<body> my scribbled notes

Friday, March 27, 2009

Hiding In The Dark Corner: Chapter 6

NOTE: Kalimat/kata-kata yang dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti pikiran seseorang.

Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson. Tapi kalau Meyer mau memberikan Jasper atau Edward, atau Patterson mau menyerahkan Fang untuk hadiah ulang tahun saya, boleh :D.


Chapter 6
TC: Mind Block

Edward POV

Aku belum mendapat kemajuan apapun.

Baik mengenai pembantaian dan kasus orang-orang hilang di Seattle, maupun tentang para penghuni baru Forks. Aku belum mendapat informasi tambahan apapun, selain yang diceritakan Bella padaku. Topik yang terakhir, jujur saja, lebih menarik perhatianku.

Informasi yang kuketahui hanya sedikit. Hanya bahwa ada enam orang anak yang diadopsi oleh sepasang misionaris baik hati. Dua diantara mereka bersekolah di Sekolah Dasar. Empat sisanya masuk ke Sekolah Menengah Forks, tiga orang berada di tingkat Senior, sama seperti Bella. Hanya itu. Aku tidak tahu di mana mereka tinggal, jenis kelamin mereka, bagaimana ciri-ciri fisik mereka, seperti apa orangtua mereka. Dan aku tidak bisa mencari informasi dengan cara membaca pikiran orang-orang, karena mereka semua juga belum pernah bertemu dengan orang-orang baru itu.

Karena suatu alasan, Alice tidak melihat mereka datang. Mungkin karena mereka mengambil keputusan datang ke Forks dengan mendadak. Tapi saat Alice mencoba melihat masa depan mereka, ia tidak bisa melihatnya. Masa depan mereka bukannya menghilang, hanya... kabur. Ia bisa melihat bahwa akan ada yang datang, namun tidak bisa melihat siapa yang datang, dan apa tindakan yang akan mereka lakukan. Hal ini semakin membuatku frustasi. Mungkin Bella benar, kita lihat saja besok.

Satu-satunya informasi tambahan yang kudapatkan hanyalah pada malam harinya saat menemani Bella tidur. Ia mengatakan bahwa anak-anak itu bernama belakang Martinez dan Ride.

-

Pagi harinya, lima menit sebelum Charlie terbangun, aku keluar dari kamar Bella. Aku berlari dengan kecepatan penuh menuju mansion putih tempat tinggalku dan segera mandi dan berganti pakaian dengan cepat. Dalam sepuluh menit aku sudah siap berangkat. Dengan tidak sabar aku menunggu Alice masuk ke mobil dan mengemudikan Volvoku, melesat menuju rumah Bella.

Kami sampai di sekolah agak terlambat dari biasanya. Lapangan parkir sudah lumayan penuh, namun untunglah masih ada lahan parkir yang kosong. Berkat latihan bertahun-tahun, memarkirkan mobilku dengan cepat.

Bella menepuk pundakku, menunjukkan sebuah mobil asing yang menempati lahan parkir tak jauh dari mobilku. Bella mengatakan bahwa mobil itu mirip dengan mobilku, mengundang tawa tertahan dariku. Aku menerangkan padanya dengan berbisik bahwa mobil itu adalah Maserati Quattroporte, keluaran tahun 2006 dan harganya mahal. Aku juga memberitahukan keinginan Rosalie membeli mobil seperti, namun ia terlalu sayang dengan BMW Convertible merahnya, ia mengurungkan niatnya. Dan bentuknya jelas berbeda dengan Volvo. Bella yang keras kepala ternyata tidak mau kalah. Ia tetap bersikeras bahwa bahwa mobilku hampir sama dengan mobil itu, kecuali dari segi warnanya. Paling tidak dari segi bentuk kelihatannya sama. Aku tertawa lagi.

"Jelaskan kalau begitu, dimana letak perbedaannya," tuntutnya, bibir bawahnya ditonjolkan keluar, saat ia cemberut seperti itu, Bella-ku tetap terlihat mengagumkan.

Aku menggeleng-geleng geli, "Kau tidak akan mengerti, Bella, bahkan kalau aku menjelaskannya secara rinci mulai dari streamlinenya sampai ke detail mesinnya. Yang jelas kedua mobil itu jauh berbeda. Namun yang jelas Maserati memang mobil yang terhitung hebat." Itu memang benar, dia tidak akan mengerti kehebatan mobil itu―pada faktanya, ia tidak akan mengerti kehebatan mobil apapun kecuali yang tampak dari luarnya saja. Dia bahkan tidak bisa melihat perbedaan jelas pada bentuk luar Volvo dan Maserati. Bella terkadang bisa sangat tidak observant mengenai hal tertentu.

Aku mengawasi mobil itu beberapa lama. Maserati di lapangan parkir ini berwarna hitam legam dan mengkilap, sepertinya masih baru dan memang tanpa goresan. Mobil ini cukup mahal, harganya bisa jadi lebih mahal daripada harga mobil siswa-siswa dalam satu kelas digabungkan. Siapapun yang memilikinya jelas tidak mempunyai masalah dengan uang, dan mempunyai selera yang bagus. Siapa yang kira-kira mampu membeli mobil macam ini, dan menggunakannya untuk transportasi sehari-hari seperti ke sekolah? Yang bisa mempunyai cukup uang untuk membeli mobil ini hanyalah kalangan selebritis, dan memang beberapa dari kalangan merekalah yang memang mempunyai Maserati. Apakah salah satu dari mereka selebritis? Atau orangtua mereka yang aktor atau aktris terkenal?

Tapi menurut rumor orangtua mereka adalah misionaris. Lagipula aku belum pernah mendengar selebritis bernama belakang Ride atau Martinez. Profesi lain yang menghasilkan banyak uang sehingga memungkinkan untuk membeli Maserati adalah dokter atau ilmuwan. Tapi itu juga hampir tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah jika mereka mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit, sehingga dalam waktu lama mereka akan mendapat uang banyak, yang mana tidak mungkin dilakukan manusia yang hanya memiliki waktu sedikit. Apakah dugaanku benar, bahwa mereka vampir? Tapi aku tidak mencium bau vampir lain di sekitar sini. Baiklah, kita lihat saja nanti. Mereka pasti akan ada di salah satu kelasku. Kalaupun tidak, mereka pasti akan ada di kafetaria. Mereka semakin membuatku penasaran.

Dengan sekilas pandangan terakhir pada mobil mengkilap itu, aku menarik tangan Bella dan membawanya ke kelas pertamanya―kelas pertama kami. Aku tersenyum, kata itu selalu bisa mencerahkan hatiku.

Sepanjang pagi tidak ada kejadian yang berarti. Tidak ada satupun Ride atau Martinez yang berada ke kelasku. Aku tetap memasang telinga dan mata, dan memeriksa pikiran setiap orang dengan teliti, mengumpulkan informasi soal anak-anak baru itu. Anehnya, tidak ada satupun gambaran jelas mengenai mereka di pikiran anak-anak ini. Aku hanya bisa mendengar opini-opini mereka mengenai Ride dan Martinez, namun tidak bisa menarik visualisasi dari benak mereka. Gambarnya selalu kabur, sama seperti pada penglihatan Alice.

Opini-opini anak-anak remaja inipun tidak ada yang membantu. Kalaupun membantu, hanya sedikit, dan sebagian besar di antaranya memuakkan.

Cewek Max itu benar-benar cantik! Aku ingin tahu apakah ia sudah punya pacar. Meskipun ia terus saja bersama cowok buta itu, dan marga mereka sama, tapi bukan berarti berkencan kan? Lagipula aku tidak melihat per―

Aku pasti bisa mendapatkan nomor telepon Nick di kelas ini! Aku tinggal menjatuhkan pensilku di dekat mejanya, lalu meminta maaf dan berkenalan dengannya. Mungkin aku bisa mengajak―

Senyum Jeff mempesona sekali! Aku tidak peduli kalau dia buta, dia milikku! Mungkin aku bisa menawarkan bantuanku untuk mengantarnya ke kelas-kelas―

Berani taruhan kalau aku bisa membawanya kencan pada ajakan pertama. Yeah, semua gadis memang menginginkanmu, Crow―

Kenapa dia tidak mau menjabat tanganku? Ah, dia cuma malu, pasti begitu. Tidak ada yang bisa menolakmu pesonamu, Newton―

Yes! Mr. Mason tidak masuk kelas! Aku bisa mendekati Nick dengan mudah. Jeff itu mengganggu saja, biarpun dia cukup imut juga... Tapi dia buta, apa memangnya yang bisa dilakukan oleh orang buta? Ah, lupakan dia, anggap saja dia tidak ada. Untunglah hari ini aku memakai jeans seksi dan atasan hitam ini! Nick tidak akan bisa menolakku! Terutama begitu ia melihat aksiku saat latihan cheer―

Nah, mengerti maksudku? Begitulah... Pikiran para remaja ini benar-benar dangkal. Hanya memikirkan diri sendiri. Terutama Lauren, yang sepertinya kini membidik Nick sebagai targetnya. Aku ingin tertawa mengingat usahanya menggodaku di hari-hari pertamaku bersekolah di sini. Ia mencoba berbagai cara, ia bahkan bersikap manja dan memakai pakaian yang lebih pantas dipakai anak berumur sepuluh tahun. Ia pikir itu seksi. Menurutku itu konyol sekali. Berbeda dengan Bella-ku. Bella bahkan tidak perlu berusaha dan memakai pakaian macam-macam, apapun yang dikenakannyadan dilakukannyaterlihat seksi bagiku. Bahkan saat ia menguap dan meregangkan tubuh setelah bangun tidur, mengenakan sweater tua dan celana panjang berlubang. Dan lagi, Bella-ku tidak egois. Ia selalu mencemaskan orang lain, bahkan saat sebetulnya hal itu tidak perlu. Ia memang sebaik malaikat. Ia adalah malaikatku.

Informasi yang kudapatkan hanya bahwa nama-nama mereka adalah Nick dan Jeff, dan Max yang seorang perempuan. Tidak ada penjelasan yang mana yang bernama Ride dan yang mana yang bernama Martinez. Hanya ada tiga nama, yang seorang lagi tidak terdengar kabar beritanya, mungkin karena kelas somophore letaknya jauh dari kelas tempatku berada sekarang. Jeff ternyata buta. Mereka juga sepertinya mempunyai penampilan yang cukup menarik, melihat pikiran-pikiran remaja-remaja ini tidak jauh dari meminta nomor telepon, mengajak makan siang dan kencan, dan bertanya-tanya apakah mereka sudah punya pacar atau belum. Aku tertawa dalam hati, rasanya seperti pada saat kami pertama kali datang kemari. Atau saat Bella masih menjadi murid baru.

Aku terus memeriksa setiap benak yang bisa kujangkau, namun tak sekalipun aku pernah menyentuh benak salah satu anak baru itu. Mungkin karena kelas kami letaknya berjauhan. Hingga tiba waktunya makan siang aku tidak menemukan informasi baru lagi mengenai mereka. Aku menyerah, dan berjalan menuju kafetaria saat jam makan siang datang, menyandang tasku dan tas Bella di salah satu bahuku, sementara tanganku yang lain merangkul pinggangnya. Alice sudah sampai lebih dulu, di depannya sudah ada nampan makanan yang tidak akan dihabiskannya. Makanan hanya sebagai kamuflase bagi kami, hanya agar kami terlihat manusiawi. Aku mengangguk ke arahnya, lalu ikut mengantri bersama Bella untuk membeli makanan untuknya. Setelah membayar, kami berdua berjalan ke arah meja kami yang biasa. Aku berhenti di depan Alice, dan mulai berbicara dengannya.

"Apakah kau sudah mendapat penglihatan lagi? Apakah kau mendapatkan kelas yang sama dengan salah satu dari mereka? Bagaimana rupa mereka?" tanyaku berturut-turut. Aku tidak menyentuh benak Alice sepagian ini, dan aku juga tidak melihat masa depan apapun yang mungkin sedang ia pikirkan artinya.

"Sheesh, tenanglah Edward. Aku sama sekali tidak melihat apapun, dan meskipun aku mencoba, aku hanya melihat sosok-sosok buram, tidak pernah jelas. Mungkin aku harus bertemu dengan mereka atau bagaimana, barulah aku bisa melihat mereka," Alice terdengar frustasi.

"Apa? Bagaimana bisa kau tidak melihat mereka?" kataku menuduh, "Dan kau masih belum menjawab pertanya"

"AKU TIDAK TAHU!" desis Alice. "Hal ini hanya pernah terjadi pada werewolf saja. Dan tidak, itu tidak sama, pada saat aku melihat werewolf, masa depan benar-benar menghilang. Sementara yang ini sosok-sosok mereka hanya kabur saja. Aku masih bisa melihat masa depan mereka, tapi seperti yang kubilang, buram. Dan aku belum mendapat kelas apapun dengan mereka. Dan aku tidak tahu bagaimana rupa mereka, kecuali bahwa mereka punya rupa yang lumayan kalau mengacu pada percakapan heboh di kelas-kelas yang kuikuti. Tapi Rasanya seperti saat Bella datang kemari lagi," Alice tersenyum sedikit mengenang saat itu. Aku juga tersenyum sedikit, tapi dengan alasan yang berbeda. Rupanya Alice punya pikiran yang sama denganku.

"Bagaimana dengan perkembangan soal kasus Seattle? Dan apakah kau sudah mendapat penglihatan soal kapan Volturi akan datang?"

Kini Alice terdengar murung dan frustasi lagi. "Tidak, aku juga tidak mendapat penglihatan soal kedua hal itu. Tapi bukan seperti kasus anak-anak baru ini. Aku sebenarnya mendapat penglihatan setiap kali aku mencoba melihat pelaku pembantaian Seattle. Namun aku tidak bisa memastikan apapun, karena mereka terpotong-potong dan terus berubah-ubah dengan cepat, seakan mereka terus mengubah keputusannya setiap detik. Dan Volturi belum memutuskan untuk datang menjenguk kita."

"Baguslah. Dan maafkan aku, Alice," kataku singkat. Alice hanya mengangguk, memaklumi kecemasanku.

Kami berkomunikasi menggunakan kecepatan vampir sehingga tidak ada yang bisa mencuri dengar. Bella juga tidak akan mendengar sesuatu yang tidak perlu diketahuinya, Aku tidak mau membuatnya cemas. Dan dengan cara seperti ini kami selesai berdiskusi jauh lebih cepat.

Aku segera duduk di samping Bella yang sudah duduk lebih dulu. Alice duduk di seberang kami, tersenyum ke arah Bella. Bella mulai memakan pizzanya, namun matanya melirik berkeliling ke sekitar kafetaria, dan aku tahu bahwa ia sedang mencari-cari siapa tahu anak-anak baru itu sudah ada di sini. Aku mendengar desahan putus asa, jadi kuasumsikan dia tidak melihatnya. Dan aku sudah memeriksa sedetik sebelum berbicara dengan Alice, jadi aku sudah tahu hal itu. Aku tersenyum kecil melihat usaha Bella untuk mencari tahu soal anak-anak itu. Tentu saja aku sudah mengantisipasi dan mencari tahu beberapa langkah di depannya!

Saat itulah mendengar suara detak jantung Bella―detak jantung yang amat familiar, detak jantung yang iramanya kudengarkan setiap malam dan menentramkanku―berubah temponya.

Alice tidak bisa melihat dengan bebas, karena kursinya membelakangi pintu kafetaria, tapi aku duduk di sebelah Bella, karena itu aku bisa dengan mudah mengikuti arah pandangannya. Dan akhirnya aku melihat langsung sumber keresahanku selama delapan belas jam terakhir ini.

Begitu mereka masuk, keheningan tak wajar langsung melanda kafetaria. Dan aku tidak menyalahkan mereka, karena bila aku manusia, akupun takkan bisa menahan terbuka lebarnya rahangku.

Yang pertama kali muncul sosoknya adalah seorang gadis berambut pirang yang diselingi oleh helai-helai rambut coklat. Matanya yang lebar berwarna coklat dan dalam, sama seperti mata Bella. Namun yang membedakan adalah sorot matanya jauh lebih keras, memancarkan ketangguhan, kewaspadaan dan kendali. Tapi mata yang sama juga menyiratkan kelembutan dan kehangatan, serta intelegensi dan kebijaksanaan jauh di atas umurnya. Bagaimana hal itu bisa terjadi, aku tidak bisa menjawabnya. Pakaiannya biasa saja, jeans yang terlihat nyaman dan kaus hitam di bawah jaket abu-abunya. Langkahnya mantap dan memiliki irama yang tetap. Aura authoritas terpancar darinya. Jelas sekali bahwa dialah pemimpinnya.

Rapat di belakangnya adalah seorang remaja laki-laki berpakaian serba hitam, tidak ada satupun atribut yang dikenakannya yang tidak berwarna kelam. Ia lebih tinggi beberapa inchi daripada perempuan di depannya. Rambutnya yang terlihat tidak dirapikan tetapi cukup bergaya―aku tidak tahu bagaimana caranya bisa begitu―berwarna segelap langit malam tanpa bintang, dengan mata sehitam onyx. Sorot matanya dingin dan tenang, memeriksa keadaan di sekitarnya dengan cepat dan sigap, seakan mengharapkan adanya bahaya melompat keluar dari balik counter makanan atau salah satu meja. Setelah itu ia memusatkan pandangannya ke belakang kepala si perempuan berambut pirang. Sorot matanya melembut sedikit saat itu, namun ekspresi fasialnya tetap minimal, tidak nampak setitik emosipun yang bisa kuterjemahkan untuk mengetahui apa yang ada di pikirannya.

Gaya berpakaiannya yang serba hitam akan membuatmu menganggap bahwa dia seorang beraliran gothic, atau penganut gaya emo, tapi tidak ada tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa ia adalah salah satu dari keduanya. Ia tidak berpakaian berlebihan, hanya mengenakan jeans hitam, converse hitam, kaus hitam dibalik jaket hitamnya yang agak melambai ke belakang tubuhnya. Dari lengan jaketnya terlihat jam tangan hitam, namun tidak bisa dipastikan apa mereknya, atau bahkan apakah jan itu digital atau analog. Langkah pemuda ini tepat sama dengan 'pemimpin'nya. Bila kau benar-benar meneliti sikap dan gerak tubuhnya kau akan menganggap bahwa dia protektif sekali terhadap gadis itu.

Setelah dua orang itu, muncul dua orang sekaligus, sepasang laki-laki dan perempuan.

Perempuan kedua ini sangat berbeda dengan yang pertama. Ekspresinya sangat terlihat dari wajahnya. Sekarang ia terlihat sangat senang. Atau mungkin ia memang selalu terlihat senang, aku tidak bisa memastikan. Berbeda dengan kedua orang pendahulunya yang berkulit coklat terang, dia berkulit cokelat agak gelap, namun terlihat sehat. Ia memiliki rambut panjang ikal berwarna cokelat, sedikit lebih terang dari rambut mahogani Bella. Salah satu helaiannya dihighlight pirang, kontras dengan kulit dan rambut aslinya, tapi terlihat stylish―begitulah istilah yang akan dipakai Alice―padanya. Ia mengikat rambutnya di atas kepalanya, dan seringkali rambut itu bergoyang-goyang sesuai gerakan tubuhnya. Pakaiannya fashionable, berwarna-warni sesuai dengan dirinya yang ceria, namun tetap pantas dikenakannya.

Seluruh gerak tubuhnya menandakan bahwa dia orang yang sangat bersemangat. Ia berjalan hampir melompat-lompat ringan, tangannya bergerak seakan sedang menerangkan sesuatu, dan mulutnya bergerak terus, berbicara pada orang di sebelahnya dengan cepat dan bernada ceria. Wajahnya berseri-seri, dan mata hijau emeraldnya berkerlip memancarkan kemudaan dan semangat. Entah apa yang sedang dibicarakannya―aku tidak mendengarkan dengan seksama, lebih memfokuskan seluruh perhatianku untuk mengobservasi mereka. Aku tahu sepotong-sepotong apa yang mereka bicarakan, tetapi aku tidak bisa menyimpulkannya menjadi satu topik besar―namun sekali waktu ia tertawa, dan suaranya adalah salah satu suara paling jernih yang pernah kudengar. Seperti saat kau mengetuk gelas kaca tipis dengan sendok logam, dan gelas itu berdenting.

Tangannya merangkul siku pemuda di sebelahnya dengan santai, tanpa keraguan sedikitpun.

Pemuda itu berambut pirang keemasan yang menjuntai sampai ke tengkuknya. Rambut depannya juga agak panjang dan membingkai lembut wajahnya. Ujung-ujung rambutnya memiliki warna kemerahan. Ia adalah kebalikan dari gadis yang menggandeng tangannya, tapi tidak kalah unik bila dibandingkan dengan yang lainnya. Wajahnya sangat tenang, dengan senyum malaikat terpasang sepanjang waktu di bibirnya. Ekspresinya lembut dan ia juga dengan sabar mendengarkan setiap kata-kata yang dilontarkan gadis di sebelahnya. Dan ia benar-benar mendengarkan, bukan hanya bersikap mendengarkan, karena ia terkadang melontarkan komentar yang berbobot, atau mengajukan pertanyaan yang menarik lebih banyak celotehan lagi dari si gadis. Mata biru elektriknya berkabut, namun aku bisa membayangkan mata itu akan sejenih kristal dan berkilau-kilau bila tak bertabir seperti itu. Matanya juga memiliki kesan yang hangat dan intelegensi terasa menyelusup tersembunyi di balik kabut matanya. Ia mengenakan jeans hitam dan sweater putih yang lengannya disingkapkan sampai ke siku, menampakkan kulitnya yang sedikit lebih terang dibanding 'pemimpin'nya. Melihat kondisi matanya, bisa kuasumsikan bahwa dialah yang bernama Jeff.

Mereka berempat tidak tampak berelasi. Semua mempunyai karakteristik fisik yang berbeda-beda. Namun mereka semua memiliki kesamaan: Sosok mereka tampak luar biasa mempesona, dan mereka memiliki keanggunan dan kelincahan seorang balerina, atau atlet senam tingkat dunia. Mereka memiliki tubuh indah yang hanya bisa kaubayangkan terpampang di majalah-majalah fashion, hampir menandingi Rosalie. Tidak ada otot yang terlalu berlebihan, atau lemak yang terlihat tidak pada tempatnya. Pada faktanya, aku tidak percaya bahwa di tubuh mereka ada kelebihan lemak. Gerakan dan langkah mereka santai namun mantap, bahkan Jeff yang buta sekalipun. Ia tidak terlihat seperti dibantu dan dibimbing untuk berjalan oleh si gadis berkulit gelap. Ia justru berjalan bersama gadis itu. Mereka semua menonjol dengan cara masing-masing.

Mereka terlihat seperti keluargaku saat berada di sini. Nampak seperti pemandangan dari film-film. Namun perbedaannya adalah, mereka tidak perlu menjalani kehidupan mengerikan yang kami alami. Mereka tampak bersinar dengan warna masing-masing, dan bebas bercengkrama dengan orang lain. Kalaupun mereka tidak bersosialisasi, itu adalah pilihan mereka, Mungkin mereka memiliki standar tersendiri. Kami tidak bisa bebas bersosialisasi tanpa khawatir menyebabkan insiden tertentu. Mereka adalah kebalikan dari kami. Dan yang paling penting, mereka punya detak jantung, mereka hidup.

Aku sejenak terkejut saat merasakan setitik rasa iri terhadap mereka, namun segera memahaminya. Mereka memiliki segala hal yang kuinginkan. Sejujurnya, semua manusia memiliki hal yang keluargaku inginkan. Tapi aku tidak iri pada kenyataan bahwa mereka memiliki fisik seperti selebritis tanpa harus menjadi vampir sepertiku. Aku yakin bahwa mereka bukanlah vampir. Mereka nampak normal seperti remaja pada umumnya, hanya saja lebih menawan. Namun tetap saja, ada sedikit perasaan ganjil yang tak bisa kujelaskan, perasaan yang mengatakan bahwa mereka lebih daripada yang terlihat di permukaan.

Mungkin kau ingin mengatakan, seharusnya aku mengecek dan membaca pikiran mereka saja untuk memastikan. Tapi sejak mereka memasuki kafetaria, berlawanan dengan suasana hening yang tercipta, pikiran semua orang berteriak-teriak, menulikan telinga mentalku. Aku tidak akan memberitahumu detailnya, tapi kuyakinkan kau, lebih parah daripada pikiran-pikiran yang kudengarkan sepanjang tadi pagi.

Aku berusaha meredakan dan memfokuskan diriku, tapi langkah kaki yang mendekat membuatku kehilangan konsentrasi.

Mereka melewati meja kami tanpa ragu-ragu atau merasa terintimidasi, membawa nampan mereka yang penuh makanan dengan satu tangan. Si gadis rambut pirang dan pemuda berambut hitam masih sama diamnya seperti semenjak mereka masuk ke kafetaria. Gadis berkulit gelap itu masih merangkul tangan si pemuda pirang, dan berceloteh soal guru wanita bercat kuku hitam. Mereka berjalan tanpa ragu atau keberatan dengan nampan yang dibawanya. Langkah mereka juga tidak melambat kecepatannya. Dalam waktu kurang dari semenit mereka sudah duduk dan bercakap-cakap sambil makan.

Aku segera menajamkan telingaku dan mendengarkan pembicaraan mereka. Isi percakapan mereka normal saja, dan kedekatan mereka terasa sekali. Si gadis pirang―dialah yang bernama Max―menanyakan tentang hari mereka. Gadis berambut gelap, yang kemudian dipanggil Krystal, langsung menjawab dengan bersemangat dan cepat―sampai mulutnya dibungkam Max. Max beralih pada Jeff―tebakanku benar, dia yang bermata biru berkabut―dan Nick, dan mereka menjawab dengan singkat.

Mereka tertawa terbahak setelah menggoda Max dan memanggilnya Mom, bersikap seperti anak-anak laki-laki yang nakal dan baru saja dimarahi ibunya. Tapi aku tidak bisa menepis perasaan bahwa ada yang luput, ada semacam lelucon pribadi dalam interaksi itu. Mereka terus bercanda dan tertawa-tawa, juga makan dengan lahap. Krystal, yang paling muda dan yang paling interaktif, merengut dan berakting sedih, namun dengan cepat langsung bersemangat dan berbicara cepat lagi sambil memeluk Max begitu ia diizinkan pergi berbelanja ke mall. Aku terkejut saat melihat Jeff, yang terlihat sangat tenang, ternyata bisa mengeluarkan komentar sarkastis. Senyum tak bisa dibendung, membentuk di bibirku.

Percakapan dan perilaku mereka sangat menyita perhatianku, sampai-sampai aku tidak mengadari bahwa teriakan mental dari berbagai arah sudah hilang, dan hanya pada intensitas seperti biasa saja. Aku segera berkonsentrasi dan mencoba membaca pikiran mereka, bertekad mengetahui apa saja yang ada dalam benak mereka, dan apakah mereka merupakan ancaman bagi kami, atau hanya orang-orang tak bersalah yang memiliki sedikit kelebihan dan menjadi korban kecurigaanku yang berlebihan.

Aku terbentur dinding. Dan aku tak bisa mendengar apa-apa.

Benak Bella, sampai saat ini, adalah satu-satunya benak yang tidak bisa kumasuki dan kubaca. Aku tahu bahwa di situ ada pikirannya, namun aku sama sekali tidak bisa mendengar apa-apa, semuanya sunyi. Aku sering merasa jengkel, karena aku ingin tahu apa saja yang pernah singgah di kepala cinta sejatiku yang amat baik hati dan luar biasa pengertian ini. Namun aku juga bersyukur, karena dengan bakatnya ini―kalau itu bisa disebut bakat―ia terlindung, paling tidak dari serangan mental.

Namun yang kualami ini berbeda. Aku bisa merasakan benak mereka, dan aku sudah hampir mampu membaca pikiran mereka, namun tiba-tiba bagaikan ada yang menjegalku. Tiba-tiba aku merasakan benteng yang menghalangiku dari tujuanku, seakan-akan tahu bahwa aku akan menginvasi daerah pribadinya. Semua ini membuatku frustasi. Aku menoleh ke belakang, berusaha melihat mereka, dan mataku bertemu pandang dengan mata coklat dalamnya yang memancarkan rasa shock.


A/N. Hmm, penjelasan. Alice tidak bisa melihat masa depan mereka, tentu saja, karena mereka bukan manusia. Detailnya nanti sajalah~ Edward tidak bisa mendengar pikiran mereka, seperti yang disebutkan di chapter sebelumnya, karena pikiran Max dkk diblok/dilindungi. Edward tidak membaca pikiran mereka sebelumnya, misalnya pada saat kelas pagi, itu karena pikiran mereka masing-masing memang sudah terjaga dan terbiasa tenang/sunyi―karena ada Angel yang sama-sama bisa membaca pikiran, jadi otomatis mereka lama-lama terbiasa men-sunyi-kan pikiran mereka―dan Edward tidak membaca pikiran mereka waktu Max lewat mejanya, karena dia sendiri terlalu terabsorb oleh kehadiran orang-orang baru ini.

Lalu, Max bisa merasakan Edward yang berusaha menginvasi pikirannya, dan sentuhan Edward terasa lebih kasar daripada sentuhan Angel, itu juga punya alasan tersendiri. Edward, di masa manusianya memang punya bakat, namun terbatas pada bisa membaca orang lain dengan baik, entah dari ekspresi fasial atau tubuh. Saat menjadi vampir, ia menjadi bisa membaca pikiran, peningkatan dari trait manusianya yang bisa membaca eksterior manusia lain. Namun bakat Edward itu bagaimanapun adalah bakat alami. Jadi bentukannya tidak terlalu bagus, dan sentuhannya pun terasa kasar.

Sementara Angel adalah mutan burung yang memang berbakat sama seperti Edward. DNAnya sudah bergabung dengan DNA burung dan kemampuan pengamatannya juga sudah ditingkatkan. Kemudian ditanamkan bakat-bakat oleh ilmuwan yang menciptakannya. Dan dari situ ternyata bakat-bakat itu bisa bermutasi dan berkembang dengan sendirinya, bertambah bukan hanya membaca tapi juga bisa mengendalikan pikiran, lalu bahkan bisa berbicara dengan pikiran ikan―salah satu bakat Angel yang lain. Selain berkembang bakat-bakat itu juga menguat dan memperhalus diri, kontrol mereka atas bakat-bakat itu juga semakin baik. Max yang sudah sering berada di sekitar Angel yang sentuhannya lembut―dan dia masih sering kecolongan dan tetap bisa dibaca pikirannya oleh Angel pada sebagian besar kesempatan―akan dengan mudah bisa memblok serangan mental Edward. Yah, begitulah :P.

Labels:

lily at

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home