Snapshots: My Mind's Keeper: Chapter 1 (Indonesian)
Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer.
Snapshots: My Mind's Keeper
-1-
Freesia. Ia dapat menciumnya dengan jelas. Di seluruh permukaan barang-barang yang ada di sana. Di setiap jengkal dinding kusam dan lantai yang dipijaknya. Di setiap partikel udara yang dihirupnya, meskipun ia tak memerlukannya untuk hidup. Namun ia tetap menghirupnya, selain sebagai kebiasaan yang dibawanya dari masa ketika ia masih hidup, juga sebagai pengingat, betapa aroma freesia ini pernah membuatnya menggenggam ujung meja labnya hingga buku-buku jarinya memutih. Betapa ia pernah menginginkan meneguk cairan merah terlarang yang mengundang air liur itu, beraroma freesia.
Telah lama ia mengatasi masalah itu. Meski keinginan itu tetap ada, ia semakin bisa mengendalikan monster dalam dirinya agar tetap terantai di tempatnya. Ia menghargainya, mencintai setiap desah napas yang membawa aroma itu ke indera penciumannya yang telah dipertajam berpuluh kali lipat, namun ia jauh lebih mencintai jiwa pemilik aroma itu, yang mana di pembuluh darahnya mengalir obat biusnya, heroin khusus untuknya. Begitu besar cintanya, hingga ia merelakan tenggorokannya dihinggapi sensasi terbakar, asalkan sang pemilik aroma bernapas lega setiap detiknya, berdetak kencang jantungnya memompakan cairan kehidupan ke setiap sel tubuhnya. Namun kini, aroma yang dulu bersenandung memanggilnya, semakin samar, seiring setiap detik yang berlalu.
Begitu juga pengingatnya akan kekasihnya di ruangan tempat ia berada. Kamar kekasihnya.
Penyesalan selalu datang belakangan, pepatah mengatakan. Satu lagi ungkapan yang baru ia rasakan kebenarannya. Satu lagi peringatan yang baru ia pelajari, dengan cara yang keras. Penyesalannya mendalam, tak berujung, namun hal itu tak mengubah fakta yang telah terjadi. Penyesalannya tak bisa membuat yang sudah berlalu kembali untuk diubah. Penyesalannya tak membuat kesalahannya lenyap tak berbekas. Namun tak urung, ia tetap menyesal, atas keputusannya, atas kebodohannya.
Ia telah membunuh kekasihnya, dengan tangan granitnya sendiri.
Freesia. Entah berapa lama aroma itu akan berdiam di kamar yang ragu-ragu dimasukinya ini, sebelum menghilang, seperti kekasihnya. Ia berharap, aroma itu akan tinggal lama, menemaninya selama ia berada di sini, menyentuh setiap kenangan yang bisa dipanggilnya, sebelum... sebelum ia melakukan apapun yang akan dilakukannya setelah ini.
Kakinya melangkah melewati ambang pintu, akhirnya, setelah sebelumnya berdiam lama selangkah di luarnya, hanya menghabiskan waktu membiarkan hidung dan benaknya mengingat freesia. Kamar itu masih sama seperti yang diingatnya. Tempat tidur single di sudut. Jendela berhadapan dengan pohon tinggi. Meja berdebu dan komputer usang. Lemari pakaian kecil. Kursi goyang tua. Semua sama seperti saat sebelum ia pergi. Begitu juga dengan lantainya. Ia mengingat jelas derit sunyi yang terdengar oleh telinganya―terlalu pelan untuk didengar telinga manusia, namun terdengar jelas olehnya―setiap kali ia menginjak lantai kayu ini. Derit itu pernah membuatnya terlonjak, ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di kamar ini, demi mengawasi pujaan hatinya tidur. Kini derit itu hanya menghancurkan hatinya, yang tak lebih dari sepotong kaca tipis yang telah retak.
Tanpa ragu, ia berjalan menuju satu sisi, dimana lantai papannya longgar. Ia tak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini, ketika ia menghampiri sisi yang sama, berbulan-bulan yang lalu. Ia memiliki tujuan yang baik, sungguh, karena demi kekasihnya ia akan melakukan apapun, bahkan melompat dari Menara Eiffel atau menyelami Atlantik sekalipun. Jika saja ia tahu...
Penyesalan selalu datang terlambat. Benar.
Diangkatnya papan lepas itu sembari berjongkok, mengharapkan benda-benda familiar yang disimpannya di sana akan terlihat. Semua pengingat tentang dirinya untuk kekasihnya, yang seharusnya disembunyikannya jauh-jauh―atau bahkan dimusnahkannya―namun karena keinginan pribadinya yang sangat egois, disembunyikannya di sebelah tempat kekasihnya setiap malam bermimpi, bergumam, tak diragukan lagi menyebut-nyebut namanya.... Ia tak tahu apakah setelah kepergiannya kekasihnya masih tetap menyebut namanya dalam tidur. Ia setengah berharap tidak. Ia memaksa diri tak pernah lagi mengawasi, sebagai pemenuh janjinya. Alasan yang sama dengan mengapa ia menyembunyikan benda-benda kenangannya. Ia mengingat jelas kata-kata kejam yang diucapkannya waktu itu.
"Nantinya akan seperti aku tak pernah ada."
Kini ia berharap kata-kata itu tak pernah meluncur keluar dari mulutnya. Namun bubur tak bisa berubah kembali menjadi nasi. Dalam lain kalimat, semua sudah terlambat.
Alih-alih benda-benda kenangannya, di tempat yang sama tergeletak sebuah buku tebal. Sejenak, sedikit penat hatinya terlupakan. Rasa penasaran memenuhi matanya, diambilnya buku itu dari bawah lantai, dan tempat persembunyian itupun kosong. Ia tertegun, bertanya-tanya buku milik siapa yang berada di tangannya kini. Ia memiliki tebakan yang sangat bagus di benaknya, namun tak mau berspekulasi macam-macam, tidak kalau ia bisa tahu kebenarannya. Lagipula, terakhir kali ia berspekulasi, akhirnya tidaklah baik.
Satu langkah membawanya ke depan kursi goyang favoritnya, dimana kemudian ia duduk. Diletakkannya buku tebal itu di pangkuannya, dan diamatinya penampilan luarnya sebelum dibukanya, untuk mengetahui siapa pemiliknya.
Buku itu bersampul kulit coklat, bukan dari jenis yang mahal, namun cukup baik kualitasnya. Lima buah lingkaran besi besar sebagai pengganti punggung buku menyatukan lembaran-lembaran kertas dan sampulnya. Kertasnya―dari apa yang bisa dilihat dari luar, tanpa membuka bukunya―terhitung berkualitas baik, dan lebih tebal daripada kertas pada umumnya. Buku itu tertutup dilindungi sebuah kancing tarik. Tanpa ia maksudkan―secara tak sadar―ia teringat bahwa gadis-gadis manusia senang menulisi diary bersampul pink, dan beberapa di antara mereka bahkan menggemboknya agar tidak ada yang bisa membacanya. Ia hampir tertawa geli, namun menghentikannya di saat terakhir. Sekarang bukan saatnya tertawa.
Dibukanya buku itu―setelah memisahkan kancing tariknya―dan ia disambut tulisan familiar di halaman pertamanya.
***
Aku ingat, seseorang yang selalu menempati ruang terbesar di hatiku seringkali bertanya, "Bisakah kau beritahu aku, apa yang ada di pikiranmu?"
Aku bukan pembohong yang baik, karena itu aku selalu menjawab dengan jujur. Dan ia menuduhku mengeditnya.
Aku akan berbohong kalau aku mengatakan dia salah. Terkadang aku memang tidak mengatakan semuanya.
Namun kaupun akan begitu, karena tidak semua yang ada di pikiranmu pantas, layak untuk disodorkan ke depan hidung orang terpenting dalam hidupmu.
Ia seringkali mengeluh, pikiran orang lain selalu terbuka baginya. Milikku tidak.
Sebagian diriku sangat mensyukurinya, karena ia takkan melihat obsesiku terhadapnya, yang mungkin akan membuatnya menjauhiku.
Ia setuju bahwa terkadang pikiran orang-orang membuatnya tak nyaman, sebagian bahkan menjijikan baginya.
Sebagian diriku yang lain melengkapi opini sebagian diriku yang pertama, merasa lega berada di belakang benteng mentalku.
Kau tahu, ia tetap bersikeras ingin membaca pikiranku.
Aku hanya tersenyum dikulum―terkadang dibarengi senyum puas―mendengar gerutuannya.
Namun sekarang, setelah ia meninggalkanku, seluruh jiwaku menjerit, menyesali semuanya.
Betapa aku menginginkan perisai itu lepas dariku, paling tidak di saat kritis itu, agar ia bisa melihat isi kepalaku.
Mungkin itu akan meyakinkannya agar tetap berada di sisiku.
Tapi semua sudah terlambat, roda waktu tak bisa berputar mundur.
Semua memang telah berakhir, namun aku ingin mengabulkan keinginannya, atau berusaha melakukannya.
Aku ingin ia membaca pikiranku. Dalam arti yang sebenarnya. Tanpa edit.
Setiap lembar berikut, setiap goresan pena, setiap potret dan ilustrasi kasar yang tercetak samar
adalah penyimpan memoriku, kunci menuju pikiranku.
―Isabella Marie Swan
Labels: fiction
Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer.
Snapshots: My Mind's Keeper
-1-
Freesia. Ia dapat menciumnya dengan jelas. Di seluruh permukaan barang-barang yang ada di sana. Di setiap jengkal dinding kusam dan lantai yang dipijaknya. Di setiap partikel udara yang dihirupnya, meskipun ia tak memerlukannya untuk hidup. Namun ia tetap menghirupnya, selain sebagai kebiasaan yang dibawanya dari masa ketika ia masih hidup, juga sebagai pengingat, betapa aroma freesia ini pernah membuatnya menggenggam ujung meja labnya hingga buku-buku jarinya memutih. Betapa ia pernah menginginkan meneguk cairan merah terlarang yang mengundang air liur itu, beraroma freesia.
Telah lama ia mengatasi masalah itu. Meski keinginan itu tetap ada, ia semakin bisa mengendalikan monster dalam dirinya agar tetap terantai di tempatnya. Ia menghargainya, mencintai setiap desah napas yang membawa aroma itu ke indera penciumannya yang telah dipertajam berpuluh kali lipat, namun ia jauh lebih mencintai jiwa pemilik aroma itu, yang mana di pembuluh darahnya mengalir obat biusnya, heroin khusus untuknya. Begitu besar cintanya, hingga ia merelakan tenggorokannya dihinggapi sensasi terbakar, asalkan sang pemilik aroma bernapas lega setiap detiknya, berdetak kencang jantungnya memompakan cairan kehidupan ke setiap sel tubuhnya. Namun kini, aroma yang dulu bersenandung memanggilnya, semakin samar, seiring setiap detik yang berlalu.
Begitu juga pengingatnya akan kekasihnya di ruangan tempat ia berada. Kamar kekasihnya.
Penyesalan selalu datang belakangan, pepatah mengatakan. Satu lagi ungkapan yang baru ia rasakan kebenarannya. Satu lagi peringatan yang baru ia pelajari, dengan cara yang keras. Penyesalannya mendalam, tak berujung, namun hal itu tak mengubah fakta yang telah terjadi. Penyesalannya tak bisa membuat yang sudah berlalu kembali untuk diubah. Penyesalannya tak membuat kesalahannya lenyap tak berbekas. Namun tak urung, ia tetap menyesal, atas keputusannya, atas kebodohannya.
Ia telah membunuh kekasihnya, dengan tangan granitnya sendiri.
Freesia. Entah berapa lama aroma itu akan berdiam di kamar yang ragu-ragu dimasukinya ini, sebelum menghilang, seperti kekasihnya. Ia berharap, aroma itu akan tinggal lama, menemaninya selama ia berada di sini, menyentuh setiap kenangan yang bisa dipanggilnya, sebelum... sebelum ia melakukan apapun yang akan dilakukannya setelah ini.
Kakinya melangkah melewati ambang pintu, akhirnya, setelah sebelumnya berdiam lama selangkah di luarnya, hanya menghabiskan waktu membiarkan hidung dan benaknya mengingat freesia. Kamar itu masih sama seperti yang diingatnya. Tempat tidur single di sudut. Jendela berhadapan dengan pohon tinggi. Meja berdebu dan komputer usang. Lemari pakaian kecil. Kursi goyang tua. Semua sama seperti saat sebelum ia pergi. Begitu juga dengan lantainya. Ia mengingat jelas derit sunyi yang terdengar oleh telinganya―terlalu pelan untuk didengar telinga manusia, namun terdengar jelas olehnya―setiap kali ia menginjak lantai kayu ini. Derit itu pernah membuatnya terlonjak, ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di kamar ini, demi mengawasi pujaan hatinya tidur. Kini derit itu hanya menghancurkan hatinya, yang tak lebih dari sepotong kaca tipis yang telah retak.
Tanpa ragu, ia berjalan menuju satu sisi, dimana lantai papannya longgar. Ia tak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini, ketika ia menghampiri sisi yang sama, berbulan-bulan yang lalu. Ia memiliki tujuan yang baik, sungguh, karena demi kekasihnya ia akan melakukan apapun, bahkan melompat dari Menara Eiffel atau menyelami Atlantik sekalipun. Jika saja ia tahu...
Penyesalan selalu datang terlambat. Benar.
Diangkatnya papan lepas itu sembari berjongkok, mengharapkan benda-benda familiar yang disimpannya di sana akan terlihat. Semua pengingat tentang dirinya untuk kekasihnya, yang seharusnya disembunyikannya jauh-jauh―atau bahkan dimusnahkannya―namun karena keinginan pribadinya yang sangat egois, disembunyikannya di sebelah tempat kekasihnya setiap malam bermimpi, bergumam, tak diragukan lagi menyebut-nyebut namanya.... Ia tak tahu apakah setelah kepergiannya kekasihnya masih tetap menyebut namanya dalam tidur. Ia setengah berharap tidak. Ia memaksa diri tak pernah lagi mengawasi, sebagai pemenuh janjinya. Alasan yang sama dengan mengapa ia menyembunyikan benda-benda kenangannya. Ia mengingat jelas kata-kata kejam yang diucapkannya waktu itu.
"Nantinya akan seperti aku tak pernah ada."
Kini ia berharap kata-kata itu tak pernah meluncur keluar dari mulutnya. Namun bubur tak bisa berubah kembali menjadi nasi. Dalam lain kalimat, semua sudah terlambat.
Alih-alih benda-benda kenangannya, di tempat yang sama tergeletak sebuah buku tebal. Sejenak, sedikit penat hatinya terlupakan. Rasa penasaran memenuhi matanya, diambilnya buku itu dari bawah lantai, dan tempat persembunyian itupun kosong. Ia tertegun, bertanya-tanya buku milik siapa yang berada di tangannya kini. Ia memiliki tebakan yang sangat bagus di benaknya, namun tak mau berspekulasi macam-macam, tidak kalau ia bisa tahu kebenarannya. Lagipula, terakhir kali ia berspekulasi, akhirnya tidaklah baik.
Satu langkah membawanya ke depan kursi goyang favoritnya, dimana kemudian ia duduk. Diletakkannya buku tebal itu di pangkuannya, dan diamatinya penampilan luarnya sebelum dibukanya, untuk mengetahui siapa pemiliknya.
Buku itu bersampul kulit coklat, bukan dari jenis yang mahal, namun cukup baik kualitasnya. Lima buah lingkaran besi besar sebagai pengganti punggung buku menyatukan lembaran-lembaran kertas dan sampulnya. Kertasnya―dari apa yang bisa dilihat dari luar, tanpa membuka bukunya―terhitung berkualitas baik, dan lebih tebal daripada kertas pada umumnya. Buku itu tertutup dilindungi sebuah kancing tarik. Tanpa ia maksudkan―secara tak sadar―ia teringat bahwa gadis-gadis manusia senang menulisi diary bersampul pink, dan beberapa di antara mereka bahkan menggemboknya agar tidak ada yang bisa membacanya. Ia hampir tertawa geli, namun menghentikannya di saat terakhir. Sekarang bukan saatnya tertawa.
Dibukanya buku itu―setelah memisahkan kancing tariknya―dan ia disambut tulisan familiar di halaman pertamanya.
***
Aku ingat, seseorang yang selalu menempati ruang terbesar di hatiku seringkali bertanya, "Bisakah kau beritahu aku, apa yang ada di pikiranmu?"
Aku bukan pembohong yang baik, karena itu aku selalu menjawab dengan jujur. Dan ia menuduhku mengeditnya.
Aku akan berbohong kalau aku mengatakan dia salah. Terkadang aku memang tidak mengatakan semuanya.
Namun kaupun akan begitu, karena tidak semua yang ada di pikiranmu pantas, layak untuk disodorkan ke depan hidung orang terpenting dalam hidupmu.
Ia seringkali mengeluh, pikiran orang lain selalu terbuka baginya. Milikku tidak.
Sebagian diriku sangat mensyukurinya, karena ia takkan melihat obsesiku terhadapnya, yang mungkin akan membuatnya menjauhiku.
Ia setuju bahwa terkadang pikiran orang-orang membuatnya tak nyaman, sebagian bahkan menjijikan baginya.
Sebagian diriku yang lain melengkapi opini sebagian diriku yang pertama, merasa lega berada di belakang benteng mentalku.
Kau tahu, ia tetap bersikeras ingin membaca pikiranku.
Aku hanya tersenyum dikulum―terkadang dibarengi senyum puas―mendengar gerutuannya.
Namun sekarang, setelah ia meninggalkanku, seluruh jiwaku menjerit, menyesali semuanya.
Betapa aku menginginkan perisai itu lepas dariku, paling tidak di saat kritis itu, agar ia bisa melihat isi kepalaku.
Mungkin itu akan meyakinkannya agar tetap berada di sisiku.
Tapi semua sudah terlambat, roda waktu tak bisa berputar mundur.
Semua memang telah berakhir, namun aku ingin mengabulkan keinginannya, atau berusaha melakukannya.
Aku ingin ia membaca pikiranku. Dalam arti yang sebenarnya. Tanpa edit.
Setiap lembar berikut, setiap goresan pena, setiap potret dan ilustrasi kasar yang tercetak samar
adalah penyimpan memoriku, kunci menuju pikiranku.
―Isabella Marie Swan
Labels: fiction
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home