kering?). Lantai sudah dipel sampai tegelnya mengkilap, terima kasih pada Angel dan Gazzy. Semua ruangan sudah bersih, dan semua peralatan elektronik sudah terpasang dengan benar. Iggy dan Gazzy yang memasangnya, mereka bisa melakukannya karena punya keahlian merakit bom. Bagaimana orang buta bisa merakit bom? Jangan tanya aku.

Mobil juga sudah kuperiksa, dan ada dalam kondisi terbaiknya. Kunci-kunci baru sudah dipasang. Total sudah dimandikan, dan sekarang sedang berbaring di atas karpet di ruang tengah, tertidur pulas setelah makan malam. Barang-barang pribadi kami sudah dibereskan dan disimpan di tempatnya. Makanan sudah tersaji di meja makan, dan semua orang sudah duduk manis mengelilinginya, tentunya setelah mandi dan mengganti pakaian mereka. Kami makan dalam diam, kehabisan energi setelah seharian bekerja. Bahkan Nudge tidak berceloteh seperti biasanya. Dalam hitungan menit semua makanan telah habis, dan aku memandang berkeliling. Memang malam belum terlalu larut, tetapi semua orang sepertinya sudah kelelahan. Jadi aku mulai menyalakkan perintah, seperti biasa.

"Baiklah, waktunya tidur! Semua, masuk kamar. Anak perempuan di bagian kiri, laki-laki di kanan. Biarkan Total tidur di bawah dulu malam ini, mulai besok malam dia bisa tidur di kamar Angel. Kau tidak keberatan kan, Sayang?" tanyaku pada Angel, yang sedang mengusap-usap matanya.

"Tentu tidak, Max," katanya dengan suara mengantuk, kepalanya tergeletak di sandaran kursi.

"Baiklah, semuanya naik ke lantai dua!" kataku―tidak dengan bersemangat, aku juga sama lelahnya dengan mereka―cukup lantang.

Aku meraih Angel dan mengangkatnya ke pelukanku, ia sudah setengah tertidur. Fang membimbing Gazzy yang sepertinya berjalan sambil tidur. Iggy mengikutinya dari belakang. Nudge bangkit dari kursinya, dan menggenggam ujung kausku. Lalu ia menutup matanya dan mulai berjalan mengikutiku. Kami naik ke lantai atas.

Lantai ini hanya berisi enam kamar tidur untuk masing-masing orang, dan dua kamar mandi. Tata letaknya simetris, dengan koridor di tengah-tengahnya. Kamar-kamar itu berhadapan. Kamar Angel berhadapan dengan Gazzy, Nudge dengan Iggy, dan aku, tentu saja dengan Fang. Sementara di lantai bawah terletak ruangan-ruangan esensial lainnya, seperti dapur, ruang tengah dimana ada televisinya, ruang makan, dan kamar mandi―jadi kau tidak perlu naik ke lantai dua kalau kau perlu ke kamar mandi.

Aku mendorong pintu kamar Angel dengan bahuku. Nudge sudah kumasukkan ke kamarnya dalam perjalanan kemari. Kuletakkan dia di tempat tidurnya, menyelimutinya, lalu mengecup dahinya, seperti yang biasa kulakukan setiap malam, di manapun kami berada, bahkan saat dalam pelarian. Aku memeriksa satu persatu kamar yang lain, dan melakukan hal yang sama. Kecuali kamar Fang. Karena dia sedang bersandar di ambang pintu kamarku.

"Jadi, sekolah, huh?" tanyanya dengan suara pelan.

Aku hanya mengangguk. Dan berjalan melewatinya menuju ke tempat tidurku―aku sudah menggosok gigi dan mencuci muka sebelum masuk kemari―sementara ia hanya memutar posisi tubuhnya sehingga menghadap ke dalam kamar, tapi tetap bersandar ke ambang pintu.

"Anak-anak itu butuh pendidikan, dan juga bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya," kataku sambil mengangkat bahu, duduk di ujung tempat tidurku. "Tapi kita harus tetap waspada dan meminimalisir kemungkinan ketahuan oleh manusia lain. Aku tidak mau dilelang untuk jadi senjata perang, atau lebih buruk lagi, ada ilmuwan yang melakukan eksperimen lagi pada kita." Bulu kudukku meremang saat mengatakan hal itu.

Fang hanya mengangguk singkat, kepalanya terkulai di bahunya. Aku bisa bilang bahwa ia sama lelahnya denganku, kalau tidak lebih. Ia mengecat semua permukaan dinding di luar rumah, dan itu berarti menyangkut terbang juga. Terbang memakan energi yang banyak, kau tahu.

"Sebaiknya kau tidur. Kau butuh semua energimu untuk besok. Jangan sampai kau ketiduran di kelas, lalu tiba-tiba menghilang dan muncul lagi di tengah-tengah dengkuranmu," kataku setengah menggoda. Ia tentu saja sudah memiliki kontrol penuh terhadap kekuatannya, namun di masa-masa awal, ia terkadang menghilang tanpa kendalinya. Sudut-sudut mulutnya tertarik ke atas dan ia mengangguk sekali lagi, lalu menegakkan dirinya.

Ia menyeberangi ruangan dan meraih bahuku, lalu dengan ragu-ragu mengecup dahiku, bibirnya lembut sekali bersentuhan dengan kulitku, terasa dingin di dahiku yang panas. "Selamat malam, Max," bisiknya, lalu tanpa suara ia menyusup keluar dari kamarku, menutupnya dengan derit minimal. Debaman samar di luar kamarku―terlalu pelan untuk didengar telinga manusia―membuatku tahu bahwa ia sudah masuk ke kamarnya.

***

Fang POV

Kami tiba di Sekolah Menengah Forks kira-kira dua puluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Sebelumnya kami sudah menurunkan Angel dan Gazzy di sekolah mereka yang ada di sebelah sekolah kami, dan memberi penjelasan pada guru mereka bahwa orangtua kami tidak ikut tinggal bersama kami, kami akan menjemput mereka berdua pada waktunya nanti, atau mereka bisa mengunjungi kami di sekolah, tak masalah, dan sebagainya, bla-bla-bla. Max yang menyetir mobilnya. Kemampuan menyetirnya sudah jauh lebih baik daripada tiga tahun lalu, waktu kami mencuri van untuk kabur dari Pemusnah. Ia bahkan bisa menyetir tanpa perlu memberi banyak perhatian ke jalan atau tanda-tanda lalu lintas.

Kami berempat keluar bersamaan dari mobil, dengan jaket tebal dan sepatu boots kami―Forks adalah kota yang cukup tinggi curah hujannya. Pada faktanya, Semenanjung Peninsula, tempat dimana Forks berada, adalah salah satu tempat paling berhujan di seluruh dunia, dan di sini hampir setiap hari hujan, hanya sesekali saja sinar matahari muncul. Kami sebetulnya tidak membutuhkan jaket, cuaca tidak terlalu berpengaruh pada kami yang suhu tubuhnya cukup tinggi. Tapi kami harus menghindari kecurigaan, jadi kami memakai jaket.

Dengan segera kami menjadi pusat perhatian dari anak-anak yang ada di sekitar kami. Kami mengacuhkannya dan berjalan menuju ke ruang Tata Usaha untuk mengambil jadwal kami. Diam-diam aku memperhatikan lapangan parkir itu dari sudut mataku. Tidak heran kami jadi pusat perhatian, mobil di sini semuanya rongsokan. Ah, kecuali Volvo perak mengkilap itu, tapi cuma mobil itu yang bagus, yang lainnya cuma jeep tua atau van berkarat.

Saat Max membuka pintu bangunan Tata Usaha, udara hangat menguar keluar. Kami masuk tanpa suara, dan langsung berhadapan dengan seorang wanita berambut merah yang sedang menunduk menekuni suatu dokumen di mejanya. Max berdehem, lalu bicara, "Uhh, maaf, Ms... maaf, Mrs. Cope? Kami murid baru, dan akan mengambil jadwal untuk hari ini."

Wanita itu mengangkat kepalanya, dan saat melihat kami, matanya sedikit melebar, dan untuk beberada detik, ia tidak mengatakan apa-apa. Mulutnya sedikit terbuka, dan matanya terus menatap kami. Aku menahan dorongan untuk memutar bola mataku. Max berdehem lagi, dan mengulang kata-katanya, "Jadwal kami?"

"Uhh, y-ya..." wanita itu tergagap. Tangannya geragapan menggapai setumpuk kertas di depannya, sibuk mencari. "Dan kalian adalah...?"

"Max Martinez," ujar Max mantap, "lalu Nicholas Ride," aku memutar bola mataku diam-diam ke arahnya, dan ia hanya tertawa tertahan, "Jeff Ride dan Krystal Ride." Iggy hanya tersenyum, dan Nudge melambai kelewat bersemangat. Mrs. Cope mencari selama beberapa puluh detik, dan akhirnya mendapatkan jadwal kami. "Apakah Jeff sudah diberi jadwal agar ia ada di salah satu kelasku atau Nick, seperti yang kuminta, Mrs. Cope? Karena seperti yang kau lihat, ia buta, jadi..." Max menggantung kalimatnya, seakan iba atau mengingat hal yang sedih. Sandiwaranya sangat meyakinkan, karena aku tahu bahwa ia sama sekali tak segan menyebut Iggy buta atau semacamnya. Dan Iggy juga sama sekali tidak keberatan, kami sudah seperti keluarga.

"Oh, ya, ya tentu..." katanya, masih membelalakkan matanya dan memandang kami.

Aku segera menyambar jadwal kami dan Max buru-buru berpamitan dengan alasan bahwa kelas akan segera dimulai. Sesampainya di luar, tanpa bicara aku menyerahkan jadwal ke masing-masing orang, dan membaca jadwalku sendiri. Aku juga mengintip jadwal yang lain dan mencocokkannya. Aku mendapat dua kelas dengan Iggy dan tiga kelas dengan Max. Nudge sudah berlari ke kelasnya karena ia sangat bersemangat untuk 'mendapat teman baru' dan ia tidak punya kelas apapun bersama kami. Kelas yang pertamaku Kalkulus, sementara Iggy dan Max mendapat Pemerintahan. Aku mengangguk ke arah Max dan mulai berjalan ke kelasku. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang membosankan.

***

Max POV

Segera setelah Fang pergi, aku menarik Iggy ke gedung tiga, dimana kelas kami diselenggarakan. Kelas sudah dimulai selama lima menit, tapi aku tidak khawatir, Mrs. Cope bilang sebagai murid baru tidak apa-apa terlambat sedikit. Aku mengubah ekspresiku menjadi netral dan mengetuk pintu, lalu membukanya sedikit. Seluruh perhatian kelas langsung tertuju padaku.

Aku mengerjap dua kali, lalu dengan cepat mengendalikan diriku. Dengan mantap aku berjalan menuju meja guru sambil tetap menarik tangan Iggy dan menyerahkan lembar yang harus ditanda tanganinya. "Kami murid baru," kataku singkat. Guru itu hanya mengawasi kami selama dua detik, lalu menandatangani kertas kami dan menyuruh kami duduk di bagian belakang kelas. Untunglah kami tidak disuruh memperkenalkan diri. Aku membimbing Iggy ke kursi kami, mengabaikan semua tatapan yang kuterima. Iggy duduk di sebelahku.

"Hei," sesuatu menyentuh pundakku. Aku langsung menegang, tapi berusaha membuatnya tidak terlihat dari luar. Rupanya orang di bangku sebelah melemparkan kertas ke bahuku.

"Ya?" tanyaku singkat, menoleh dan berekspresi bingung. Aku mengawasi si pelempar kertas, cowok berambut pirang, bermata biru dan tersenyum kelewat lebar mengulurkan tangannya dan bertanya, "Kau baru ya di sini?" Aku ingin sekali memutar bola mataku mendengar hal yang sudah jelas itu. "Aku Mike Newton, namamu?"

"Max," kataku singkat, hanya menatap tangannya yang terulur. Ia menurunkan tangannya setelah beberapa detik, menyadari bahwa aku tidak akan menjabatnya, tapi tetap tersenyum.

"Kau tinggal di mana? Apa anak di sebelahmu itu saudaramu?" tanyanya ramah.

"Di rumah. Ya, dia saudaraku," kataku, berusaha terdengar ramah, tapi juga berusaha memberi tanda bahwa aku tidak tertarik bicara dengannya saat ini.

"Oh. Kenapa kau pindah ke Forks? Apakah kau menyukai Forks sejauh ini?" tanyanya lagi.

Aku ingin sekali memplester mulutnya dan menyuruhnya untuk diam, tapi untunglah sebelum aku melakukan itu, Mr. Jefferson, guru Pemerintahan kami bertanya padanya. "Mike, coba jawab soal nomor empat puluh dua."

Mike tergagap dan aku kembali memfokuskan perhatianku ke depan kelas. Di sebelahku, bisa kudengar Iggy tertawa pelan sekali. Untuk kedua kalinya aku menahan keinginanku untuk memutar bola mataku.

Apa yang sedang dilakukan Fang ya?

***

Nudge POV

Wow! Aku pergi ke sekolah lagi! Baik sekali Max mau mengizinkan kami pergi sekolah lagi, kukira dia akan menolaknya mentah-mentah dan marah pada Angel dan aku. Dia kan sama sekali tidak senang bersekolah waktu kami dulu tinggal di rumah Anne. Apalagi dengan kebodohan Fang yang seenaknya mencium cewek berambut merah itu. Padahal aku tahu Fang sama sekali tidak menyukainya. Well, mungkin ia menyukainya sedikit, tapi aku tahu Fang tidak menyukainya sebanyak ia menyukai Max. Mungkin dia mencoba membuat Max cemburu? Ya, mungkin saja. Dan aku bisa bilang Max marah sekali, aku pernah mendengar mereka berteriak-teriak bertengkar. Mereka tidak tahu kalau aku mendengarkan. Tapi aku mendengarnya, bersama Angel dan Gazzy. Iggy memang diam saja, tapi aku yakin kalau dia tahu. Iggy bilang itu urusan mereka. Aneh sekali, padahal biasanya Iggy senang meledek Max, dan tidak akan pernah melewatkan kesempatan untuk berkata sarkastis, misalnya, "Kalian ini ribut saja, seperti sepasang suami istri." Tapi Iggy memang sudah banyak berubah. Eh, sedikit sih, dia jadi punya sisi kalem. Eh, ada yang membuatku penasaran. Meskipun Iggy masih sering sarkastik sampai sekarang, tapi entah kenapa ia jadi lebih ma―

"Hei," seseorang mengibas-ngibaskan tangannya di depanku. Aku mengerjap. Ah, aku pasti melamun lagi sambil berjalan. Memang sering seperti itu, kalau Max menyuruhku diam, misalnya saat kami ada dalam pengintaian, dan aku tidak boleh bicara, aku akan bicara di kepalaku, tapi terkadang aku jadi setengah melamun begitu―

"Halo," kataku ceria. Cewek di depanku ini, rambutnya coklat sebahu dengan sedikit warna kemerahan di ujungnya, tersenyum lebar padaku. Aku balas tersenyum. Hmm, mungkin ia akan jadi teman pertamaku! Apa dia suka belanja ya? Atau mengecat kuku? Sudah lama aku ingin mengecat kukuku dengan warna perak, tapi mungkin warna hitam atau ungu juga bagus. Ooh, coba lihat, kukunya berkilau pink begitu! Bagus sekali.

"Kau murid baru? Siapa namamu? Aku Jennifer," ujarnya ramah, ia terus tersenyum, tapi bukan senyum menyebalkan pura-pura ramah seperti yang ditunjukkan si rambut merah yang selalu menempel pada Fang itu, waktu kami sekolah di Virginia―siapa namanya?―Oh ya, Lissa. Senyum yang ini lumayan ramah dan tulus. Oh, semoga saja ia anak yang baik dan bisa diajak belanja! Max sama sekali tidak asyik untuk diajak menjelajahi mall, dia selalu mengeluh, meskipun asyik juga untuk memilihkan pakaian untuk Max, ia cukup cantik, seperti boneka barbie, dan pantas memakai apa saja.

"Aku Krystal. Apa kau mau ke kelas yang itu?" tanyaku bersemangat, menunjuk salah satu pintu terdekat yang akan kumasuki. Ia mengangguk, kemudian menggandeng tanganku, dan menggumam akan memperkenalkan aku pada teman-temannya yang lain. Aku berjalan agak melompat-lompat di sampingnya, tak sabar untuk bertemu anak-anak lain.

Sepertinya sekolah ini memang sangat menyenangkan! Dalam waktu beberapa menit saja aku sudah mendapatkan teman. Wow, aku bertanya-tanya apakah di kelasku yang ini akan ada cowok yang tampan? Maksudku bukan cuma tampan dan sombong serta suka bertingkah menyebalkan, atau tampan dan suka mengacuhkan orang-orang di sekitarnya serta berusaha tidak sadar keadaan―menurutku itu terlihat seperti Fang... ya tidak?― tapi tampan dan lucu dan punya selera humor yang bagus, dan juga pintar. Oh, kuharap ada! Kalau memang ada maka aku akan benar-benar menikmati sekolah di sini.

Ideku untuk pergi ke sekolah memang tepat!

***

Angel POV

Kelas sudah dimulai. Aku masuk ke kelas tiga. Teman-temanku di sini baik sekali, begitu aku masuk kelas salah satu dari mereka mendekatiku dan menarikku masuk ke kelompoknya. Di kelompok ini ada enam orang anak, dua di antaranya anak laki-laki, mereka memandangiku dengan tatapan aneh. Tapi dari pikiran mereka aku tahu kalau mereka hanya penasaran denganku. Maka aku tersenyum manis pada mereka dan memperkenalkan diriku, "Hai, aku Ariel." Mereka menggumamkan hai pelan sebagai balasan dan kembali ke buku tulis mereka. Tidak terlalu ramah, tapi mereka bukan orang jahat. Debbie―anak perempuan yang menarikku masuk ke kelompoknya―memperkenalkan sisa anak yang lainnya, lalu kami mulai mengerjakan tugas yang diberikan guru.

Setelah beberapa lama, Ms. Helen―guru kami, ia meminta kami memanggilnya begitu―menghampiri kelompok baruku, dan bertanya apakah aku merasa nyaman di sini dan apakah aku butuh bantuan. Aku menggangguk untuk menjawab pertanyaan yang pertama, dan menggeleng serta menggumamkan kata 'tidak' untuk menjawab pertanyaan yang terakhir. Ms. Helen tersenyum kemudian berkata bahwa kalau aku butuh bantuan aku tinggal datang saja kepadanya. Aku menggangguk antusias sampai rambut pirangku bergoyang-goyang dan kembali ke pekerjaanku. Aku menyukai Ms. Helen, ia baik, hampir seperti Max.

Aku tahu bahwa Max tidak terlalu senang pergi ke sekolah. Tapi ia tetap melakukannya untukku dan Nudge. Ia beranggapan bahwa aku dan Nudge, juga yang lainnya membutuhkan kesempatan belajar dan berteman dengan orang lain, juga butuh istirahat dan bersenang-senang. Dia sendiri tidak bersenang-senang, tapi ia senang kalau kami senang. Aku harap Max tidak terlalu tertekan di sekolahnya. Ia masih sedikit dihantui oleh memori waktu Fang mencium anak perempuan berambut merah itu. Aku tahu karena aku sempat melihatnya di pikiran Max. Ya, sebenarnya aku tidak diperbolehkan mengintip pikirannya, tapi aku tidak sengaja. Max akan memaafkanku kalau aku tidak sengaja melihatnya.

Oh, dan dia sedih sekali kalau sedang mengingat hal itu. Dia sangat menyukai Fang, tapi tidak mau mengatakannya. Dan dia juga tidak sadar kalau Fang menyukainya. Tapi Fang sendiri memang bodoh, malah melakukan hal seperti itu padahal jelas-jelas ia menyukai Max. Aku sama sekali tidak mengerti orang dewasa. Fang dan Max sudah dewasa kan? Yah, kuharap Fang tidak melakukan hal bodoh lagi di sini, kalau tidak Max akan sedih lagi, dan aku tidak suka kalau Max sedih...

***

Gazzy POV

Aku didaftarkan di kelas lima. Huh, aku bingung kenapa aku harus pergi ke sekolah. Belajar itu kan membosankan. Lagipula aku sudah pandai berhitung dan membaca. Aku juga bisa merakit bom dan benda-benda elektronik lainnya, Iggy mengajariku dengan baik. Aku juga tahu bedanya bubuk mesiu, bubuk besi, cara menimbangnya, mengolahnya dan menghubungkannya ke logam-logam dan pengatur waktu, menghasilkan bom yang bisa meledak dengan menyemburkan warna-warni yang bagus. Atau bau yang bagus. Ha ha, Max akan marah kalau tahu aku memikirkan hal ini. Ah, untung saja dia bukan pembaca pikiran seperti Angel.

Seperti yang kubilang tadi, belajar itu membosankan. Kenapa juga sih Angel dan Nudge ingin pergi ke sekolah? Dan kenapa juga waktu itu aku ikut memasang muka memelas pada Max agar kami bisa pergi ke sekolah? Kurasa aku melakukannya untuk menjengkelkannya saja... Ya, kurasa begitu. Well, sekolah menurutku tidak asyik. Kecuali waktu aku meledakkan bom bau waktu di Virginia itu. Anne marah sih, dia ditelepon kepala sekolah. Tapi hasilnya fantastis, aku puas sekali. Huh... Sayang sekali Iggy tidak ada di sini. Waktu di Virginia kami sekolah di bangunan yang sama, jadi kami bisa menghabiskan waktu bersama-sama. Dan merakit bom juga. Tanpa Iggy jadi membosankan...

Kurasa mungkin nanti aku akan mengunjungi Iggy di sekolahnya.

***

Iggy POV

Kelas-kelas yang kulalui cukup berjalan lancar. Kecuali saat masuk Kalkulus, yang kulalui bersama Max, kami harus memperkenalkan diri. Dan juga sapaan-sapaan dari anak-anak lain. Mereka terus berusaha menarik perhatian Max dan Fang. Aku ingat saat cowok bernama Mike itu terus menerus menanyai Max. Kalau saja Mr. Jefferson tidak memanggilnya, mungkin semenit kemudian tangannya sudah remuk digenggam Max yang kalap. Bukan berarti aku akan membiarkan hal itu terjadi... Kalau dipikir-pikir mungkin aku akan membiarkan hal itu terjadi, hanya untuk melihat selucu apa jadinya peristiwa itu.

Tidak, aku cuma bercanda. Tentu saja aku tidak akan membiarkan Max menghancurkan tangan Mike, seberapa menyebalkannya pun dia, karena itu bisa menyingkap jati diri kami. Kami tidak mau masuk kandang anjing lagi tentunya. Atau berada dalam pelarian lagi. Itu menyebalkan.

Fang juga tidak menjalani hari yang lebih baik dari Max. Aku mendengar bisikan-bisikan tentangnya―dan tentangku juga, dan tidak sedikit, betapa mengejutkan―datang dari gadis-gadis di dalam kelas yang kujalani bersamanya. Satu dua bahkan datang memperkenalkan diri dan menawarkan Fang untuk datang dan duduk bersama mereka saat makan siang, yang dijawab Fang dengan gelengan―aku tidak mendengar jawaban Fang, jadi kuasumsikan ia menggeleng, ia bukan orang yang banyak bicara. Salah satunya, kurasa namanya Laura atau semacam itu... Oh, Lauren, ya, dia datang ke meja kami―kebetulan saat itu guru yang mengajar tidak masuk ke kelas―dan berusaha mengundang Fang untuk makan siang bersamanya, dengan cara yang membuatku geli―dan kemungkinan besar akan membuat Max marah kalau ia mengetahuinya. Untung saja Max tidak berada di kelas ini.

"Hai, aku Lauren. Namamu Nick kan?" aku mendengar suara cewek bernada sengau dari sebelahku, menanyai Fang yang duduk di sebelahku.

Dalam hati aku tertawa terbahak, mengasihani Fang yang nampaknya menjadi magnet anak perempuan. Aku jadi ingin tahu seperti apa tampang cewek yang satu ini. Dari suaranya sih sepertinya ia orang yang menyebalkan, tapi kita tidak bisa menilai orang dari satu sisi saja. Aku tidak tahu apakah ia menyebalkan kalau dilihat dari tampangnya, mungkin saat makan siang aku harus menanyai Fang... Ah, mari kita lihat dari tingkah lakunya, apa maunya datang ke sini.

"Ya," jawab Fang singkat. Ia rupanya masih tetap pada jawaban-dan-percakapan-kurang-dari-lima-kata-nya. Kalau dalam kawanan, yang berlaku adalah jawaban-dan-percakapan-kurang-dari-sepuluh kata. Kalau untuk Max, lebih dari itu tentunya. Ha, aku sudah tahu bagaimana perasaannya pada Max, itu sangat jelas terlihat, padahal aku buta. Aku sendiri heran kenapa sampai sekarang mereka belum jadi pasangan. Apakah sebegitu butanyakah mereka terhadap perasaan satu sama lain?

"Oh. Kau punya otot yang bagus," katanya dengan suara yang mungkin dikiranya menggoda, tapi malah membuatku―dan Fang, untuk yang ini aku yakin―ingin muntah. "Apakah kau ikut klub olahraga sebelumnya? Basket atau baseball mungkin?"

"Tidak," Fang menjawab dengan nada datar, jelas sekali tidak tertarik. Ia sudah tahu apa yang diinginkan cewek ini. Ia sudah belajar rupanya dari pengalaman yang lalu. Tapi kenapa dia tidak mengetahui kalau Max menyukainya, bahkan mungkin mencintainya, sama seperti ia mencintai Max? Ya, kau tidak salah dengar, aku tahu bahwa Fang mencintai Max, biarpun dia berusaha sangat keras menutupinya.

"Wah, masa?" Aku kini merasakan bahwa mejaku agak bergetar, dan melengkung ke bawah sepersekian mikro, dan aku tahu bahwa Lauren duduk di mejaku. Aku penasaran apakah dia mengenakan jeans ketat, atau rok mini super pendek―di tengah cuaca dingin Forks, wow―atau memakai tank top ketat. Bukannya aku akan bergairah melihat hal itu atau bagaimana, aku kan tidak bisa melihat, kuberitahu kau sekali lagi. Tapi lucu sekali mengetahui bahwa pikiran remaja masih belum berubah dari tahun ke tahun. Aku juga tahu bahwa Fang tidak akan tertarik pada hal itu. Err... seharusnya dia tidak tertarik. Uh, baiklah, aku tidak yakin apakah dia tertarik atau tidak, tapi kuharap ia tidak tertarik. "Tapi kau suka kan menyaksikan atraksi cheerleader di lapangan baseball atau sebelum pertandingan basket? Kau mau menonton latihanku tidak?" lanjut Lauren, masih dalam suara sengaunya itu.

Wow, rupanya ke situ arah pembicaraannya. Aku sekali lagi terkekeh dalam hati. Aku tidak bicara apapun sejak tadi, mengacuhkan mereka, membiarkan mereka mengira aku tidak mendengarnya, atau apapun yang mereka kira tentangku. Aku ingin mengobservasi mereka, dan mempelajari situasi di sini, agar aku bisa membantu Max di saat-saat darurat. Aku juga belum melontarkan kalimat sarkastik apapun, dan terus memasang senyum malaikatku. Fang tentunya tidak akan terbodohi, tapi yang lainnya tertipu.

Bel tanpa disangka-sangka berdering, dan dengan cepat Fang menarikku berdiri, lalu melesat meninggalkan Lauren yang masih duduk di mejaku tanpa jawaban dari pertanyaan terakhirnya. Untung saja refleksku bagus, sehingga aku masih sempat menarik tasku. Setibanya di luar kelas dan jauh di luar kemampuan pendengaran Lauren, barulah aku tertawa terbahak-bahak.

Kami berhenti di tengah koridor kukira, dan aku mendengar langkah kaki yang familiar datang dari sebelah kiriku, dan langkah kaki lain yang juga familiar datang dari arah berlawanan, agak jauh. Max dan Nudge menuju ke arah kami. Aku masih belum berhenti tertawa saat mereka sampai ke tempat kami, dan aku hanya mengangkat bahu sambil mengusap air mata tawaku saat mereka bertanya apa yang kutertawakan. Nudge merangkul lenganku dan membimbingku berjalan menyusuri koridor itu. Aku kini merasa lebih nyaman. Max berjalan di depan, sementara Fang berjalan sedikit di belakangnya. Aku dan Nudge mengekori Fang.

Waktunya makan siang, kami melangkah menuju kafetaria.

Labels:

lily at

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home