<body> my scribbled notes

Friday, March 27, 2009

Snapshots: My Mind's Keeper: Chapter 2 (Indonesian)

Author's Note.

"Tulisan yang tebal, miring dan berupa kalimat langsung seperti ini," adalah pikiran orang lain yang didengar oleh Edward.

"Tulisan yang miring dan berupa kalimat langsung seperti ini," adalah kalimat yang diucapkan di masa lalu/memori.

Tulisan yang miring seperti ini adalah jurnal yang ditulis Bella.

Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer


Snapshots: My Mind's Keeper

-2-

"Edward?"

Sebuah suara memasuki benakku, memanggilku. Aku mengangkat kepalaku yang entah sejak kapan kutelungkupkan ke dalam telapak tanganku. Aku juga tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak aku membaca halaman pertama jurnal―aku lebih suka menyebutnya begitu―yang ditinggalkan Bella untukku. Mungkin sudah berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan? Aku takkan tahu, tubuhku terasa sama saja. Itu adalah salah satu kualitas, atau ketidakmanusiaanku. Vampir sepertiku bisa berada dalam satu posisi tanpa bergerak selama waktu yang sangat lama, dan aku takkan merasakan apapun, tidak ada pegal-pegal maupun kram. Mungkin haus, ya, namun tidak kualitas kemanusiawian seperti pegal-pegal.

"Kau baik-baik saja?"

Tidak, aku ingin berkata, aku tidak baik-baik saja. Tak bisakah kau lihat? Tanpanya, aku bukanlah apa-apa. Eksistensiku tanpa arti bila satu hari saja aku tidak melihat senyumnya, tidak merasakan hangat darah yang menderu deras berlomba berkumpul ke pipinya saat ia merona bila aku menggodanya. Walau memang, aku tidak melihat dan merasakan keduanya dalam sebulan terakhir. Dan menyedihkanlah aku selama sebulan tanpanya itu, tak bisa bergerak selayaknya, bahkan untuk berburu memenuhi kebutuhanku. Singkatnya, aku hancur berantakan.

Namun tentu saja aku tidak mengatakan hal itu. Aku sudah terlalu lama membuat semua anggota keluargaku ikut bersedih gara-gara kesedihanku. Bahkan Rosalie.

"Aku baik-baik saja, Jasper. Pulanglah, aku akan... tinggal sebentar lagi di sini."

Jasper tak terbodohi, tentu saja. Kau tidak bisa membodohi seorang empath yang bisa mengetahui perasaanmu, bahkan yang berusaha kau tekan dan sembunyikan sekalipun. Dan aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku yang teramat dalam. Hal itu tidak mungkin. Jasper pasti terhantam gelombang besar kesedihanku dengan telak. Segera setelahnya menyusul rasa bersalah menyusupi hatiku.

Tapi Jasper tak memprotes. Ia hanya mendesah, dan berpikir, "Baiklah, gunakan waktu sebanyak yang kau perlukan. Kami akan ada di rumah saat kau pulang. Dan kau tidak perlu merasa bersalah, kau tahu. Itu bukan―" aku memblok pikirannya setelah itu. Aku tahu apa yang akan dikatakannya, dan aku tahu bahwa itu salahku, tak ada penjelasan lain untukku.

Sekali lagi ia menghela napas, lalu ia berlari menyusup ke kedalaman hutan, menuju rumah kami, surga dimana kali tidak perlu menyembunyikan jati diri kami, sebuah mansion putih bergaya Victoria yang terpencil dan dikelilingi hutan.

"Kau menyukainya?" Aku tersenyum.

"Bangunan ini memiliki pesona tersendiri."

Aku menarik ujung ekor kudanya dan tergelak.

"Siap?" tanyaku sambil membukakan pintu untuknya.

"Sama sekali tidak... ayo."

Setiap tempat, setiap hal, mengingatkanku padanya. Termasuk rumahku―yang tak siap dimasukinya, bukan karena ia takut memasuki rumah penuh vampir yang setiap saat bisa saja tergoda menghisap darahnya, namun karena ia takut mereka tak menerimanya. Apakah ini hukumanku karena meninggalkannya? Aku tak mengelak, aku memang bersalah. Aku pantas menerima semua kesakitan ini, setiap tusukan yang takkan bisa menembus kulit granitku bahkan meski menggunakan pisau tertajam sekalipun, namun dengan sukses menoreh jantungku yang tak lagi berdetak, hatiku yang membeku dan kosong. Aku akan menerimanya dengan senang hati, bahkan yang seribu kali lebih parah dari ini, jika itu bisa mengembalikannya ke pelukanku.

Hening menginvasi pikiranku.

Keheningan yang tak pernah kurasakan selama hampir sembilan puluh tahun awal kehidupan vampirku, dan keheningan yang mulai terbiasa kurasakan―dan kuhargai, bahkan kuanggap sebagai harta karun―saat bersama dengannya selama empat bulan terakhir, tidak termasuk bulan terakhir ini. Kuakui, terkadang aku merasa frustasi, tak bisa mendengar bahkan bisikan sekalipun dari benaknya. Namun di sisi lain itu adalah kemewahan yang luar biasa, dimana aku tak perlu mendengar pikiran-pikiran dangkal remaja-remaja kelebihan hormon yang hanya bisa memikirkan seks, lawan jenis, dirinya sendiri, uang, apapun yang merupakan hal keduniawian. Bukan berarti aku menuduh pikirannya sedangkal itu.

"Ibuku bilang saat aku dilahirkan aku berumur tiga puluh lima tahun, dan semakin tua setiap tahunnya."

Benar. Pikirannya sangat dewasa untuk seorang manusia seusianya. Dan sangat tidak egois. Salah satu alasan mengapa aku sangat mencintainya. Ia selalu berusaha menyenangkan orang lain, dan selalu memikirkan kepentingan dan perasaan orang lain. Berbeda, berkebalikan denganku yang sangat egois dan mau menang sendiri.

Kubelai halaman pertama yang baru kubaca, bertanda tangankan namanya di akhir kalimat. Ia selalu mengatakan tulisanku indah, dan tulisannya mirip tulisan anak umur lima tahun. Namun bagiku, tulisannya jauh lebih indah dibanding kaligrafi di museum-museum sekalipun. Karena itu miliknya, hasil tulisan tangannya. Tulisanku sendiri sangat... old-fashioned, kuno.

Aku mendesah, menghembuskan udara yang sama sekali tak kuperlukan dari paru-paruku, kemudian membalik halamannya, memasuki tulisan pertama Bella.

.

.

Maret, 2005

Sejujurnya, ini bukan entry pertamaku. Aku memang menyisakan beberapa lembar pertama buku ini kosong, kalau-kalau aku ingin mencatat perjalanan hidupku ke kota kecil ini―neraka pribadiku, bisa dibilang begitu. Aku tidak begitu berpikir dalam ketika itu, hanya pemikiran selintas bahwa mungkin aku akan ingin mendokumentasikannya. Saat itu―saat aku menulis entry pertamaku, yang akan kaubaca beberapa lembar dari sekarang―benakku dipenuhi dengan memori indah akan hal yang baru saja terjadi. Aku berniat untuk menuliskan hidupku yang bagaikan fairytale―cerita negeri dongeng. Aku tak menyangka bahwa aku memang mensyukuri keputusanku menyisakan lembar-lembar kosong ini, meskipun alasanku saat ini jauh berbeda dengan awalnya.

Tadinya aku berpikir, kepindahanku ke Forks, Washington ini akan sangat menyiksaku. Seperti yang kutulis tadi, neraka pribadiku. Banyak alasan bagus mengapa itu menyiksaku. Namun tak urung, aku tetap pergi, dengan stigma melekat di benakku betapa aku benci Forks. Satu-satunya penghiburanku hanyalah pengetahuan bahwa dalam dua tahun aku akan berangkat ke universitas dan bebas pergi ke mana saja yang aku pilih.

Mungkin kau harus tahu lebih dulu, mengapa pindah ke Forks sangat menyiksaku.

Aku memang lahir di Forks, namun pada usia delapan bulan aku dibawa pergi ibuku pindah ke Arizona, meninggalkan ayahku berdiam di kota kecil itu. Selama tujuh belas tahun pertama kehidupanku aku tinggal di Phoenix, Arizona, dan hanya mengunjungi Charlie―ayahku―di Forks selama dua minggu setiap liburan musim panas. Aku bukan anak yang populer, karena aku sama sekali tidak cocok dengan stereotype anak yang populer, atau bahkan penduduk Florida―atau orang yang tinggal di tempat yang banyak mendapat sinar matahari. Anak yang populer biasanya berambut pirang, cantik, mungkin ikut cheerleader atau klub olahraga seperti voli atau basket. Aku bahkan tidak berkulit coklat seperti penduduk Phoenix pada umumnya. Sebaliknya, aku berkulit pucat dan berambut coklat mahogani, dengan mata coklat yang membosankan.

Aku tidak punya banyak teman, tapi aku menikmatinya, karena dengan begitu aku bisa menikmati hobiku dengan tenang. Aku suka membaca buku-buku klasik, dan mendengarkan musik, terutama... musik klasik. Dan aku suka memotret. Tidak banyak yang tahu tentang hobiku itu, tidak bahkan teman-teman terdekatku. Yang tahu hanyalah Renee, dan Stella, temanku di Phoenix yang meninggal saat umurku sepuluh tahun. Karena itulah Renee memberiku hadiah kamera dan scrapbook untuk ulang tahunku yang kedelapan belas.

Itulah poin pertama mengapa aku tidak suka pindah ke Forks. Di Phoenix terdapat banyak tempat menarik yang bisa kupotret, pemandangan indah dengan penyinaran alami dari matahari yang bersinar terang sepanjang hari. Sementara Forks adalah sebuah kota kecil berpopulasi 3,120 orang dimana setiap orang kenal orang lainnya, tidak banyak terjadi perubahan di sana. Cuacanya selalu mendung, atau hujan, karena Semenanjung Peninsula―tempat Forks berada―adalah salah satu daerah paling berhujan di seluruh dunia. Hari-hari dengan sinar mataharinya bisa dihitung dengan jari. Berkebalikan dengan Phoenix yang hanya mengalami hujan sekitar tiga atau empat kali setahun.

Yang mana membawa kita pada poin kedua mengapa aku benci Forks. Aku benci basah, atau dingin. Aku mencintai sinar matahari yang hangat. Meskipun ia tak pernah bisa membuat kulitku coklat.

Ada beberapa poin lainnya, namun itu tidak terlalu penting, karena bagaimanapun aku akan tetap pergi ke Forks. Ibuku yang baru saja menikah lagi membutuhkan waktu untuk bersama suami barunya, dan dengan begitu, aku dengan rela menyingkir untuk beberapa lama. Aku memang agak khawatir dengan ibuku yang eksentrik dan ceroboh itu, namun ia berhak memiliki waktunya, dan Phil akan menjaganya dengan baik. Aku mencintai ibuku dengan sepenuh hatiku, dan kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Meskipun aku harus pindah ke Forks.

Forks, tempat basah dan dingin, tanpa sinar matahari, berpopulasi sedikit dan semua orang saling kenal satu sama lain, sudah jelas tempat dimana aku akan jadi pusat perhatian. Hebat sekali bukan? Pasti menyenangkan. Menarik. Banyak yang bisa kuharapkan terjadi di sini. Yea, right.

Namun aku tak pernah mengira, bahwa aku akan bertemu cinta sejatiku di Forks.

Labels:

lily at

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home