<body> my scribbled notes

Friday, March 27, 2009

Hiding In The Dark Corner: Chapter 7

NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti pikiran seseorang.

Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson.


Chapter 7
TF: Unbeat Heart

Max POV

Mata keemasan itu berubah dari frustasi menjadi terkejut, lalu dengan cepat menjadi kosong tanpa ekspresi, seperti berusaha menyembunyikan sesuatu. Pemiliknya adalah seorang pemuda berambut kemerahan yang sangat tampan dan berkulit pucat, dengan memar ungu samar di bawah matanya, mungkin akibat kurang tidur. Melihat betapa cepatnya ia berubah ekspresi, aku menjadi yakin bahwa ialah yang mencoba memasuki pikiran kami. Siapa dia? Apa kepentingannya membaca pikiran kami? Apakah ia orang kiriman Sekolah atau Itex? Dia sangat tampan, hampir tidak manusiawi, seperti seorang Pemusnah. Tapi kami sudah menghancurkan Itex tiga tahun lalu!

Aku sudah berpikir akan menghampirinya, dan mencari tahu apa maunya sebenarnya. Aku tidak bisa membiarkan ancaman apapun menganggu ketentraman kawananku. Aku sudah akan berdiri dari kursiku, namun di depanku tiba-tiba lewat sebuah figur berpakaian biru, diikuti dengan suara sengau bernada manja, "Nick?"

Kepalaku dengan cepat menoleh, dan mataku menangkap sosok seorang berkostum cheerleader berambut pirang, tangannya menyentuh ringan pundak Fang. Perkara pemuda berambut kemerahan yang luar biasa tampan dan berusaha membaca pikiran kami terlupakan sudah.

Sekejap aku merasa geram, tapi dengan cepat menguasai diri, saking cepatnya kegeramanku tidak sempat muncul di ekspresiku. Bukan urusanku Fang mau berteman―atau berkencandengan siapa. Faktanya adalah, dia bukan pacarku atau semacamnya. Bahkan meskipun ia pernah mengatakan bahwa ia mencintaiku.

Aku sudah tahu, sejak detik aku melihat Fang berciuman dengan Red-Haired Wonder, Lissa, aku tidak bisa percaya bahwa dia memang benar-benar mencintaiku. Tidak dalam konteks seperti aku mencintainya, paling tidak.

Sejak pertama kali melihatnya di ambang pintu kurunganku saat masih berada di Sekolah, aku sudah tenggelam di kedalaman matanya, pada saat kami saling menatap, berusaha berkomunikasi dan saling mengenali diri tanpa suara. Pada detik itu aku sudah mengetahui bahwa ia sudah menempati suatu titik di sudut hatiku, bahwa aku tertarik padanya, meski aku belum tahu pada konteks apa. Seiring berjalannya waktu, ia menjadi sahabat terbaikku, saudara laki-lakiku, tangan kananku. Dan aku diam-diam dia sudah menjadi cinta sejatiku. Dan itu takkan berubah, karena sekali kami, para mutan burung, menemukan pasangan kami, itu akan berlaku seumur hidup. Paling tidak begitu menurutku, begitu yang kurasakan.

Tapi aku menyadari, bahwa ia takkan pernah bisa berada di sisiku. Sebagai tangan kananku, ya, tapi tidak sebagai kekasihku. Pasanganku. Itu terlalu berbahaya. Bila kami adalah pasangan, dan suatu hari kami bertengkar, bisa-bisa kawananku akan terpecah belah. Kalaupun tidak terpecah belah, suasana bisa menjadi tegang dan tidak nyaman. Bagiku, kepentingan orang-orangku ada di atas segalanya, termasuk kepentinganku.

"Hei! Aku mencarimu ke mana-mana, Nick! Bagaimana? Kau jadi kan menonton latihanku?" Si cewek pirang berseru nyaring, suaranya terdengar sengau di telingaku. Ia bersandar pada punggung kursi, dan merapat pada Fang. Rok birunya kelewat pendek, bahkan untuk ukuran seragam cheerleader, menurut pendapatku. Aku melirik Fang yang ternyata sedang memandang lurus ke arahku, seolah bertanya, Bagaimana ini?

Aku hanya mengangkat bahu dengan pasrah, dan tersenyum lemah, dalam diam menjawab, Terserah kau saja, lakukan apa maumu.

Juga ada fakta bahwa Fang tidak melihatku seperti itu. Ia mungkin sering mencium dahiku, dan terkadang memelukku saat aku sedang bingung atau sedih. Tapi itu hanya perhatian-pada-saudara-perempuan saja. Aku juga tidak pernah melupakan bahwa ia pernah berciuman dan berkencan dengan si rambut merah, atau bahwa ia sering diperhatikan oleh gadis-gadis yang kami temui selama perjalanan kami. Memang kebanyakan diabaikan Fang, tapi aku tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya dari wajahnya yang tanpa ekspresi itupada waktu-waktu tertentu.

Ia memang pernah berkata bahwa ia mencintaiku, tapi mungkin maksudnya adalah, aku mencintaimu seperti saudara perempuanku. Atau, aku mencintaimu saat ini, tapi di waktu-waktu mendatang sudah tidak. Laki-laki memang seperti itu kan? Mereka lebih mengandalkan logikaatau apapun yang mengendalikan tindakan merekadibanding perasaan. Jadi mereka bisa berubah dengan cepat. Tapi tidak apa-apa, selama aku bisa bersamanyakurasa itu sudah cukup, bahkan sebagai saudara perempuannya sekalipun. Perasaanku padanya tidak akan pernah berubah, tak peduli apapun yang terjadi.

Fang bangkit dari kursinya, dalam prosesnya menjatuhkan tangan si pirang, dan berkata datar, "Tidak," yang mendapat respon pekikan melengking, "Apa?" dari si pirang. Fang melangkah dua langkah besar ke kursiku, dan mencium keningku, merangkulkusetengah menarikku berdirisambil berkata sedikit lebih lembut, "Ayo Max, kalau tidak bergegas, kita bisa terlambat masuk kelas."

Nah, ini salah satu dari pertunjukkan perhatiannya sebagai saudara kan?

Aku setengah berharap akan mendengar suara Angel yang berkata dalam benakku dengan nada penuh kemenangan, "Lihat, dia mencintaimu, Max, dan sampai saat inipun masih" Ha, siapa yang kubodohi? Tentu saja harapanku seharusnya tidak terlalu tinggi.

Kutatap Fang dengan pandangan menuduh, Kau memanfaatkanku ya? Yang dibalasnya dengan mengedikkan bahunya lemah.

Seakan sudah berkomplot dengan Fang, saat itu bel berbunyi. Fang menyambutnya dengan menyeringai kecil, lalu mengambil tasku dan menyampirkannya ke bahunya. Aku memutar bola mataku diam-diam, dan berbalik bersama Fang, tangannya masih di bahuku. Nudge dan Iggy dengan anehnya diam sepanjang 'kejadian' itu. Mereka hanya mengambil tas masing-masing juga dan berjalan lebih dulu dua detik dari kami.

Si rambut pirang sama sekali tidak kami gubris.

Aku baru menyadari bahwa pertukaran salam kecil tadi disaksikan oleh seluruh penghuni kafetaria. Sheesh, orang-orang ini benar-benar terlalu ingin tahu urusan orang lain. Aku teringat lagi dengan tangan Fang di bahuku, dan sempat mempertimbangkan untuk menepisnya, namun menentangnya pada detik terakhir. Aku terlalu nyaman dengan posisi ini, meskipun mungkin ini sama sekali tidak berarti apa-apa baginya...

Saat mataku menatap bangku kosong tempat si rambut kemerahan duduk sebelumnya, aku baru teringat dengan persoalan membaca pikiran itu, bahuku secara mendadak menegang sedetik. Tapi aku merilekskannya, dan berkata pada diriku sendiri, sudahlah, akan kuurus nanti. Aku merasakan tatapan ke arahku dari Fang, dan mengerling. Pandangannya bertanya, Ada apa? Aku hanya menggeleng kecil dua kali, yang kalau diterjemahkan berarti, Nanti kujelaskan.

-

Pelajaran berikutnya adalah Biologi. Kali ini kami bertiga bersama-sama dalam satu kelas. Sama seperti sebelum-sebelumnya, kelas langsung hening dan bisikan-bisikan menyebar sampai ke sudut kelas. Kami mengabaikannya, melangkah tenang menghampiri meja guru dan menyerahkan lembaran untuk ditanda tanganinya. "Perkenalkan diri kalian," ujarnya, tangannya menyilakan kami ke depan kelas. Aku mendesah pelan.

"Well, namaku Max Martinez, dan ini saudara-saudaraku. Kami pindahan dari Virginia," ujarku, terdiam sejenak, mencari-cari dalam benakku hal apa lagi yang kira-kira dikatakan ketika perkenalan seperti ini, "dan aku suka... uh, makan," dan mengakhirinya dengan tersenyum dipaksakan. Dalam hati aku terus merapal, sabar, jangan mengundang perhatian, bertahan...

"Nicholas Ride," katanya datar, aku dan Iggy diam-diam tertawa mengejek, "aku suka menulis." Aku terkadang bertanya-tanya, apakah dia tidak lelah mencari kata-kata untuk menyampaikan maksudnya dengan sesedikit mungkin kata-kata.

"Namaku Jeffrey Ride, tapi kalian bisa memanggilku Jeff," Iggy mengeluarkan senyum malaikatnya sekali lagi. Geez, dirinya yang kalem kembali lagi. Semoga itu tidak berarti bahwa di rumah ia akan sarkastis sepanjang hari. "Aku suka memasak, dan bereksperimen dengan bahan kimia dan err... kabel-kabel." Ya, terutama bubuk mesiu atau cairan mudah meledak yang dihubungkan dengan pengatur waktu, kataku menambahkan dalam hati.

Aku menoleh ke arah guru Biologi kami yang bernama Mr. Banner, dan ia sejenak kikuk, namun kemudian mempersilakan kami mengambil tempat kosong di belakang kelas. Aku mengandeng Iggy dan berjalan lurus ke belakang kelas, mengabaikan tatapan yang mengikutiku. Sejenak aku merasakan tatapan lagi ke arahku, namun bukan tatapan dari Fanguntuk suatu alasan tertentu aku selalu bisa tahu kalau ia yang menatapkujadi aku mencari lewat sudut mataku, dan aku menemukan sosok si pemuda berambut kemerahanbukan, ternyata lebih mirip warna tembagaia ternyata berada di kelas ini.

Fang duduk di bangku paling belakang, sendirian, di sebelahnya bangku si pemuda berambut tembaga. Aku dan Iggy duduk di depan bangku Fang. Aku masih bisa merasakan tatapan si pemuda berambut tembagamungkin nanti aku harus mencari tahu siapa namanya, aku tidak bisa memanggilnya pemuda-berambut-tembaga terusdan juga tatapan dari orang-orang lain. Sekali lagi aku mengabaikannya, namun tetap waspada.

-

Kelas terakhir kami adalah Physic Education. Mungkin ini akan menjadi pelajaran favoritku, aku sudah pegal duduk seharian di kelas, dan melakukan aktivitas fisik mungkin jauh akan menyenangkan, hampir sama menyenangkannya seperti terbang atau menendangi Pemusnah. Ternyata hari ini olahraganya adalah lari jarak jauh mengitari lapangan.

Pelatih Clapp mengizinkan kami untuk tidak berolahraga hari ini, karena seragam kami belum datang, namun aku bersikeras bahwa kalau hanya lari kami bisa mengikutinya dengan pakaian yang kami kenakan sekarang. Jadi aku, Fang dan Iggy ikut bersiap di barisan belakang, siap berlari dengan yang lainnya. Pelatih Clapp sempat bertanya apakah 'Jeff' akan ikut berlari, tapi aku hanya melambaikan tanganku dan mengatakan kalau Jeff bisa mengatasinya. Oh, ya, satu lagi. Si pemuda berambut tembaga itu juga ada di kelas ini.

Peluit dibunyikan, dan kami berlari bersama. Aku menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui lebih jauh tentang si pemuda berambut tembaga. Kebetulan di depanku ada seorang gadis berambut cokelat ikal, yang sepertinya tahu banyak cerita-cerita di sekolah iniatau paling tidak aku tahu dia banyak bicara, aku melihatnya sekilas di kafetariajadi aku menepuk pundaknya. Fang dan Iggy hanya diam mendengarkan.

"Mmm, hai, aku Max," kataku membuka percakapan. Yeah, aku tahu, membosankan sekali, tapi aku tidak tahu cara lain untuk membuka percakapan. Jadi manusia bersayap membuatku jarang bersosialisasi dengan orang lain di luar kawananku, kau tahu.

Gadis itu menoleh, lalu agak melambatkan larinya sebentarbagiku ini sih sama saja dengan jalanuntuk berlari di sisiku dan menjawab, "Namaku Jessica Stanley. Tapi kau bisa memanggilku Jess atau Jessica." Ia tersenyum padaku, sorot matanya terlihat penasaran, dan sepertinya ia ingin menanyaiku macam-macam, tapi menahan diri.

"Kau tahu tidak, dia siapa?" tanyaku, menunjuk ke arah si pemuda rambut tembaga yang berlari beberapa meter di depanku. Mungkin kau berpikir kalau aku terlalu cepat bertanya soal hal itu, dan seharusnya aku berbasa-basi dulu sebelum ke pokok permasalahan. Tapi kau harus mengerti bahwa aku jarang sekali terlibat percakapan seperti ini. Apalagi dengan remaja. Kalau dengan anggota FBI sih aku bisa dengan mudah menanganinya.

Gadis itu terkikik. Aku memandangnya terkejut, tapi gadis itu hanya menggeleng sambil terus berlari. "Itu Edward Cullen. Tapi kalau kau tertarik padanya dan mengincarnya," hai, putaran bola mata, aku menyapamu lagiuntuk keenam kalinya yahari ini, oh, kau memang sahabat baikku, "sayang sekali, dia tidak single." Gadis itu terkikik lagi.

"Jadi kau tidak bisa mendapatkannya. Biarpun kuakui sih, dia salah satu dari sedikit cowok yang tampan di sini," katanya menekankan kata tampan sambil melirik Fang yang berlari agak di belakangku, di sisiku yang lain. "Kau tertarik pada Edward Cullen, ya?" tanyanya ingin tahu, melirikku, lalu kembali melirik Fang. Dia melihat kejadian di kafetaria.

"Tidak," jawabku singkat, menjaga pandanganku tetap ke depan.

"Oh," Jessica memandangku tidak yakin. "Seperti yang kubilang tadi, Edward tidak single. Gadis yang berlari di sampingnya itu, yang berambut coklat panjang, adalah pacarnya, Isabella Swan. Tapi ia lebih suka dipanggil Bella. Sebenarnya, dia itu teman baikku, kami sekelas di Trigonometri waktu Junior. Lalu yang berambut hitam pendek itu adalah Alice Cullen, saudara angkat Edward. Yeah, mereka itu saudara angkat, aneh sekali kan. Malahan, sebetulnya ada em" Jessica masih terus berbicara, tapi aku sudah tidak mendengarkan. Alih-alih aku memperhatikan Edward Cullen.

Dia berlari dengan santai. Napasnya nampak tidak terpengaruh meskipun sudah berlari beberapa waktu. Ia memusatkan perhatiannya pada gadis berambut coklat, Bella, yang jauh berbeda dengan Edward. Gerakan Bella sangat tidak koordinatif, dan nampaknya tujuan Edward berada di situ adalah untuk memastikan Bella bisa selamat berlari sampai akhir pelajaran. Bella nampak jauh lebih manusiawi bagiku, dia tidak nampak luar biasa menawan seperti Edward. Kulitnya memang pucat, tapi tidak sepucat Edward. Di pipinya terlihat semburat merah, dan napasnya tidak beraturan. Sesekali Edward harus menyambar tangannya agar ia tidak terjatuh.

Si gadis berambut hitam pendek, Alice Cullen, bertubuh pendek ramping dengan kulit sepucat Edward. Ia tak nampak berlari, tapi lebih seperti melompat-lompat santai. Aku tidak bisa melihat ekspresinya maupun ekspresi Edward, karena mereka berdua membelakangiku. Dan aku juga tidak merasakan ada yang mencoba membobol benakku lagi. Dengan cepat aku merasa bosan.

Jessica rupanya sudah hampir selesai bicara. Begitu dia selesai mengucapkan kata terakhirnya, aku bergumam, "Hmm, trims untuk infonya ya." Kutambahkan senyum kecil setelahnya, lalu aku melambat sedikit agar sejajar dengan Fang dan Iggy, "Mau balapan? Ini membosankan," ujarku.

Jawaban Fang hanyalah seringai kecil menantang, sementara Iggy berseru bersemangat, "Aku ikut!" Jessica menoleh, mungkin mau menanyakan apakah aku mengajaknya juga, atau mungkin untuk menolak, tapi aku sudah melesat berlari ke depan. Begitu juga Fang dan Iggy.

Aku berlari dengan kecepatan yang cukup tinggi untuk ukuran manusia, namun tetap lamban untuk ukuranku. Tentunya aku tidak lantas mengambil tempat di barisan depan, tetapi hanya beberapa meter di belakang pelari ketiga atau keempat terdepan. Fang dengan mudah menjajariku pada prosesnya. Dia juga menjaga kecepatan dan jaraknya, untuk menghindari perhatian yang tidak diperlukan. Iggy, dengan ajaibnyabagi orang-orang, bagi aku dan Fang itu sudah biasaberlari berselang-seling menghindari orang-orang untuk berlari menyusul kami, dan ia sampai di belakangku lima detik setelah Fang.

"Hei, kasihanilah orang buta seperti aku," ujarnya dengan nada sarkastis. Aku menoleh dan menaikkan sebelah alisku, mengarahkannya padanya, namun kemudian aku ingat kalau dia buta dan tidak bisa melihatnya, jadi aku menjawab sambil memutar bola matakutujuh kali dalam sehari!padanya, yang juga tidak bisa dilihatnya, "Tentu, Jeff."

Reaksi Fang hanya senyum khasnyanaiknya beberapa milimeter sudut-sudut mulutnya.

Kami berlari di posisi itu sampai akhir pelajaran, tanpa meneteskan setitik keringatpun, tanpa peningkatan deru napas sedikitpun. Dan penampilan kami tetap rapi seperti saat sebelum berlari.

-

Setelah berganti pakaian, kami bertiga berjalan di lorong sambil menenteng atau menyandang tas di bahu kami, menuju ke tempat parkir. Di perjalanan kami bertemu dengan Nudge, yang langsung beralih ke Channel Nudgenya, "Max! Tadi aku belajar memasak cupcakes! Dan aku memasukkan rasa cokelat ke dalamnya. Mulai sekarang aku akan bisa membuat cupcakes sebanyak-banyaknya di rumah. Keren sekali ya Max! Kau mau mencoba cupcakes buatanku? Aku mau membuatkannya untukmu, tapi kau harus mengantarku membeli bahan-bahannya. Aku tidak tahu di mana supermarketnya. Kau tahu tidak di mana supermarketnya? Hei, Jeff, mulai sekarang aku bisa membantumu memasak"

"Tentu, Sayang," ujarku memotong, tetap berjalan, "kau boleh membuat cupcakes dan membantu Jeff memasak. Dan bahan-bahannya ada di dapur, kau bisa bertanya pada"

Nudge memotongku dan meracau riang, "Wah! Sore ini, Max? Baguslah, aku masih ingat bahan-bahan dan cara membuatnya, jadi sore ini memang wak"

Aku sudah membekapkan telapak tanganku ke mulutnya, karena di mataku menangkap suatu kejanggalan.

Kerumunan remaja laki-laki terlihat di satu tempat. Dengan penglihatanku, aku bisa memastikan kalau yang mereka kerumuni itu adalah Maserati Quattroporte. Mobil kami. Dasar cowok, pikirku bosan. Huh, mobil yang mencurigakandan keren. Fang yang memilih mobil itu waktu kami belanja rumah dan furniture di internet. Biarpun mobil ini mahal dan aku membeli rumah yang murah dengan alasan menghemat, tapi akudan kami semuamenyukai kecepatan tinggi. Fang bilang mobil ini punya kecepatan tinggi dan akselerasi yang bagus atau semacamnya. Aku sih percaya saja padanya, memangnya aku punya pilihan lain?

"S'cuse me," kataku manis, mengetuk kap depan mobilku. Kalau aku mau, aku bisa bersikap baik, kau percaya kan? Walaupun secara mental aku memutar bola mataku lagipertemuan kita yang kedelapan, putaran bola mata? "Maaf, tapi aku dan saudara-saudaraku harus pulang," lanjutku, tersenyum pada mereka.

Mereka mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mengangguk bodoh dan membubarkan kerumunan mereka. Nudge tertawa dan mengedipkan matanya padaku, sementara Fang memberengut, dan Iggy tidak mempunyai ide apa yang baru saja terjadi, jadi dia berekspresi netral saja.

Aku hanya mengedikkan bahu cuek dan menyeringai, kemudian membuka pintu pengemudi. Dari sudut mataku aku melihat kalau Edward Cullen berada beberapa mobil jauhnya dariku, dengan Alice dan Bella, ketiganya memandang ke arah kami. Di samping mereka adalah Volvo perak yang mengkilap. Entah kenapa aku sama sekali tidak heran Edward pemilik satu-satunya mobil yang layak selain kami. Fang, Iggy dan Nudge segera menempati tempat duduk masing-masing dan menutup pintunya.

Aku memundurkan mobil, lalu berputar dan meninggalkan lahan parkir, pergi menjemput Angel dan Gazzy.

-

Kami tiba di halaman rumah kami setengah jam kemudian. Angel dan Gazzy rupanya menunggu sejak jam makan siang di sekolah mereka, tapi tidak keberatan, karena ada banyak hal yang bisa mereka lakukan selama menunggu. Kami berenam keluar dari mobilGazzy dan Angel harus dipangku saat di dalam mobil, karena Maserati hanya mempunyai empat kursidan bergegas menuju ke dalam rumah.

Angel terkikik saat turun dari mobil, dan kulihat Fang memutar bola matanya. Aku melempar pandangan bertanya pada Angel, yang menjawab di pikiranku sambil tetap terkikik, Ewww... cheerleader... genit!

Sekarang giliranku yang memutar bola mata. Angel pasti membaca pikiran Fang. Seharusnya Fang tidak memikirkan hal itu saat ada Angel, itu bukan tontonan yang baik untuk anak-anak.

Jangan marah pada Fang, Max, dia tidak sengaja memikirkannya, suara Angel memelas mengalir lewat pikiranku.

Tentu, Sayang. Tapi cobalah untuk tidak membaca pikiran Fang atau anggota keluarga yang lain, pikirku. Hmm, keluarga, aku suka kata itu.

Dan, Max?

Ya, Sayang? aku merespon otomatis di benakku.

Fang tidak menyukai gadis pirang itu. Menurut Fang dia menyebalkan dan suaranya melengking seperti lumba-lumba, Angel terkikik lagi.

Hmm, kataku menandakan aku mendengarnya.

Dan Fang senang sekali kau tidak menjatuhkan tangannya waktu ia merangkul bahumu, tambah Angel di benakku.

Aku cuma mendesah sebagai jawaban.

-

Begitu semua orang sudah masuk dan pintu depan menutup, aku berkata, "Flock, rapat mendadak!" Semua orang langsung menoleh dan menatapku selama setengah detik, lalu tanpa kata berjalan menuju ruang makan, dan duduk di kursi masing-masing. Total kebetulan ada di sana. Ia sudah membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatumungkin mengeluh tentang tidak tersedianya makanan untuknyanamun melihat ekspresi kami yang tegang, ia langsung bungkam.

"Oke," kataku setelah semuanya duduk, "aku punya kabar untuk kalian. Aku menemukan hal yang tidak beres di kafetaria. Dan aku yakin beberapa dari kalian merasakannya." Aku memandang berkeliling. Mereka masih diam.

"Ada cowok yang bernama Edward Cullen," aku mengerling singkat Fang dan Iggy, "yang menurutku aneh. Saat di kafetaria, kalian merasakan tidak kalau ada yang menyentuh benak kalian?" Iggy, Fang dan Nudge mengangguk singkat.

"Nah, aku berusaha merasakan dari mana datangnya, dan ternyata aku melihat dia. Lalu penampilannya juga agak janggal. Ia pucat sekali, dan tampan luar biasa. Aku bahkan sempat mengira dia Pemusnah," aku tertawa kecil mengingatnya.

"Oh, apakah Edward Cullen itu cowok yang berambut warna tembaga atau seperti merah tua itu? Aww, Max, aku setuju, dia tampan luar biasa, kau lihat ti"

Aku mengangkat tanganku untuk mendiamkan Nudge. Aku ingin membungkam mulutnya, tetapi dia duduk terlalu jauh. Untuk saja mulut Nudge sudah mengatup.

"Ya, itu dia. Saat PE, dia berlari dalam jangka waktu lama namun kecepatannya tidak berkurang dan deru napasnya tidak memburu seperti anak-anak lain. Ia juga tidak berkeringat sampai akhir pelajaran. Sama seperti saudaranya yang berambut hitam itu, Alice Cullen."

"Aku juga punya berita soal mereka," Iggy tanpa diduga-duga ikut angkat bicara. Semua mata tertuju padanya. "Saat aku berlari, aku menghindari menabrak orang-orang dengan mendengarkan suara-suara, baik suara langkah kaki, detak jantung, napas, gesekan pakaian. Saat melewati mereka, aku menyadari sesuatu. Aku mendengaratau justru tidak mendengarsesuatu yang esensial."

Kami semakin memfokuskan telinga pada kata-kata Iggy.

"Mereka berdua tidak punya detak jantung."

(A/N. Tadinya mau diberhentikan di sini, tapi ada sedikit lagi yang harus ditambahkan, dan tidak bisa dimasukkan ke chapter berikutnya :P.)

Keheningan melanda ruangan selama beberapa menit. Tidak ada yang bergerak, aku bahkan curiga tidak ada yang bernapasaku tidak mendengar desah napas mereka. Semua orang sedang berada dalam keadaan shock.

"Bagaimana bisa itu terjadi? Mereka itu makhluk apa?!" seruan Gazzy membawa kami kembali ke kenyataan.

"Aku tidak tahu," jawab Iggy tenang, setelah terdiam beberapa saat. "Aku mendengar mereka bernapas, tetapi aku tidak bisa mendengar detak jantung mereka, selemah apapun. Tapi aku tidak bisa memikirkan cara bagaimana mereka bisa hidup tanpa detak jantung. Atau mungkin mereka sudah mati? Kau tahu kan, mungkin mereka itu zombie yang dibangkitkan necromancer di pedalaman Afrika atau semacamnya."

Aku dan Fang saling berpandangan, namun tidak mengatakan apa-apa. Kami berdua sama-sama memikirkan kata-kata Iggy dan kejadian yang sudah kami alami hari ini. Yang lain juga terdiam, tidak bersuara.

"Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" suara Angel memecah keheningan.

Aku berpikir sebentar, lalu berdehem, menjernihkan suaraku, "Kita menunggu."

Lima alis kiri menaik di dahi masing-masinganjing tidak punya alis, jadi Total tidak ikut ambil bagian dalam aksi angkat alis ini. Err, apakah anjing sebenarnya punya alis? Aku tidak pernah memperhatikannya sejujurnyamempertanyakan keputusanku.

"Mereka tidak mengganggu kita. Dan mereka sepertinya bukan orang suruhan Itex atau sejenisnya. Kita biarkan saja mereka hiduperr... kau tahu maksudkudengan tenang, kalau mereka tidak mengusik kita. Dan mungkin mereka tahu bahwa kita juga bukan manusia normal. Kalau Iggy bisa mendengar detak jantung merekaatau tidak adanya detak tersebut, maka mungkin mereka juga bisa mendengar detak jantung kita yang lebih cepat dari manusia normal. Juga panas tubuh kita yang sedikit lebih tinggi. Dan kecepatan kita waktu PE tadi..." aku menggantung kalimatku, mengingat kebodohanku mengajak Fang dan Iggy balapan. Ah, itu mungkin suatu tindakan bodoh yang bisa jadi malah memberi indikasi bahwa kami berbeda, tapi itu juga bisa menjadi peringatan bahwa kami tidak lemah. Mereka tidak akan bisa menghancurkan kami dengan mudah.

"Tapi kita harus tetap waspada. Ingat saja kekuatan mereka. Pemuda itu bisa membaca pikiran, biarpun tidak sehebat Angel," aku tersenyum pada Angel, yang membalasnya dengan senyum manis miliknya, "jadi pastikan benteng pikiran kalian terus terpasang. Mungkin Alice Cullen bisa membaca pikiran juga, atau melakukan hal yang lainnya. Lalu mereka tidak kelelahan saat berlari. Aku berani bertaruh mereka bisa berlari sangat cepat, dan mungkin mereka juga sangat kuat. Dan mereka berkulit sangat pucat," aku mengerutkan dahiku, "aku tidak tahu apa kegunaan itu, atau bahkan apakah itu berarti sesuatu, tapi perasaanku tidak enak, seakan meneriakkan, bahaya..."

Keheningan tercipta untuk kesekian kalinyaaku tidak menghitungnya, maaf sajasebelum Nudge, yang sejak rapat berlangsung diam saja, mulai berceloteh.

"Eww, Iggy, apa kau yakin kalau mereka itu zombie? Dengan balutan perban dan segalanya? Eh, itu mumi ya, dan mumi itu dari Mesir, dan jelek, bukannya tampan luar biasa seperti Edward ini. Kaubilang mereka dari Afrika, benarkah? Tapi kenapa kulit mereka tidak gelap sepertiku? Malah sebaliknya, mereka itu pucat sekali. Oh, mungkin mereka bukan zombie, mungkin mereka Drakula, seperti di Count Drakula itu, kau tahu? Tapi aku tidak melihat adanya taring. Bukan berarti aku pernah melihat mereka nyengir atau semacamnya. Mereka suka minum darah juga tidak, ya? Atau mereka makan tahu? Seperti Sanguini di buku Harry Potter itu, yang tangannya dijejali tahu oleh tuannya, siapa sih namanya... Apa mereka bisa menggunakan sihir seperti di Harry Potter? Mungkin"

"Ada yang mau es krim?" tanyaku memotong celotehan Nudge, berjalan ke arah dapur.

Gadis berkulit gelap itu langsung mengatupkan mulutnya, berdiri dari kursinya dan berlari mendahuluiku ke dapur, diikuti Angel dan Gazzy.

Akuuntuk kesekian kalinya hari itu, aku sudah capek menghitungnyamemutar bola mataku dengan bosan.

Labels:

lily at

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home