|
Friday, March 27, 2009
NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti pikiran seseorang.
Max POV
Hari Senin.
Ada ungkapan yang popular di kalangan err… manusia normal. 'Aku benci Senin'. Aku tidak begitu mengerti dengan ungkapan itu, karena selama kami di pelarian dulu, saat berusaha “menyelamatkan dunia” kami tidak harus tahu hari apa hari ini. Setelah cabang-cabang Itex kami hancurkan, kamipun hanya berpindah-pindah tempat, mengunjungi tempat-tempat yang menarik, dan kami tidak harus mempedulikan waktu. Aku bahkan hampir tidak sadar kalau kami berkeliling tanpa arah selama hampir tiga tahun. Intinya, aku tidak begitu mengerti, kenapa orang-orang benci hari Senin. Bagiku hari itu sama saja seperti hari-hari biasa.
Sekarang aku mengerti. Aku juga benci hari Senin.
Alasan paling jelas, sekolah (biasa) dimulai pada hari Senin. Yang berarti kami harus berhadapan dengan Edward dan Alice Cullen, meskipun aku hanya punya dua kelas dengan mereka.
Setelah pertemuan kami dengan para Cullen, kami melanjutkan acara berkemah kami, bersikap seperti biasa dan tidak mengungkit-ungkitnya lagi, menyingkirkannya ke sudut terjauh benak kami, yang mungkin bahkan tidak bisa dipenetrasi oleh Angel. Aku bersikap tenang dan tidak macam-macam, hanya mengingatkan kawananku sekali bahwa mereka tidak boleh bicara macam-macam soal identitas ataupun kekuatan kami.
Aku sudah mengingatkan agar yang lainnya tidak banyak bicara dan mengungkit-ungkit kejadian kemarin, dan menghindari keluarga Cullen kecuali kalau aku mengatakan lain setelah ini. Tapi rencana untuk sekarang, aku yang akan berbicara untuk kami kalau ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan Cullen. Yang mana sebenarnya sama sekali tidak membuatku bersemangat, namun itu sudah tugasku sebagai ketua.
Aku tidak tahu sama sekali apa yang harus kuharapkan terjadi di hari Senin ini. Mengumpulkan tugas Biologi mengenai rangkaian proses penyusunan asam amino, yeah, itu mudah diprediksi. Kuis Bahasa Inggris juga sudah kuketahui, karena sudah diumumkan pada pertemuan sebelumnya. Namun apa yang akan dilakukan keluarga Cullen di sekolah nanti, bagaimana mereka bersikap terhadap kami? Aku cuma bisa bertanya-tanya dalam kepalaku, kurasa.
Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Pergi ke sekolah dan menjalani hari untuk melihat apa yang kemudian terjadi. Menyenangkan sekali… sama sekali tidak.
Namun ternyata tidak terjadi sesuatu yang di luar kebiasaan sepanjang pagi harinya. Kami bertegur sapa dengan teman kami masing-masing, masuk kelas, mengikuti pelajaran, sama seperti minggu-minggu selanjutnya. Saat makan siang di kafetaria―tiga porsi untuk masing-masing anak―Edward dan Alice Cullen sekalipun tidak melirik ke arah kami. Bella, yang kemungkinan besar belum diberitahu sama sekali tentang pertemuan kami di hutan, seperti hari-hari sebelumnya, sesekali mencuri pandang ke meja kami dengan penasaran, namun hanya itu.
Aku tidak terlalu banyak bicara, hanya mengawasi situasi di sekitarku dan memfokuskan sebagian besar perhatianku ke meja para vampir, dan setelah beberapa menit menyadari bahwa mereka mengacuhkan kami, aku mendesah sangat pelan, merasakan kelegaan karena tidak harus berurusan dengan mereka. Di sampingku kudengar Fang mendengus. Jelas sekali bahwa ia, sepertiku, mengacuhkan celotehan ceria Nudge―menyangkut tas terbaru yang dikeluarkan Prada atau semacam itu, aku sangat salut pada Iggy yang bisa mendengarkannya setiap hari tanpa kehilangan pendengarannya juga―ke latar belakang dan mengawasi keadaan sekitar sepertiku. Ia selalu menjadi pelindung seperti biasa.
“Apa?” tanyaku sedikit sewot. Aku tidak repot-repot mendelik karena itu hanya akan membuatnya puas.
“Tidak,” jawabnya sinis. Namun ia melanjutkan, “Kau tahu bahwa hari ini akan terjadi sesuatu. Jangan lega dulu. Di sekitar kita memang selalu terjadi hal yang tidak terduga, jadi waspadalah...” Kubayangkan sekarang di wajahnya sudah terbentuk seringai sinis khasnya, kecil namun angkuh.
“Yeah, yeah...” gumamku teredam muffin yang baru saja kumasukkan dalam mulutku.
“Tapi… kau tidak perlu khawatir. Apapun yang terjadi, apapun keputusanmu―” tak diduga Fang melanjutkan kata-katanya, meskipun aku tak yakin ia mendengar jawaban-teredam-muffinku atau tidak. Suaranya lebih halus dibanding sebelumnya, “―aku akan selalu ada di sana, mendukungmu dan melindungimu, meski mungkin kau tak memerlukannya…” Aku menegang saat kurasakan jari-jarinya menyusup di rambutku, di tempat berlawanan dengan tempat duduknya. Sikunya menggesek belakang leherku.
Tak pernah kupikirkan kalau jari-jarinya terasa kuat, namun sekaligus halus. Mungkin dua kali lebih besar dibanding jari-jariku sendiri, dan lebih panjang. Aku terkejut aku tak segera menepis tangannya atau menyikut perutnya sampai ia berguling-guling di lantai. Aku tidak menemukan keinginan untuk melakukan itu. Alih-alih aku menoleh ke arahnya, memandang langsung ke mata onyxnya yang tengah mengamatiku. Aku mencari-cari di dalamnya, maksud ia mengatakan itu, apakah ia sungguh-sungguh dengan kata-katanya. Aku membuka mulutku untuk mengatakan sesuatu, namun…
“Nick!” nada sengau dari sisi lain Fang, disusul kepala pirang cewek menyebalkan bernama Lauren Mallory muncul, ia duduk di tangan kursi yang diduduki Fang. Kepala Fang dan aku menoleh serentak ke arahnya, namun jari-jari Fang yang menyusup di rambutku sama sekali tidak terlepas. Bagaimana bisa ia tidak menyadari bahwa Fang tidak tertarik padanya―Fang sudah pernah menolaknya terang-terangan (empat kali!) saat Lauren mengajaknya keluar di hadapan banyak orang saat ia bertingkah genit, tidak termasuk saat pertama kali kami pindah kemari, Fang juga pernah melempar tas Lauren jauh-jauh saat dengan nekat ia menunggu kami di parkiran dan meletakkan tasnya di kap mobil kami; itu baru yang kutahu, yang dilakukannya di belakangku... aku tak berani membayangkan―aku tak pernah tahu. Selain itu setahuku dia bersama dengan Taylor, bukan―Trailer... bukan juga, ah, Tyler, ya, kurasa itu namanya. Aku tidak pernah mendengar kabar kalau mereka sedang bertengkar atau sudah putus. jadi mau apa Lauren masih di sini?
“Sabtu ini Mike mengadakan pesta di rumahnya, kau jadi ikut kan?” tanyanya dengan suara tingginya, seperti anak umur lima tahun meminta permen pada ibunya. Matanya mengedip-ngedip genit, dan jarinya bergerak menelusuri lengan Fang (yang sebelahnya, yang tidak berada di belakang leherku). Ia seperti menganggapku tak ada.
Eww, ia lebih parah daripada Lissa!
Tiba-tiba aku memiliki keinginan gila untuk menggigit putus kepala Lauren. Tapi aku tidak berhak melakukan itu, karena itu bukan urusanku. Aku cuma saudara adopsinya... Jadi aku menahan diri, dan membiarkan Fang saja yang membereskan masalahnya sendiri.
Kalau ia mau menyelesaikannya. Tapi kalau ia menikmati ini...
Yang benar saja, aku bahkan beberapa saat lalu mengatakan Lauren lebih parah daripada Lissa, atau Brittany, yang menurutku―Fang bahkan setuju denganku!―parah... Pada faktanya, semua cewek yang pernah bersinggungan dengan Fang menurutku... parah. Haha.
Fang mendelik tajam pada Lauren, dan berkata―lebih terdengar seperti membentak, menurutku―galak, "Pergi kau, Lauren, aku tidak pernah bilang aku mau pergi, apalagi denganmu." Wow, baru sekarang kudengar Fang bicara panjang lebar selain pada anggota kawananku.
"Lagipula, kau tidak lihat aku sedang sibuk?" tanyanya dengan satu alis terangkat, dan tangannya yang menyusup di rambutku serta merta menarikku mendekat, bibirnya amat sangat dekat dengan telingaku ketika ia menoleh menghadapku lagi, bisikan sehalus helaian bulu menerpa pendengaranku, "Ikut bersandiwaralah!" Tak sampai sedetik setelah suku kata terakhir terucap dari mulutnya, aku merasakan sesuatu yang basah dan lembut menyentuh leherku. Spontan aku menutup mataku.
"Kau berhutang padaku!" balasku tak kalah pelan―manusia takkan bisa mendengarnya―di telinganya yang tak terhindarkan amat dekat dengan mulutku. Aku meniupkan napasku ke daun telinganya yang membuatnya bergidik. Hal itu membuatku terkikik―kikikan yang sangat feminin, yang takkan pernah kausangka bisa keluar dari mulut seorang Maximum Ride. Sambil tetap menutup mata, aku memainkan daun telinganya dengan gigiku, bersamaan dengan bergeraknya bibir Fang dari leher ke pundakku―kalau itu mungkin.
Malas-malasan, kubuka mataku, yang langsung bertatapan dengan mata melebar milik Lauren. Aku menahan keinginan untuk terbahak, dan menukas manis, "Kau tidak punya pekerjaan lain selain menonton kami, Lauren?" Kututup mataku lagi sambil menaikkan tenganku yang bebas agar tersampir di bahu Fang, tangannya menyusup semakin dalam di rambutku. Kudengar suara kursi berderit dan langkah kaki menjauh, lebih keras daripada seharusnya, seakan sang pemilik kaki menjejakkan kakinya dengan tenaga ekstra.
"Hei, sudah selesai," gumamku, kemudian mendorong Fang tanpa terlihat mencurigakan oleh yang lain. Jejak yang ditinggalkan bibirnya lembab, membuatku bergidik ketika angin dari pendingin ruangan menyentuhnya, namun entah bagaimana sekaligus terasa panas, persis tempat kulit bertemu kulit. Aku tidak menunjukkannya dalam ekspresiku, tentunya. Wajahku tetap netral seakan yang kulakukan tadi aktivitas rutinku. Diam-diam mataku menjelajahi kafetaria, banyak yang masih membelalakkan matanya, atau setengah jalan akan menyuap makanannya. Mulut Bella masih terbuka lebar, dan Edward sama sekali tidak bergerak menutupnya, memandang kami curiga. Aku mengedipkan sebelah mataku padanya, sebelum beralih pada Nudge dan Iggy.
Nudge hanya terkikik pelan, matanya berkerlip bercahaya, pengaruh cahaya lampu. Aku tak ragu kalau ia sama kagetnya dengan penghuni kafetaria lain, namun ia pasti dengan cepat menutupi ekspresinya. Iggy, di lain pihak, mengenakan seringai yang ditujukan pada Fang, yang seperti mengatakan hah-apa-kubilang-aku-benar-kan. Nudge pasti sudah menceritakan apa yang baru saja terjadi (secara rahasia tentu saja) pada Iggy.
Aku menoleh pada Fang, yang membalas seringai Iggy dengan seringai congkaknya sendiri. Merasakan pandanganku padanya, ia menoleh, dan menaikkan satu alisnya. Seringainya masih tertempel lekat. Aku memandangnya penasaran, menimbang-nimbang. Kurasakan jari merayap di rambutku, baru kusadari kalau Fang belum menyingkirkan tangannya. Kutepis tangannya dengan kasual, lalu mengubah ekspresiku menjadi serius.
"Fang," kataku, memandangnya lekat.
"Yeah?" tanyanya dengan suara yang lebih dalam daripada biasanya.
"Mengenai yang tadi..." kubiarkan kata-kataku menggantung tak terselesaikan, masih tak melepaskan mataku darinya.
"Em-hmm?" gumamnya, matanya agak tak terfokus, walau aku tak tahu kenapa.
"Tugasmu adalah cuci piring selama sebulan, dimulai dari besok, oke?" kataku sambil tersenyum tipis, lalu menepuk bahunya dan bangkit dari kursiku tanpa melihat ekspresi Fang, berjalan keluar dari kafetaria. Kelas mulai sekitar lima menit lagi.
Di belakangku terdengar kikik geli Nudge dan tawa lepas Iggy.
Lebih jauh, di meja Cullen, kudengar Bella bertanya, "Kau baik-baik saja, Edward? Kedinginan?" Edward menggeleng namun kulihat bahunya bergetar tanpa alasan. Well, tentu saja ada alasannya, dan aku tahu apa itu.
Aku hanya menggelengkan kepalaku dengan geli dan melanjutkan berjalan.
***
Fang POV
Aku sangat menikmati apa yang baru saja terjadi antara aku dan Max. Well, aku tahu kalau ia melakukannya bukan karena ia menyukaiku, namun hanya bersandiwara agar Lauren menjauhi kami. Namun tetap saja, merasakan ia sedekat itu denganku... membuatku bersemangat.
Kurasa itu bukan kata yang tepat. Tapi aku tidak bisa memikirkan kata yang tepat. Kukira aku memang tidak bisa berpikir. Sial, kurasa Max membekukan otakku. Tapi kalau imbalannya seperti tadi, aku tak keberatan otakku dibekukan ribuan kali olehnya.
Tapi konsekuensinya mengerikan.
"Tugasmu adalah cuci piring selama sebulan, dimulai dari besok, oke?"
Max dengan santai menepuk pundakku dan berjalan pergi, meninggalkanku dengan rahang terbuka, mengawasinya melenggang dan melangkahkan setiap langkahnya. Pundakku yang tadi ditepuknya terasa hangat, tapi... ayolah, cuci piring?
Bagimu mungkin itu hal sepele. Ha, salah besar! Kalau kau tidak tahu, kuberi kau petunjuk.
Kami memerlukan minimal dua ribu kalori per harinya. Seorang bocah burung biasanya makan tiga porsi sekali makan (seperti yang kami lakukan di kafetaria, kami tidak terlalu peduli lagi dengan kerahasiaan, biarkan saja anak-anak itu mau bilang apa) dan kami minimal makan dua kali sehari (tidak termasuk makan di kafetaria). Di rumah kami ada enam orang, tujuh jika Total dihitung (napsu makannya menandingi kami). Silakan hitung ada berapa minimal piring makan yang harus dicuci. dan peralatan makan lainnya. Dan alat masak. Oh, itu belum termasuk pencuci mulut dan cemilan, berarti beberapa mangkuk bekas popcorn atau es krim.
Menyenangkan sekali. Yeah, aku bernada sarkastis di sini, kalau kau tidak tahu.
Tawa liar Iggy menyadarkanku, kunaikkan rahangku dengan geram. Sebulan!! Aku lebih baik menghadapi lima puluh Pemusnah Terbang!
"―baik-baik saja, Edward? Kedinginan?" terdengar suara dari meja para vampir. Aku mendengus. Memangnya vampir bisa kedinginan? Kulit mereka saja sama dinginnya dengan temperatur freezer!
Bahuku melunglai.
Seharusnya aku tahu lebih baik daripada berhutang pada Max.
Sial, sebulan ke depan pastilah neraka bagiku.
Aku berjalan terseret-seret menuju kelas, diikuti tawa Iggy yang sesekali masih muncul.
***
Max POV
Aku tak bisa berhenti tersenyum. Hari Senin ternyata tidak terlalu buruk. Faktanya, hari Senin ternyata tidak buruk sama sekali. Aku sama sekali tidak benci hari Senin. Aku bahkan bebas dari tugas cuci piring mingguan. Dan hari-hari kami sepertinya bisa kembali normal. Agak membosankan, mungkin, tapi itulah yang kami perlukan, hidup normal dan jauh dari keanehan dunia yang entah bagaimana selalu tertarik pada kami. Contohnya? Akan kuberi beberapa. Ilmuwan gila, manusia-serigala terbang, vampir.
Tak ada rasanya yang bisa merusak moodku hari ini.
Atau ada.
"Max?"
Telah menunggu di sebelah mobil kami, Maseratiku tersayang, adalah Alice Cullen, dengan senyum manis mengerikannya. Di belakang Alice nampak Edward, yang wajahnya menghilang di balik rambut Bella, dan Bella, yang napasnya yang hampir menghilang seakan baru lari maraton.
Aku memutar bola mataku pada pemandangan itu dan memfokuskan perhatianku pada Alice dengan tidak nyaman, perasaanku tidak enak. "Ya, Alice?" jawabku, tidak terlalu manis kalau dibandingkan dengan sapaannya. Aku tak peduli.
Fang tiba di belakangku dan memandang Alice dari sela bahuku. Jemarinya menyusup ke telapak tanganku dan ia meremasnya meyakinkan bahwa ia selalu ada di sampingku. Nudge dan Iggy menyusul di belakangnya, memandang Alice dengan penasaran (untuk kasus Nudge. Iggy hanya memandang kosong ke depan).
"Ayo kita berangkat ke rumahku! Kau tidak bisa menolak, aku sudah melihat kalian ada di sana! Oh, bolehkah aku naik Maserati kalian? Dua orang dari kalian bisa naik Volvo Edward, dengan begitu tidak akan ada yang tersesat~!" katanya riang.
Mataku melebar memandangnya, terkejut sekaligus bingung. "Err... Apa?"
"Alice bisa melihat masa depan. Ia pasti melihat kalian ada di rumah kami." Wajah Edward sudah kembali, di sebelahnya Bella yang merona memandangku malu-malu.
Vampir mini ini bisa melihat masa depan? Oh joy. Apa berikutnya, vampir yang bisa menghilang? Telekinesis? Vampir superkuat?Apa boleh buat sepertinya, mau tak mau kami harus datang ke rumah mereka.
Perasaanku tetap tidak enak. Sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.
Aku berubah pikiran, aku benci hari Senin.
A/N. Sorry for the delay. Education's more important... *ngeles* Btw, sebenarnya saya punya beberapa draft untuk chapter ini, karena saya bingung mau melanjutkan dengan cara fast pace atau slow pace. Namun akhirnya, chapter yang ditulis ini sama sekali baru dan ditulis dalam waktu err... tiga jam. Sementara draft-draft sebelumnya sama sekali jauh dari selesai, ahaha... Please tell me if you find mistakes in this chapter. Non-beta-ed.
EDIT TO ADD: Telah dibeta oleh avatarbear67.
Labels: fiction
NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti pikiran seseorang.
Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson.
Chapter 11
Confrontation in the Wood
Edward POV
Aku menarik napas, kemudian menutup mata untuk melonggarkan ikatan yang menahan monster yang berada dalam tubuhku. Aku sudah berada di lingkungan hijau tanpa manusia yang akan menjadi daerah berburuku. Anggota keluargaku yang lain sudah berpencar, berburu secara berpasangan dan mencari mangsanya masing-masing. Aku merasakan desakan-desakan dalam diriku, hasrat terlarang yang biasanya kukekang erat-erat dalam kerangkeng besi. Mataku melayang terbuka, sekarang saatnya berburu!
Dengan segera instingku mengambil alih. Sekarang sepenuhnya aku adalah pemangsa, mencari buruan dengan mengandalkan inderaku semata. Kakiku berlari kencang dalam kecepatan yang tidak manusiawi dan kelincahan melebihi seekor kijang. Hidungku mencium aroma-aroma di sekitarku. Rusa, ya... ada beberapa ekor rusa sedang makan siang beberapa ratus meter di selatan. Juga seekor beruang sedang bergulat melawan Emmett, sekitar seribu lima ratus meter di barat daya. Aku segera berlari melesat menuju sasaranku, sekelompok rusa itu. Aku sedang tidak punya keinginan mencari singa gunung sekarang ini. Delapan ratus meter... Lima ratus meter... Tiga ratus meter... Dua ratus meter... Lima puluh meter lagi, darah hangat rusa-rusa itu akan jadi milik―
EDWARD!! HALANGI JASPER MEMANGSANYA. CEPAT, SEBELUM TERLAMBAT! DIA DUA KILOMETER DI SEBELAH KIRIMU! AKU AKAN MENYUSUL―
Raungan histeris Alice memasuki pikiranku, membuatku segera menguasai diri lagi. Untung saja aku masih memiliki kendali atas diriku, meskipun mataku sudah hampir hitam legam. Aku segera berbelok tanpa banyak tanya lagi. Apapun yang dikatakan Alice, kau akan belajar mempercayainya. Tidak ada yang bisa menang saat bertaruh melawan seorang physic. Meskipun aku heran juga apa yang tidak boleh dimakan Jasper. Serigala? Anak beru―
“Aaaaaaaaahh―”
Teriakan ngeri melengking sampai di telingaku kira-kira dua detik setelah aku berbelok. Ada manusia di hutan ini! Aku segera meningkatkan kecepatanku, dan dalam waktu kurang dari lima detik aku sampai di lapangan terbuka, di mana Jasper berada di tengahnya, dalam posisi membungkuk hendak menyerang. Aku segera menahan tubuhnya dari menyerang apapun yang akan diserangnya. Dua detik kemudian datang Emmett, Rosalie, dan Alice. Detik berikutnya Carlisle dan Esme. Emmett membantuku menahan Jasper dan menenangkannya.
Dari balik bahu Jasper, barulah aku melihat korban yang hampir menjadi 'makanan'nya: seorang gadis kecil, berambut pirang keriting, merapat ke batang pohon tiga puluh meter dari kami. Ekspresinya ketakutan, dan ia sedang memeluk boneka beruangnya yang memakai pakaian malaikat putih. Di kakinya ada keranjang berisi bunga-bungaan yang sepertinya baru saja dipetik. Baunya masih segar. Matanya membelalak takut dan menatap kami, berpindah dari satu orang ke orang yang lain.
Aku baru menyadarinya berada di situ. Hal yang aneh, karena aku tidak mencium sama sekali aroma manusia yang menggiurkan.
Mataku melebar, dan dengan cepat aku menghirup udara. Aromanya bersih! Hampir tidak ada, hanya seperti harum samar pinus yang dikaburkan angin! Seperti kata-kata Alice...
Edward! Bawa Jasper mundur! Mereka sampai dalam waktu tiga detik! Alice memperingatkanku.
Aku dan Emmett segera menarik Jasper mundur ke arah anggota keluarga yang lain, sementara aku mendengar gesekan-gesekan lembut yang semakin keras mengarah kemari dan benar saja, dalam waktu tiga detik, mereka muncul.
Max yang pertama kali muncul, diikuti empat orang di belakangnya. Mereka segera membentuk formasi seperti huruf V, dengan Max berada di kepalanya, sikapnya netral, namun siaga. Di kedua sisinya berdiri Nick dan Jeff, bersikap kasual. Di bagian paling belakang dan paling luar di tiap sisi Krystal dan seorang anak laki-laki pirang, umurnya sekitar sebelas atau dua belas tahun, memandang kami dengan waspada. Kedua tangan mereka mengepal. Si anak laki-laki memasukkan kedua tangannya ke saku celananya.
Mereka semua kelihatannya telah berlari dalam jarak yang cukup jauh, mengingat tidak ada satupun dari kami yang merasakan mereka berada di area ini sebelumnya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang berkeringat, atau kehabisan napas. Mereka semua dalam keadaan sempurna, dengan pakaian yang hanya sedikit kusut di bagian kaki atau ujung kaus. Rambut mereka hanya nampak seperti dihembus angin sepoi-sepoi.
Si gadis kecil pirang segera berlari menuju mereka dan bersembunyi di belakang Max.
Kami bertujuhpun bersikap netral, bersisian dengan pasangan masing-masing, aku berdiri di sisi lain Carlisle yang tidak ditempati Esme. Carlisle berdiri di tengah.
Sorot mata Max sejenak menerawang, terfokus pada suatu hal, lalu ia memandang kami waspada.
“Apa-apaan ini. Kukira kalian tidak akan menyerang kami?” tanyanya tajam, memandang kami satu persatu. Matanya mengeras dan menyalahkan saat mereka bertatapan dengan mataku. “Aku tidak menyebar berita tentang keabnormalan kalian, jadi kupikir kita sudah pada persetujuan tak tertulis dimana kita tidak akan saling mengganggu, terutama jika pemimpin kalian memiliki intelegen―darah!” Max mendesis.
Segera saja sikap semua anggota keluarganya menegang, dan beralih ke dalam posisi siap tempur. Mereka menegakkan bahu mereka dan memasang kuda-kuda. Bahkan kedua anak termudapun―si anak laki-laki pirang dan gadis kecil yang menjerit tadi―ikut memasang posisi tempur.
Aku melirik cepat anggota keluargaku, dan kulihat setetes darah di sudut mulut Jasper. Sial, mereka menyadarinya.
Pihak kami juga ikut bersiap bertarung, Emmett dan Jasper agak membungkuk, seakan siap menerkam. Alice dan Rosalie hanya memandang mereka waspada, tapi aku tahu bahwa pada detik pertarungan dimulai mereka akan maju bersama orang yang dikasihinya. Aku juga membungkukkan badan dan bersiap bertempur mati-matian. Hanya Carlisle dan Esme yang tidak mengubah sikap, hanya memandang tenang ke arah Max.
“Ah, kalian ini―vampir?” katanya sinis. “Selamat Nudge, kau benar. Walaupun vampir yang ini tidak terlihat seperti Sanguini di Harry Potter yang makan tahu, dan juga tidak mirip Count Draculamu itu. Dan Ig, teori zombiemu meleset. Kecuali kalau zombie di Afrika minum darah,” lanjutnya tanpa menoleh ke arah siapapun, matanya tetap ke arah kami. Siapa yang bernama Nudge, apakah gadis kecil itu? Dan siapa yang dipanggilnya Ig? Dan... Mereka baru tahu kalau kami ini vampir? Uhh, mungkin karena itu mereka tidak mengkonfrontasi kami lebih dulu? Aku mencoba membaca pikiran mereka, siapa tahu aku beruntung. Dan aku menemukan hambatan yang sama seperti saat pertama kali di kafetaria.
“Jangan coba-coba berpikir kau bisa membaca pikiranku!” desis Max, menoleh ke arahku dengan tajam. Ternyata benar, ia memang bisa membentengi pikirannya. “Itu takkan pernah bekerja. Dan semenjak kau mencoba menghisap darah adikku, bersiaplah mati!” Nadanya mematikan, dan semua orang di keluarganya semakin tegang posisi tubuhnya. Kami pun sama, bersiap menyerang, dan detik berikutnya kami akan mener―
“Tunggu!” suara tenang Carlisle menghentikan gerakan kami, begitu juga dengan pihak lawan. Max menoleh cepat ke arah Carlisle lagi, ekspresinya tidak sabar dan marah.
“Kami tidak bermaksud tidak baik,” ujar Carlisle memulai, yang disambut dengan pandangan waspada bercampur ragu dari Max. “Ya, kami vampir. Tapi kami tidak seperti bangsa kami yang lainnya. Kami tidak berburu darah manusia, kami sudah mengganti diet kami dengan berburu darah binatang, karena itu mata kami berwarna emas alih-alih merah. Kami menyebut diri kami vegetarian,” kata Carlisle sambil tertawa kecil. “Percayalah, kami tidak pernah bermaksud memangsa salah satu dari kalian, dan manusia biasanya tidak sampai sedalam ini masuk ke hutan. Kami juga sudah berlatih untuk hanya mendeteksi bau darah binatang.”
“Jadi kau mau bilang bau darah kami mirip bau darah binatang?” tanya Max, masih seperti silet. Posisi yang lainnya sudah kembali ke posisi netral, namun bahu dan punggung mereka menegang. Aku mengangkat tanganku, memberi tanda pada anggota keluargaku yang lain untuk melepas sikap menyerang mereka.
“Tidak,” jawabku. “Aroma kalian justru lebih tidak... menarik bila dibandingkan dengan darah binatang, apalagi manusia yang seharusnya merupakan makanan alami kami. Lebih seperti aroma mint atau pinus segar yang sudah samar terhapus hujan atau tertiup angin. Aroma kalian mirip seperti angin segar.”
“Kalau begitu kenapa dia menyerang adik perempuanku?” tanya Max, menunjuk tepat ke arah Jasper. Aku terkejut, namun berusaha mengontrolnya agar tidak nampak di ekspresi fasialku. Bagaimana caranya ia tahu bahwa Jasper yang menyerang? Mereka kan sampai setelah aku menarik Jasper dari gadis kecil itu. Dan aku tidak melihat gadis itu mengatakan apapun, kecuali―
“Kami tahu apa yang ada di pikiran kalian,” ujar Max memotong aliran pikiranku. Jadi mereka bisa membaca pikiran kami?
Max POV
“Jadi kau mau bilang bau darah kami mirip bau darah binatang?” tanyaku masih bernada tajam. Aku sejenak merasa takut rahasia kami ketahuan. Aku tidak mau pindah-pindah lagi. Semua orang, terutama Nudge dan Angel akan sangat sedih. Padahal kami sudah mendapatkan tempat yang sempurna untuk menetap, untuk tinggal dan menghabiskan sisa hidup kami dengan tenang. Tapi kalau mereka bisa mendeteksi bau burung yang menempel di tubuh kami...
“Tidak,” jawab Edward. “Aroma kalian justru jauh lebih tidak... menarik bila dibandingkan dengan darah binatang, apalagi manusia yang seharusnya merupakan makanan alami kami. Lebih seperti aroma mint atau pinus segar yang sudah samar terhapus hujan atau tertiup angin. Aroma kalian mirip seperti angin.”
Fyuhh, sepertinya rahasia kami aman. Itu berarti kami tidak perlu pindah. Bahkan sepertinya mereka belum tahu kami ini apa, semoga...
Ah, ternyata rencana berkemah ini malah membuat kami harus berhadapan dengan vampir. Vampir, coba bayangkan! Untung saja kami bisa sampai tepat waktu. Begitu mendengar teriakan Angel, aku dan Fang segera berlari secepat mungkin ke arah teriakan. Di perjalanan kami bertemu dengan Nudge, Gazzy dan Iggy. Mereka juga mendengarnya, dan saat berlari mereka tidak membawa apa-apa. Mereka belum melakukan apa-apa atau meninggalkan pekerjaan mereka saat mendengar teriakan itu? Err, kembali ke masalah di tangan....
Huh, mint, pinus segar dan angin? Begitukah aroma kami di penciuman vampir yang tajam? Kukira aroma Nudge seperti lavender. Itu yang ditulis di botol parfum yang digunakannya. Hmm, mungkin mereka membicarakan aroma alami kami. Kalau begitu, kenapa aroma kami malah hampir tidak ada? Bukankah seharusnya kami yang memiliki banyak aroma manusia dan sedikit aroma binatang―sesuai dengan percampuran DNA kami yang sembilan puluh delapan persen manusia dan dua persen burung―hampir sama menggiurkannya seperti manusia umumnya, atau malah mungkin lebih menggiurkan dibanding rata-rata manusia? Kukira aku harus mencari tahu nanti.
Max, laki-laki berambut pirang yang dipegangi pria besar itu yang mau menyerangku, kata Angel di dalam pikiranku.
Bagus, terus pantau pikiran mereka, Sayang, dan beritahu aku pikiran mereka yang penting-penting, balasku.
“Kalau begitu kenapa dia menyerang adik perempuanku?” tanyaku, tak segan menunjuk tepat ke arah laki-laki pirang itu. Aku bisa mengetahui bahwa Edward terkejut, meskipun ekspresi wajahnya tidak berubah sedikitpun. Matanya sudah mengatakan segalanya padaku, irisnya sedikit menggelap. Vampir-vampir yang lain juga terlihat tenang, meskipun mata dan sudut-sudut mulut mereka mengatakan lain.
Max, Edward berkata, bagaimana caranya ia tahu bahwa Jasper yang menyerang? Mereka kan sampai setelah aku menarik Jasper dari gadis kecil itu. Dan aku tidak melihat gadis itu mengatakan apapun, kecuali― Angel mulai memberiku informasi.
“Kami tahu apa yang ada di pikiran kalian,” jawabku memotong kata-kata Edward. Well, kata-kata Angel di pikiranku yang berasal dari pikiran Edward, tapi intinya itu kata-kata Edward.
Jadi mereka bisa membaca pikiran kami?
“Kurang lebih begitu. Tapi kau takkan bisa membaca pikiran kami,” jawabku setelah mendengar sadapan Angel di pikiranku, memandangnya sinis. Aku menyangka kalau Edward adalah orang baik! Tapi ternyata anggota keluarganya malah berusaha menghisap darah salah satu dari kami, dan mereka adalah vampir, demi Tuhan! Oh, seakan adanya bocah burung hasil rekayasa genetik itu kurang aneh. Mitos rupanya ada juga di kenyataan. Berikutnya kami akan bertemu apa? Troll? Leprechaun? Banshee? Werewolf? Penyihir?
Baiklah, kuakui, aku terlalu banyak membaca Harry Potter. Mau bagaimana lagi, cuma buku itu yang kami miliki, atas rengekan Nudge.
Dan sampulnya sendiri sudah tercabik-cabik, saking seringnya dibaca. Halaman-halamannya juga sudah lecek.
Dan aku tidak akan membenarkan soal 'mereka bisa membaca pikiran kami'. Aku tidak berbohong, aku memang bisa membaca pikirannya, lewat Angel. Toh dia juga tidak meminta spesifikasi siapa yang bisa membaca pikiran, ya kan? Jadi untuk apa memberi informasi yang tidak perlu pada orang asing? Semua hal memiliki saat yang tepat untuk dibeberkan, atau mungkin untuk tidak dibeberkan sama sekali.
“Dan aku masih ingin tahu, kenapa kau menyerang adik perempuanku, jika aromanya sama sekali tidak menarik bagi kalian?” tambahku, kembali ke topik permasalahan utama, menatap Jasper dengan waspada.
Jasper memandang kakinya malu-malu. “Aku... sudah tiga minggu tidak berburu, dan satu rusa yang baru saja kuhabiskan malah membuat rasa hausku semakin berkobar. Jadi instingku mendeteksi apa saja yang mempunyai detak jantung, atau mempunyai darah. Tapi begitu melihat anak itu aku langsung tak berselera,” katanya membela diri.
Yeah, benar, pikirku sambil memutar bola mata dalam imajinasiku. Angel terkikik di benakku.
“Kami tidak bisa membuktikan pada kalian apakah kami berbohong atau tidak, terlepas dari kemampuan kalian untuk membaca pikiran kami,” aku dan Fang berpandangan di sudut mata kami, dan tertawa bersama dalam hati, “tapi kalau kemampuan kalian membaca pikiran sama seperti Edward yang hanya bisa membaca pikiran yang tengah melintas di pikiran kami, maka pikiran kami bisa dibilang tidak objektif.” Laki-laki berambut pirang yang nampaknya lebih tua beberapa tahun dari Edward berbicara lagi.
Dia punya poin di situ. Dan kurasa kekuatan Angel sama seperti Edward, kecuali lebih kuat, lebih tidak terdeteksi, belum lagi Angel bisa mengendalikan pikiran dan―jangan coba-coba mengendalikan pikiran orang lain kalau tidak penting, Sayang―
Ya, Max.
―jadi seperti yang dikatakan laki-laki pirang paling tua itu―
Namanya Carlisle, menurut pikiran wanita di sebelahnya yang bernama Esme, Max.
―ya, seperti yang dikatakan Carlisle, yang sepertinya pemimpin di kelompok lawan, kami tidak bisa percaya mereka hanya dari membaca pikiran mereka, karena bisa saja pikiran mereka dipaksakan atau diset sedemikian rupa. Jadi, bagaimana cara menyelesaikan masalah ini dan memastikan kalau mereka tidak berbohong?
“Yang bisa kalian lakukan hanyalah mempercayai kami sekali lagi, selama ini kami tidak pernah menyerang kalian, bukan? Selain salah paham kecil ini,” kata Carlisle, karena aku tidak mengatakan apapun. “Seperti yang kaukatakan, kita telah menetapkan perjanjian tak tertulis bahwa kita tidak akan saling mengusik. Bahkan meskipun kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Nampaknya insting kepemimpinan kita telah memandu kita ke jalan yang sama,” ia tersenyum hangat.
Aku juga tersenyum, tapi lebih dingin. Aku tidak mau berbaik-baik pada orang yang tidak kukenal, meskipun dia benar, otak pemimpin kami berdua bekerja dengan baik, dan memberitahukan langkah apa yang sebaiknya diambil, yang ternyata persis sama.
“Jadi aku ingin memperkuat genjatan, err―’senjata’ kita, dan memulai semuanya dari awal lagi,” Carlisle melanjutkan. Nampaknya cara kepemimpinannya berbeda dari caraku, lebih diplomatis. Bukan berarti aku memiliki kesempatan untuk berdiplomatis. Kau tidak bisa berdiskusi dan berdamai dengan sekumpulan robot atau Pemusnah Terbang, kawan. Kalau kau mendekat lima meter saja dengan tangan terulur, bisa dipastikan saat kau mundur jari-jarimu sudah patah sesuai ruasnya.
Aku berpikir sejenak, memutuskan jalan apa yang terbaik untuk kami. “Baiklah, aku sama sekali tidak ingin bertempur dan membahayakan ka―kelompokku. Jadi genjatan senjata kita bisa tetap berjalan. Tidak ada satupun dari kita yang akan menyakiti manusia maupun membocorkan rahasia jati diri masing-masing,” kataku menyatakan isi perjanjian kami. “Jadi kau bisa mulai memperkenalkan anggota kelompokmu, Carlisle.” Aku menyeringai setelah menyebutkan namanya.
Carlisle tidak menunjukkan tanda-tanda ketidak nyamanan. “Seperti yang sudah kau sebutkan, namaku Carlisle, Carlisle Cullen. Aku bekerja sebagai dokter di rumah sakit setempat.” Iggy mendengus mendengar hal itu. Ia punya alasan sih. Vampir yang meminum darah bekerja di rumah sakit dan bermain-main dengan darah? Yeah...
“Lalu di sampingku adalah istriku, Esme,” Carlisle menunjuk wanita berambut coklat di sebelahnya yang tersenyum ke arah kami, “lalu anak-anakku, Rosalie,”―wanita bertubuh seperti model dengan rambut pirang berkilau, mendelik garang ke arahku, apa sebenarnya masalahnya? Giginya sedang sakit?― “Emmett,”―laki-laki bertubuh besar dan tersenyum lebar seperti seorang maniak―“Alice, Jasper,” ―yang berusaha menyerang Angel―”dan Edward.”
Aku menganggukkan kepalaku. “Kukira hanya adil kalau kami memperkenalkan diri juga.” Tidak ada salahnya kan? Itu hal yang bagus kalau kami ternyata punya sekutu, benar kan? Biarpun kecil kemungkinannya kami akan membutuhkan mereka, Itex toh sudah dihancurkan. Walau di dasar hatiku aku tahu bahwa hidup kami takkan selamanya tenang, ada berbagai masalah untuk kami. Seperti soal apa yang akan kami lakukan kalau kami sudah lulus, tanggal kadaluarsa kami, apakah suatu hari nanti kami akan menemukan seseorang untuk kami dan menikah―cukup sampai disitu.
Carlisle mengangguk tenang.
Kuharap aku melakukan langkah yang tepat.
“Namaku Maximum Ride,” kataku bangga, “tapi kau bisa memanggilku Max. Lalu anggota keluargaku, Fang,” aku mengedikkan kepalaku tanpa menoleh ke arah Fang. Aku sudah tahu bahwa ia tidak mengubah ekspresinya. Takkan ada satu otot wajahpun yang bergerak, apalagi seulas senyuman. Darimana aku tahu? Hei, kaupikir apa saja yang kulakukan selama lebih dari sepuluh tahun aku berkeliaran bersamanya. Tentu saja aku tahu, aku teman terbaiknya, pemimpinnya, saudaranya....
Aku melihat anggota keluarga Cullen saling berpandangan geli mendengar kata ‘Fang’. Aku mengabaikannya.
“Iggy,” aku menyentuh bahu Iggy, yang otomatis menyeringai, “Nudge,” Nudge maju sedikit ke depan dan melambai, giginya mengkilat meskipun tidak tertimpa sinar matahari, “the Gasman―”
“Gazzy, atau Kapten Teror, atau Zephyr, si Angin Barat―” Gazzy memotong bersemangat, sudah berpindah ke depanku. Aku memegangi bahunya untuk membuatnya diam.
“―Gazzy,” aku membenarkan, “dan Angel,” gadis kecilku berpindah ke depan, dan tersenyum tanpa ragu pada keluarga Cullen. Ia nampak makin seperti malaikat dengan senyumannya itu. Tidak salah aku menamainya Angel.
Tentu Max, namaku cantik sekali, trims, Angel bahkan tersenyum di benakku.
Ya, Sayang, balasku.
Ah, sudah cukup basa-basinya. Kukira rencana berkemah kami tidak usah dibatalkan. Lagipula aku tidak mau pergi ke mall dan dijadikan boneka barbie oleh Nudge. “Kalau begitu semua sudah ditetapkan. Kuharap dua hari ini kalian tidak akan mendekat ke area tempat kami berkemah karena aku menolak untuk membatalkan liburan kami,” kataku, kini tersenyum tulus. Aku dan kawananku berbalik hendak pergi, namun salah satu dari mereka bertanya, menghentikan kami.
“Apakah kalian tidak akan mengatakan pada kami kalian ini makhluk apa?” kata Jasper mengerutkan dahi.
Kami berbalik setengah jalan, dan aku tersenyum sinis lagi. Mereka memang tidak tahu soal sayap kami! “Tidak. Kalian tidak perlu tahu kami ini apa. Tapi satu hal yang perlu kalian ketahui,” pada titik ini senyumku berubah menjadi seringai nakal―atau mungkin terlihat kejam atau jahat―jenis senyum yang akan kuperlihatkan pada orang-orang yang berani menyakiti kawananku, misalnya para Jas Putih, “kalau kalian mencoba mengganggu atau membahayakan satu saja anggota keluargaku dengan cara apapun dan dalam konteks apapun, aku dengan senang hati akan menjadi malaikat pencabut nyawa kalian.”
Aku terdiam sejenak, teringat kalau mereka tidak punya detak jantung. Mungkin memang benar mereka sudah mati. Aku juga harus mencari tahu tentang hal itu. “Atau malaikat pencabut eksistensi. Terserahlah apa istilahnya,” tambahku sambil mengangkat bahu, lalu bersama-sama kawananku segera berlari cepat menerobos hutan menuju perkemahan kami.
Namun dengan kecepatan kamipun, aku yakin mereka masih bisa mendengar kata-kata Nudge. “Wow Max, ternyata mereka memang vampir! Tapi aku sama sekali tidak melihat taring, dan juga mereka bisa berdiri di luar di siang hari dan tidak jadi abu, dan bukannya tidur di peti mati―”
Ya, begini lebih baik. Sebisa mungkin aku tidak akan membocorkan siapa kami, apa kami ini. Kami akan bersembunyi selama mungkin di sudut gelap, di bawah bayang-bayang, karena hanya dengan begitu, kami bisa melindungi diri kami.
Labels: fiction
NOTE: Kalimat/kata-kata yang dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti pikiran seseorang.
Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson.
Chapter 10
Camping Trip
Alice POV
Hari ini matahari bersinar cerah! Tentu saja aku tidak terkejut, karena hal ini sesuai dengan prediksiku kemarin siang di kafetaria. Dan prediksiku tentunya sangat dapat diandalkan, bahkan lebih dari apa yang dikatakan para peramal cuaca di televisi. Karena aku melihatnya di masa depan. Aku bisa melihat masa depan, meskipun hal itu bergantung pada keputusan yang diambil orang-orang yang bersangkutan yang dapat mempengaruhi terjadinya suatu peristiwa. Cuaca, di lain pihak, tidak terpengaruhi oleh keputusan orang-orang, jadi bisa dibilang, ramalan cuacaku 99,99 persen pasti benar.
Manusia biasa, terutama para penduduk Forks yang sehari-harinya berhadapan dengan hujan sepanjang hari dan mendung menggantung di langit pastilah akan senang dengan kemunculan matahari. Kalau saja aku dan keluargaku manusia biasa, kami akan ikut senang. Sayangnya kami bukan, kami adalah makhluk-makhluk mitos dalam bukumu, meskipun kebanyakan faktanya hanyalah dibuat-buat demi kenyamanan batin manusia. Kami adalah vampir. Dan salah satu fakta tentang vampir adalah kami tidak bisa terpapar sinar matahari. Bukan karena kami akan melebur jadi abu seperti menurut mitos kebanyakan, tapi karena kami akan berkilau seperti dilumuri ribuan berlian kecil saat terpapar sinar matahari.
Intinya, hari ini kami tidak bisa pergi keluar dan berkeliaran ke tempat-tempat umum manusia. Jadi aku harus membatalkan perjalanan belanjaku dengan Bella! Sayang sekali, padahal di toko pakaian di sebelah Victoria Secret itu akan datang stok baru sabtu ini. Terakhir aku berbelanja adalah dua minggu lalu, itupun bersama Jasper. Perjalanan ini diganti dengan perburuan bersama keluarga, yang mana mungkin hal yang baik juga. Kami sudah lama tidak melakukan perburuan berkelompok begini, dan aku memang sudah agak lama tidak berburu, mataku sudah hampir hitam kelam. Tapi tidak ada yang tidak tertahankan, aku sudah terbiasa, dan aku tidak terlalu tergoda dengan bau darah. Bahkan darah Bella yang lebih manis daripada darah manusia lainpun―bagi Edward memang jauh lebih manis, karena Bella adalah penyanyinya. Namun bagi kami vampir-vampir lainpun darahnya tercium lebih harum dibanding darah lain―tidak menggodaku untuk merobek tenggorokannya dan menancapkan geligiku ke nadi di lehernya agar bisa meminum cairan merah terlarang itu.
Kami harus berangkat dalam―empat menit lima puluh tiga detik lagi, kalau kami ingin sampai tepat pukul sepuluh malam di daerah perburuan kami.
"Edwaaard! Cepat turun!" teriakanku menggema di seluruh mansion yang merupakan surga kami ini. Ia tetap akan mendengarnya meskipun aku bicara dengan suara normal, tapi aku tetap berteriak, hanya untuk lebih menjengkelkannya saja. Tiga jam terakhir ia bertingkah kekanak-kanakan, mondar-mandir di lantai kamarnya, gesekan kakinya―itu disengaja, karena vampir bisa bergerak dan melangkah tanpa menimbulkan suara―dengan lantai sangat menyebalkan dan mengganggu telinga kami. Ia sudah jengkel karena tidak bisa menghabiskan waktu bersama Bella. Sebab lain ia jengkel adalah karena Bella akan berada di La Push, bersama serigala-serigala budukan itu. Huh, memangnya cuma dia saja yang jengkel, dan boleh bertingkah seperti bocah berumur sepuluh tahun yang tidak diberi permen? Aku juga jengkel, acara belanjaku bersama Bella dibatalkan!
"Edward, dua menit lagi!" teriakku lagi, kali ini dari kursi penumpang Volvo perak Edward, dengan Jasper yang membelai lembut lenganku duduk di sampingku. Aku menoleh, dan mata kami bertatapan, selama beberapa saat aku tak sanggup mengalihkan pandanganku lagi dari sorot topaznya.
***
Nudge POV
"Maaax, aku bosan," keluhku di sabtu pagi. Well, tidak terlalu pagi juga sih, sudah jam sepuluh. Tiga tahun yang lalu, keluhan pertamaku di pagi hari―dan keluhanku setiap tiga jam sepanjang hari―adalah "Maaax, aku lapar." Tapi aku sudah berubah sekarang, meskipun masih peduli dengan makanan dan es krim, aku peduli pada hal lain juga, terutama berbelanja di mall. Dan salah satu caraku memintanya adalah dengan cara ini, mengatakan kalau aku bosan. Tidak sepenuhnya bohong sih, aku memang bosan karena tidak ada yang bisa kukerjakan lagi, pe-erku sudah selesai semua.
Max bukanlah penggemar fashion, walaupun sebenarnya ia cantik sekali dan aku akan senang sekali kalau aku diperbolehkan mendandaninya dan membelikan pakaian-pakaian bagus dan trendi untuknya untuk dipakai dan dipadu padankan setiap hari. Tapi Max jarang memperbolehkannya, dia tidak suka berbelanja di mall atau dimanapun itu. Max biasanya berusaha untuk menghindar dan menggantinya dengan beres-beres rumah atau barbeque atau berenang di kolam renang di atap rumah kami, atau bisa kau bilang lantai tiga. Yeah, rumah ini ternyata ada kolam renangnya. Aku baru tahu setelah pada minggu pertama kami tinggal di Forks aku tak sengaja menemukan pintu di ujung koridor yang terkunci, yang ternyata menuju ke tangga ke lantai atas ini. Kami tidak melihatnya waktu terbang pertama kali ke sini karena ia tersembunyi oleh atap dengan baik, dan waktu itu kami memang tidak cukup memperhatikan sih.
"Err, bagaimana kalau kita membersihkan rumah dan mendekorasi saja?" tanyanya saat menoleh dari berita pembunuhan di televisi.
"Tidak, kita sudah melakukan itu minggu lalu, dan tiga minggu lalu, dan enam minggu lalu," kataku. Aku tidak mau bersih-bersih, atau barbeque, atau berenang. Aku bisa berenang kapan saja, pada malam sekolah juga bisa. "Ayolah, Max, bagaimana kalau kita ke mall di Port Angeles atau Seattle? Katanya sebentar lagi ada pesta dansa musim semi atau semacam itu, cewek yang mengajak cowok, kita bisa membeli gaun-gaun bagus dan sepatu untuk pergi ke sana―"
"Tidak, Sayang, maaf. Kau sudah belanja dua minggu yang lalu," kata Max dengan suara tegas.
"Lalu?" tanyaku polos. Memang benar, memangnya kenapa kalau aku sudah belanja dua minggu lalu? Dalam dua minggu, fashion berubah, stok-stok pakaian di toko bertambah lagi, mungkin Prada sudah mengeluarkan tas model terbaru. Uhh, kadang aku berharap ada yang bisa diajak berbelanja, dan punya selera fashion yang bagus sepertiku. Well, sebenarnya aku menemukannya, sepertinya. Tapi Max bilang aku tidak boleh mengganggunya, karena ia bukan manusia biasa dan mungkin berbahaya, dan kita sudah sepakat untuk tidak mengganggu mereka dan tidak mengekspos diri kita. Sayang sekali, padahal aku sudah menemukan orang yang mungkin bisa kuajak berbelanja bersama, tepat saat aku bertebrakan dengan Alice Cullen, dua minggu yang lalu.
.
.
"Ouch, maaf," seruku sambil mengaduh. Aku terduduk di lantai di salah satu koridor, tanganku memegangi kepalaku. Aku berjalan sambil melamun lagi dan memikirkan mall yang mana yang akan kukunjungi besok, sehingga aku tidak memperhatikan jalan dan menabrak seseorang. Tapi aku juga tidak terlalu yakin apakah aku menabrak seseorang, karena rasanya seperti menabrak tembok batu atau pagar besi―
"Tidak apa-apa," ujar suara selembut sutra yang feminin dengan sedikit nada waspada dalam suaranya. Aku mendongakkan kepalaku, dan menemukan figur sepucat kapur yang cantik sekali sedang mengulurkan tangannya padaku untuk membantuku berdiri. Di matanya aku bisa melihat dia ragu-ragu, tapi tetap memplesterkan senyuman manis saat menolongku. Aku cuma bisa menerima uluran tangannya, dan bangkit. Tangannya terasa dingin, dan saat menyentuh inilah, aku memang tidak merasakan denyut nadi, ataupun mendengar detak jantung. Mungkin Iggy benar, mereka ini zombie. Tapi bukankah zombie seharusnya berwajah kusam dan berpakaian compang camping? Mungkin dengan sedikit guratan-guratan luka, atau mata yang menjulur keluar―
―itu memang terlalu menarik perhatian, yeah―
―menurutku mereka lebih mirip Count Dracula, kalau begitu. Mereka pucat sekali, soalnya. Meskipun saat Alice Cullen tadi bicara aku tidak bisa melihat taring ada dalam mulutnya. Dan mereka sepertinya tidak mempunyai masalah untuk keluar di siang hari. Iggy bilang mereka tidak punya detak jantung. Count Dracula punya detak jantung tidak ya? Ah, sepulang sekolah aku akan menontonnya di rumah. Kalau tidak salah Jennifer bilang di Port Angeles ada tempat rental CD yang bagus―
"Err, itu katalog Victoria Secret?" tanyanya terdengar penasaran, memandangiku seksama dengan seakan-akan sedang mengamati dan meronsenku, tapi tanpa sinar X dan alat-alat kedokteran itu.
"Oh, ya," kataku antusias, "Aku akan pergi berbelanja ke Seattle besok, dan Mum memberiku kartu kreditnya agar aku bisa berbelanja keperluanku dan yang lainnya juga."
"Itu... menyenangkan sekali," katanya masih ragu-ragu, tapi ia terlihat masih memandangi katalog di tanganku dan scarf yang kukenakan. Apa, aku tidak salah memadu-madankan setelanku kan? Tentu saja tidak mungkin. Kalaupun ya, mungkin ia yang salah memasangkan pakaiannya. Jadi aku mencoba memperhatikan pakaiannya.
Alice Cullen, dengan rambut hitam pendek yang diatur acak namun stylishnya memakai jeans biru yang agak pudar―tapi bukan karena sering dicuci, melainkan karena memang modelnya begitu―dan berbordir di kiri pinggangnya. Ia mengenakan kaus V neck berwarna baby blue yang tidak terlihat sepenuhnya, tertutup jaket biru tua―
"Darimana kau mendapatkan jaket itu? Oh, aku harus membelinya! Itu kan baru keluar dua hari yang lalu!" pekikku menunjuk jaket yang dikenakannya. Alice tersenyum lebar, lalu berbicara dengan nada sama antusiasnya denganku. "Di Seattle, di pusat kota, ada salah satu cabang Victoria Secret yang bisa kaukunjungi. Sepertinya di sana masih ada―"
"Alice." Sebuah suara datang dari belakang Alice, si cowok berambut warna tembaga, yang lumayan tampan, tapi aku tidak tahu dia jenis tampan yang bagaimana, dan kalaupun ternyata tampannya adalah tampan dan lucu dan punya selera humor yang bagus dan semua kriteria yang kuinginkan, katanya dia sudah ada yang punya, jadi aku tidak punya kesempatan untuk mendapatkannya dan sebaiknya aku tidak terlalu dekat dan mengharapkannya saja.
"Edward," jawab Alice. Ada apa dengan saling panggil nama ini? Apakah Edward sedang membaca pikirannya dan berkomunikasi dengannya? Apa mereka mengobrol dengan suara sangat rendah? Tapi aku pasti bisa mendengarnya, telingaku lumayan tajam juga, meskipun tidak setajam Iggy. Lagipula mulut mereka tidak bergerak, jadi kemungkinan Alice bicara dalam pikirannya dan Edward membaca pikirannya. Aku tidak tahu apakah Alice juga bisa membaca pikiran orang lain. Yang jelas aku aman, aku sudah menaikkan perisai pikiranku.
"Huh?" kataku berekspresi bingung. Aku akan membiarkan mereka lengah saja dan berpikir kalau aku tidak terlalu tahu banyak soal mereka.
Alice tersenyum pasrah dan minta maaf padaku. Aku cuma mengangkat bahu dan tersenyum simpul, lalu berucap, "bye-bye," sambil berbalik dan berjalan―sebenarnya lebih melompat-lompat dan berputar-putar di koridor―menuju kafetaria tempat Max, Fang dan Iggy menunggu.
.
.
Sayang sekali setelah itu aku tidak bicara lagi dengan Alice Cullen, tapi aku ingin pergi berbelanja lagi, atau melakukan sesuatu yang baru selain beres-beres rumah, berenang, atau barbeque.
"Lalu, itu artinya kau tidak bisa pergi belanja lagi sampai paling tidak―dua minggu lagi," jawab Max kalem. Yang lainnya tidak ada yang bicara, mereka hanya duduk-duduk di sofa dan menonton teve, atau menyendokkan es krim ke mulutnya saat duduk di kursi makan. Kenapa tidak ada yang membantuku? Memangnya mereka mau beres-beres rumah lagi?!
"Bagaimana kalau kita berkemah saja?" tanya Fang tiba-tiba.
Eww, berkemah. Memangnya tidak cukup apa tiga tahun lalu kita berlarian dari hutan ke hutan, ke terowongan bawah tanah New York, di taman kota, di atas pohon, sarang burung elang.... Yah, meskipun sekarang kita berkemah dengan membawa peralatan lengkap dan makanan yang cukup banyak, jadi akan jauh lebih nyaman daripada tiga tahun lalu.... Uhh, sebenarnya itu bukan ideku untuk menghabiskan waktu di akhir pekan, tapi daripada beres-beres... bolehlah.
"Hmm," Max menggumam sambil mengerutkan dahinya, sedang mempertimbangkan usulan Fang. Tentu saja, ia akan selalu mempertimbangkan apapun kata Fang. Dia tangan kanannya. Belum lagi, sebenarnya Max punya perasaan terpendam padanya...
"Darimana kau mendapatkan ide itu, Fang?" tanyaku dengan tampang polos. Aku tidak berusaha membujuk atau menipu siapapun sekarang ini, aku tidak punya alasan untuk melakukan itu. Aku bertanya murni karena ingin tahu. Kau percaya kan? Masa kau tidak percaya padaku, Nudge yang memiliki wajah yang polos dan masih murni ini―
"Keluarga Cullen katanya sering berkemah kalau cuaca sedang cerah," katanya mengangkat bahu. Hanya segitu saja? Apakah tidak ada penjelasan tambahan? Uhh, Fang, bagaimana caranya supaya kau bisa bicara sedikit lebih banyak, seperti aku misalnya... Akan sangat menyenangkan untuk mendapatkan detail-detail atau penjelasan lebih untuk setiap hal tanpa kau harus menanyakannya secara spesifik pada orang lain. Tapi orang-orang memang terkadang tidak mengerti, mereka hanya akan menganggapmu bawel―
"Apa mereka benar-benar berkemah?" tanya Gazzy mengalihkan perhatiannya dari tayangan The Simpson yang baru saja mulai. Sisi-sisi mulutnya penuh bekas es krim cokelat.
Jawaban Fang hanya berupa angkatan bahu, pertanda kalau ia tidak tahu apa-apa.
"Mungkin sebenarnya mereka bohong? Mungkin mereka bersembunyi di rumahnya karena ada sinar matahari?" tanya Angel menggaruk-garuk dagunya. Seperti kalau kau menonton film detektif atau mata-mata. Uhh, apa ya judulnya, James Bond? Apakah di film itu ia pernah menggaruk dagunya? Atau aku melihatnya di sebuah buku ya, komik? Kalau di komik detektif aku yakin memang pernah melihatnya.
"Seperti Count Dracula, ya," celetukku main-main, tertawa kecil menyebabkan rambut panjangku bergetar.
"Baiklah," kata Max, tiba-tiba. Sepertinya rapat dengan isi kepalanya sudah beres dan ia sudah menetapkan keputusannya. Apakah ia berdebat dengan Suara lagi? Apakah suara itu masih ada dalam kepalanya? Mungkin tidak, karena Max tidak mengalami sakit kepala sama sekali, tapi bisa saja suara itu cuma tertidur atau mengambil liburan, mungkin, dan nantinya akan memberi kami tugas berbahaya lagi? Kuharap tidak, aku suka sekali hidup seperti sekarang ini.
"Kita bisa pergi berkemah, sambil mengenal dan memetakan hutan di sekitar sini, tapi nanti kita berkemah jauh di dalam hutan, supaya tidak bertemu dengan manusia lain atau lebih parah, keluarga Cullen," tukasnya.
"Yay~! Kalau begitu, ayo cepat berkemas dan panaskan mobilnya! Aku sudah memodifikasi mesinnya supaya ia bisa melaju lebih cepat lagi!" pekikku senang. Angel dan Gazzy sudah berlari ke kamar masing-masing dengan ribut.
"Maaf, Nudge, kita pergi tidak menggunakan mobil," kata Max dengan senyum terplester di mulutnya.
"Eh?" kataku heran.
"Kita tidak bisa membawa mobil, kita kan mau menjelajahi hutan dari atas dulu, lalu setelah semua area kita jelajahi, barulah kita memilih daerah untuk berkemah. Kalau memakai mobil, kita mau parkirkan mobilnya di mana? Hutan kan bukan mall yang punya basement parkir," Max tertawa kecil.
"Yeah, Nudgie. Lagipula, kau ini apa? Putri kodok? Kau ini mutan burung, girl, gunakan sayapmu," ujar Iggy tanpa mengalihkan pandangan dari buku di pangkuannya.
"Kita mengudara lagi," ujar Max dan Fang bersamaan, saling berpandangan satu sama lain, mulut mereka melengkung membentuk senyum simpul.
***
Max POV
Kami menjelajahi angkasa lagi.
Kau tahu perasaan ringan saat kau bermain ayunan di taman bermain, dimana kau berdiri di bantalan duduknya, dan sekuat tenaga mendorong ayunan itu supaya bisa melayang setinggi-tingginya? Saat rambutmu beterbangan di sekitarmu, dan angin berhembus di sela-sela jarimu? Menyenangkan sekali kan? Ah, begitu juga perasaan kami yang bisa terbang lagi setelah selama minimal delapan minggu menahan sayap-sayap kami tetap menekan punggung. Lipat gandakan kesenangannya sekitar lima puluh kalinya, karena terbang dengan sayapmu sendiri―dan bukannya berayun di jalinan rantai dan sepotong kayu―jauh lebih tinggi, jauh lebih lama, dan jauh lebih berangin, sehingga itu jauh lebih menyenangkan.
Kami sudah meliuk-liuk kesana kemari, melihat-lihat hutan dari ketinggian. Kami tidak terbang terlalu tinggi, hanya cukup tinggi untuk disangka sebagai burung, namun cukup rendah untuk bisa melihat jelas apa saja yang ada di bawah kami. Pemetaan kami cukup berjalan lancar. Fang menggambarnya sambil terbang dan melihat-lihat ke segala arah. Semua proses ini berlangsung lebih lama daripada biasanya, mungkin karena kami terbang berpencar dan kami terbang tanpa takut dikejar Pemusnah atau harus buru-buru mencari tempat tersembunyi yang digunakan untuk melakukan rekayasa genetik.
Aku sendiri terbang ke arah selatan, ke tempat yang disebut-sebut sebagai daerah perburuan beruang atau semacam itu. Katanya di sini sangat berbahaya, dan jarang sekali yang masuk sampai ke dalam hutan, bahkan saat musim berburu sekalipun. Aku mengamatinya dari udara sejenak, begitu mataku mendapatkan tempat yang sempurna untuk berkemah, aku segera melesat ke tempat ransel-ransel kami berada. Di sana sudah ada semua orang, menunggu dengan tidak sabar. Aku cuma bisa tersenyum lemah melihat delikan mereka.
"Kau terlambat lima belas menit dua puluh enam detik, Max," tuduh Gazzy, melirik jam digitalnya yang sangat tepat waktu, dibuatnya sendiri.
"Maaf, Gaz, aku melihat-lihat beruang tadi," elakku saat aku mendarat, debu-debu beterbangan di sekitar tumitku. "Ayo, aku sudah menemukan tempat yang tepat untuk kita berkemah. Apa pemetaannya sudah selesai?" Kalimat terakhir kutujukan untuk Fang, yang menjawab dengan anggukan samar dan senyum bersahabat, kemudian menyambar tas ranselnya, berbalik memunggungiku. Aku memandangnya untuk dua detik, lalu mengedipkan kedua mataku tiga kali. Apakah tadi Fang tersenyum bersahabat?
"Cepat, Max, dasar lambat, kau yang dari tadi ribut-ribut sudah menemukan tempat yang tepat, sekarang kau malah memandangiku. Kenapa, punggungku seksi ya? Aww, aku tidak tahu kau menyukaiku―" Suara Fang terdengar menegurku, membuatku melompat dua senti ke udara. Kukerjapkan lagi mataku.
Eh, tapi... Fang ada di depanku, dan jelas-jelas bibirnya tidak bergerak saat ia menoleh padaku, terlihat kaget sendiri mendengar suaranya. Uh, lagipula Fang tidak mungkin berkata seperti itu, jadi itu menyisakan...
"―seperti itu. Yeah, yeah, aku memang tampan. Kalau aku melepaskan kausku bagai― Aww... Ampun, Max, aku cuma bercanda!"
"Gazzy, jangan bermain-main seperti itu," kataku sambil menjewernya, setelah tadi meraih ke belakangku, tempat ia berdiri dan meniru suara Fang. Memang susah mempunyai anggota keluarga yang bisa meniru suara apa saja―ya, apa saja, bahkan suara gelas pecah, pintu berkeriut terbuka, bisa ditirunya dengan persis. Suara manusia dan binatang juga bisa―meskipun terkadang ada keuntungannya juga di petualangan kami tiga tahun lalu. "Tidak ada kue coklat untukmu sore ini," lanjutku sambil mengenakan ranselku di punggung. Gazzy juga memandangku memelas dengan ransel sudah di punggungnya. Ha, aku tidak sebodoh itu sehingga melihat ke arahnya.
"Tapi Maaax―" rengeknya.
"U and A, ke selatan!" ujarku tidak mempedulikannya. Kukepakkan sayapku pelan dan aku sudah melesat ke atas, diikuti oleh anggota kawananku yang lain. Gazzy menghela napas menyerah, dan ikut mengepakkan sayapnya naik ke atas. Aku terbang ke selatan memimpin kawananku dengan senyum bermain di wajahku.
Ah, menyenangkan sekali bisa mengucapkan perintah itu lagi.
-
Tempat yang kutemukan cukup bagus dan luas. Itu adalah sebuah lapangan terbuka di samping sungai kecil yang jernih dan dangkal. Di sekelilingnya terdapat pohon-pohon, yang membentuk lapangan itu menjadi seperti trapesium. Rumputnya pendek-pendek, bahkan tidak ada di beberapa tempat. Tidak ada apapun di lapangan terbuka itu, kecuali satu dahan pohon yang tumbang karena sudah tua. Saat kuperiksa di saat-saat mendatang, ternyata sungai itu didiami oleh ikan-ikan kecil hingga sedang, hmm....
Kami mendarat dengan selamat, dan segera menurunkan barang-barang kami. Aku segera mendaftar apa saja yang harus kami lakukan untuk mempersiapkan perkemahan kami, sementara yang lain melepas ranselnya dan meregangkan tubuh dan sayap mereka. Satu delikan setengah sadar dariku membuat mereka segera melipat sayap mereka dan menyembunyikannya di balik pakaian masing-masing. Maaf sobat, tapi bahkan di alam liar yang kemungkinan bertemu manusianya sangat kecil, kita sama sekali tidak aman. Aku cuma ingin keamanan kalian.
"Gazzy, kau bisa mengumpulkan kayu bakar―" aku memulai.
"Siap, Max." Gazzy melompat bangun dan menghilang ke kedalaman hutan.
"―Nudge, kau menangkap ikan, sebaiknya di hulu, yang lebih banyak ikannya―" mungkin, aku tidak pernah menangkap ikan seumur hidupku, dan aku tidak pernah membaca buku memancing, jadi aku tidak tahu bagian mana sungai yang banyak ikannya. Ah, tapi kan dia tidak tahu kalau aku tidak tahu―Angel, jangan bilang-bilang pada siapapun―
Baik, Max, Angel menjawab cepat.
―apapun untuk membuat mereka semua pergi dulu, dan aku bisa bicara dengan Fang.
"Kenapa aku harus menangkap ikan Max? Bukankah kita membawa daging dan sayuran dan ayam dari rumah? Aku juga ingat membawa udang beku dan memasukkan bakso dan sosis ke dalam ranselku. Jadi untuk apa―" Nudge memprotes dan memulai celotehan tanpa hentinya.
"―Iggy, nanti kau menyalakan api dan menyiapkan peralatan memasak, sekaligus memasak setelahnya―" dan aku mengabaikan Nudge dengan mudah. Selama aku tidak memandang wajahnya yang cemberut, atau tampang memelasnya, aku bisa lepas dari menuruti apapun kemauannya.
Nampaknya Nudge menyadari bahwa aku tidak akan berubah pikiran, karena ia berjalan menyusuri sungai sambil membawa kantong plastik di tangannya dan sebilah pisau. "Uhh, baiklah, meskipun aku tidak melihat apa manfaat―" gerutunya sambil berlalu.
"Aku akan membersihkan peralatan masakku dulu. Tugasmu apa, Max?" tanya Iggy sambil lalu.
"―Aku dan Fang akan memasang tenda, menyiapkan kantung tidur, dan membereskan barang-barang kita," kataku menyelesaikan daftar tugas yang kutandai di benakku. Iggy hanya mengangguk saja, dan membawa peralatannya ke dekat aliran sungai.
"Bagaimana denganku, Max?" Angel bertanya, ia duduk di batang kayu kering dengan ransel bersandar di kakinya, memiringkan kepalanya saat memandangku.
Aku menggaruk kepalaku, mencoba mencari pekerjaan yang belum dilakukan, namun tidak bisa menemukannya. Yah, aku bukannya ingin memanjakannya... Aku tahu Angel mampu melakukan tugas sama seperti yang lainnya, tapi... baiklah, aku ingin sedikit membiarkannya menghabiskan masa kecilnya senormal yang bisa dimilikinya. Dan anak berumur sembilan tahun seharusnya tidak direpotkan dengan pekerjaan seperti ini, bahkan untuk bersenang-senang sekalipun.
"Umm, bagaimana kalau kau pergi ke padang bunga di dekat sini? Kukira aku melihat ada padang bunga waktu terbang tadi. Kau bisa memetiknya, lalu nanti kita bisa membuat mahkota untaian bunga atau semacamnya," kataku tersenyum padanya.
Angel melompat berdiri dan menepuk-nepuk celananya, membersihkan debu dan daun-daun kering yang menempel di sana, dan mengangguk antusias. "Oke, Max, aku ke sana!" dan ia sudah pergi dalam waktu lima detik.
-
Aku mengawasinya dari sudut mataku. Ia sedang memasang pancang terakhir untuk tenda kami, membelakangiku dan memukulkan palunya ke pancang kayu untuk menancapkannya ke tanah. Aku duduk di batang kayu tumbang sambil membongkar-bongkar makanan dan kantong tidur, tapi mataku terus terpancang padanya. Tidak ada yang menyadari kelakuanku ini, syukurlah, karena di lapangan terbuka ini hanya ada kami berdua. Yang lain belum kembali dari tugas mereka masing-masing, dan Iggy pergi entah kenapa, ia hanya menggumamkan alasannya, dan aku tidak cukup terfokus untuk mendengarkannya dengan jelas. Aku terlalu terbenam dalam pikiranku sendiri.
Banyak hal yang terjadi dalam paling tidak dua bulan terakhir ini. Semuanya normal, yeah, itu menyenangkan bagi semua orang. Kami tidak harus mengepak barang-barang kami setiap beberapa hari sekali, mencari hotel, berbohong. Kami punya sebuah bangunan yang bisa kami sebut sebagai rumah kami, tempat milik kami. Setiap orang jadi lebih ceria dan rileks, meskipun tidak sepenuhnya, karena adanya Edward dan Alice Cullen. Namun di luar mereka berdua, kami bisa membaur dengan sangat baik.
Angel dan Gazzy sangat senang bersekolah di tempat mereka sekarang. Angel memiliki teman-teman yang manis, bahkan beberapa di antara mereka sudah pernah main ke rumah kami, dua kali, salah satu diantaranya adalah acara menginap. Gazzy awalnya merasa bosan, terutama karena dipisahkan dengan Iggy sehingga mereka tidak bisa merencanakan hal-hal jahil seperti biasa, Namun akhirnya dia mendapat beberapa teman yang mengajaknya bermain sepak bola―permainan dimana satu bola diperebutkan dua puluh dua orang. Jangan tanya aku bagaimana cara memainkannya, tanya Gazzy saja―dan sekarang ia kecanduan permainan itu dan tidak mau berpisah dengan bolanya, ia bahkan membawa bolanya sampai ke kamar mandi.
Nudge bisa berbelanja sekitar sebulan sekali. Itu membuatnya agak kecewa, tapi kukatakan itu adalah batas tersering dia boleh berbelanja ke mall. Ia juga punya dua orang teman yang punya hobi memulas kuku dan mengubah-ubah gaya rambut, jadi Nudge tidak perlu merengek-rengek untuk dibolehkan mengatur rambutku lagi. Iggy mampu mengikuti pelajaran dengan baik, dan tidak punya kesulitan di sekolah, meskipun beberapa orang masih suka berbisik-bisik atas... ketidak sempurnaan matanya. Namun meskipun ia mendengarnya, ia hanya bersikap kalem dan dalam berbagai kesempatan membuktikan bahwa ia lebih mampu daripada para tukang gosip itu.
Iggy juga menangkap mata satu-dua gadis di sekolah. Aku pernah melihatnya mengobrol di koridor dengan seorang cewek berambut hitam legam sebahu, dan saat cewek itu pergi, kulihat Fang menghampiri Iggy dan mendorongnya, sambil berkata memberi semangat, "Sikat, Bung!" Aku merasa seperti kembali ke Virginia saja. Sayangnya, dua detik kemudian Nudge melompat-lompat menghampiri mereka dan menyambar Iggy di sikunya, membawanya ke kafetaria sambil terus berceloteh menceritakan harinya. Iggy mendengarkan dengan sabar, sama sekali tidak terlihat keberatan. Fang memutar bola matanya melihat mereka. Melihat kelakuannya, giliranku yang memutar bola mataku, lalu mendesah pelan dan mengekori mereka ke kafetaria.
Lalu ada Fang. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya, atau kenapa ia melakukan hal-hal tertentu. Semenjak kami pindah ke sekolah ini, ia menjadi sedikit lebih... ekspresif. Kau tidak akan bisa melihat perubahannya kalau kau tidak hidup bersamanya paling tidak selama lima tahun, tapi aku menyadarinya. Ia masih tetap dingin, pendiam, berbicara amat seperlunya, dan hanya bersosialisasi dengan cowok-cowok, mengobrol seru soal olahraga atau otomotif. Namun begitu teman-temannya mulai memperhatikan salah satu cewek-cewek yang suka cekikikan, atau cewek-cewek pirang yang suka jadi bahan pembicaraan, ia akan langsung diam seperti patung, tidak memberi perhatian apapun. Kalau mereka membicarakan Nudge atau aku, dia akan meninggalkan meja mereka dan pergi ke perpustakaan. Atau menghampiri meja kami. Kalau teman-temannya membicarakan taktik untuk 'membuat-Max-bertekuk-lutut-di-hadapanku' atau sekedar berkomentar 'lihat-kaki-Max-panjang-dan-indah-sekali'―itu adalah konsekuensi kalau kau punya pendengaran setajam elang―Fang akan mendelik berbahaya ke arah mereka, dan kadang-kadang aku menemukan bekas-bekas tangan di lengan kursinya. Terlalu ekspresif, eh?
Perubahan lain, ia tidak pernah membiarkan matanya 'berjalan-jalan' kesana kemari, dan aku belum pernah memergokinya 'saling berusaha menghisap wajah' dengan cewek manapun di sekolah ini. Bukannya aku menguntitnya ke manapun ia pergi. Yang terjadi justru sebaliknya, ia yang berjalan bersamaku ke manapun aku pergi di sekolah ini, kecuali di kelas atau jika teman-temannya mengajaknya pergi dengan mereka. Aku pernah menerima telepon di rumah dari beberapa cewek untuk Fang, tapi Fang menyuruhku mengatakan 'Nick-sedang-tidur' atau kalau dia mengangkat, ia kebanyakan hanya mengatakan tidak atau ya, lalu menutupnya. Aku tahu telepon itu ajakan kencan, bukannya mau menanyakan pe-er seperti yang dikatakan cewek-cewek itu padaku, tapi―berkat pendengaranku, aku tak sengaja bisa menguping pembicaraan mereka. Bukannya aku berniat sejak awal untuk menguping―Fang menolak semuanya. Dan memang benar, ia selalu berada di rumah, tidak pernah pergi hang-out selain dengan kami, keluarganya.
Di luar itu, tidak ada yang terlalu mencolok. Ia tetap menjadi saudara yang pendiam tapi perhatian. Walaupun aku merasa kalau ia jadi lebih sering memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan, karena aku belum pernah melihatnya. Err, sebenarnya rasanya aku pernah melihatnya, waktu aku menciumnya di pantai dulu, dan saat ia pernah bilang kalau ia mencintaiku, tapi aku mungkin saja salah. Itu sudah lama sekali. Kemungkinan lain, mungkin aku berimajinasi dan membayangkan apa yang kuinginkan. Pandangan penuh kasih sayangnya padaku tidak ingin kusalah artikan, karena ia tidak mungkin punya perasaan itu padaku. Dan tidak ada yang bisa menjamin kalau perasaannya tidak akan berubah. Meskipun begitu, aku tetap menghargai setiap momen di mana ia akan membelai rambutku atau memelukku ketika aku gelisah atau kecewa. Yang mana sering, sampai-sampai membuatku jengah dan merasa aneh, karena ia melakukannya tanpa alasan. Pandangannya kadang begitu intens sampai-sampai aku merasa tertampar olehnya. Aku jadi khawatir, apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah padanya, walaupun mungkin aku tak menyadarinya?
"Fang?" tanyaku dengan suara pelan, masih memandangi punggungnya dengan hati-hati.
"Ya, Max?" ia berbalik di tempatnya begitu pancangnya tertanam kuat, senyuman ramah muncul di wajahnya. Aku menahan diri untuk tidak membelalakkan mataku. Ini jelas-jelas salah, Fang tidak pernah tersenyum tanpa alasan, dan senyumannya jarang sekali senyuman ramah, yang mungkin bisa muncul adalah senyum mengejek atau senyum prihatin. Ini salah satu yang membuat bulu kudukku merinding. Ia sering tersenyum samar padaku. Mungkin itu hal baik, mungkin dia memang bahagia berada di sini. Namun tetap saja, aku merasa aneh, dan tidak bisa menyingkirkan perasaan ada yang tidak beres.... Apa ia sedang merencanakan suatu acara balas dendam padaku, dan itu sebenarnya senyum yang mengindikasikan 'tunggu-saja-pembalasanku-Max'?
Aku ragu-ragu bergeser dari tempat dudukku semula dan berjalan jongkok ke tempat ia berada, lalu duduk bersila di dekatnya, menghadapnya. "Umm, apa kau merasa aneh akhir-akhir ini?" Uhh, Max, pertanyaan bodoh. "Maksudku, apa kau merasa sakit, marah... atau pusing, atau mual?" Hah, kenapa pertanyaannya ke situ? Tapi mungkin dia marah karena makan roti panggang setengah hangus yang kubuat seminggu setelah kami pindah ke sini itu kan?
Wajahnya menyiratkan kebingungan, lalu beberapa saat kemudian pengertian terlintas di wajahnya. Hhh, ternyata benar, karena itu. Jadi aku harus siap minta maaf, dan siap juga adu mulut kalau ia merasa terlalu menang dan mulai berkata yang tidak-tidak dan meledekku. "Tidak, Max, lihat," Fang menarik kerah kausnya, menampakkan lehernya, ekspresinya tenang. "Tanggal kadaluarsanya belum muncul sama sekali. Memangnya kenapa? Apakah tanggal kadaluarsamu muncul?" ujarnya tiba-tiba terdengar khawatir, lalu maju untuk meraih kerah bajupun dan melihat sisi leherku.
Aku terlalu terkejut dengan reaksinya sehingga tidak bergerak untuk mencegahnya. Tanggal kadaluarsa? Ia mengira aku bertanya apakah ia merasa sakit karena tanggal kadaluarsanya muncul? Berarti dia sama sekali tidak marah soal roti panggang itu? Lalu apa, memangnya kesalahan apa yang kubuat yang tidak kusadari lagi? Mungkin aku harus bertanya lebih tepat sasaran, lebih langsung.
"Tidak, tidak. Aku tidak apa-apa, dan yang lain juga belum muncul tanggal kadaluarsanya," ujarku buru-buru, segera setelah aku keluar dari keadaan transku. Tanganku menyambar bahunya, menjauhkannya dariku yang masih mengamati leherku. "Apakah aku... umm," aku bergerak-gerak gelisah di tempat dudukku, tanganku sudah melepas bahunya, "apa aku melakukan kesalahan padamu?" tanyaku menghindari tatapan matanya secara langsung, hanya berani melirik dari bawah bulu mataku.
"Tidak," katanya, wajahnya kembali diliputi kebingungan. "Kecuali... kau yang mencuri jam tanganku?" tanyanya ragu, salah satu alisnya terangkat.
"Apa?" tanyaku, kini giliranku yang bingung. "Aku tidak tahu kalau jam tanganmu hilang." Apa yang hilang itu jam yang kuberikan waktu ulang tahunnya dua tahun lalu?
"Uhh... maaf Max, aku sudah menyimpan jam itu di kotaknya, tapi seminggu yang lalu, waktu aku mau memakainya, jam itu sudah tidak ada." Kata-katanya tenang dan tidak terputus-putus, tapi aku bisa melihat kalau dia gugup. Eh, tunggu dulu... Ia masih menyimpan kotaknya? Hmm... orang aneh....
"Tidak apa-apa. Tapi siapa yang bisa mencuri di rumah ki― Gazzy..." kebingunganku berubah jadi kegeraman. Sudah kubilang kalau anak itu tidak boleh memakai benda-benda pribadi orang lain untuk membuat bom. Bahkan kalau bisa mereka seharusnya tidak boleh membuat bom, karena memang tidak ada keperluan untuk hal itu. Bagian mana dari kata-kataku yang kurang jelas, eh?
Dari tampangnya, Fang juga sepertinya merencanakan untuk menghabisi Gazzy begitu ia kembali dari perburuan kayu bakarnya. Ah, mungkin tidak menghabisi, tapi paling tidak membuat Gazzy tidak bisa melihat jam tanpa merinding ngeri sudah cukup.
Kembali ke masalah di tangan. Lalu kenapa Fang bertingkah aneh? Dari pembicaraan kami tadi sepertinya ia tidak mempunyai masalah denganku. Satu-satunya masalah cuma jam tangannya yang hilang, dan jelas-jelas itu tidak ada hubungannya denganku. Kalau begitu hal apa lagi yang mungkin menyebabkan dia bisa bertingkah seperti akhir-akhir ini? Jangan-jangan... Apakah mungkin―hati-hati Max, jangan berpikiran yang bukan-bukan.... Tapi aku tidak bisa menemukan alasan lain lagi....
"Err, Fang, tolong jawab pertanyaanku dengan jujur," kataku, dan dengan segera ia memandangku dengan serius. "Apa... apa kau sedang naksir dengan seseorang?" tanyaku ragu-ragu.
Matanya langsung membelalak, dan mulutnya terbuka mendengar pertanyaanku. Well, aku tidak pernah menduga kalau akan mendapat reaksi segamblang ini dari Fang. Tapi ini mengkonfirmasi dengan jelas semuanya. Oke, jadi dia sedang menyukai seseorang, aku bertanya-tanya cewek yang mana yang menangkap matanya....
Fang memandangku dengan gugup dan sedikit frustasi di matanya.
"Oh, tidak apa-apa, Fang," kataku buru-buru menenangkannya. Matanya sedikit melembut, jadi aku melanjutkan, untuk semakin menenangkannya. "Kau tidak perlu khawatir aku akan membocorkan rahasiamu ini kalau kau tidak mau orang lain mengetahuinya. Dan aku juga tidak akan menghalangi atau melarangmu, kau bebas berhubungan dengan siapa saja, jadi tidak usah takut―" aku merasakan kepedihan yang familiar, yang sudah beberapa kali kurasakan seumur hidupku yang pendek ini. Ah, tapi kalau itu membuatnya bahagia, apa yang bisa kulakukan... "―aku membebaskan semuanya kok. Iggy juga tidak pernah kularang kan, aku tahu kalau cewek berambut hitam itu tertarik padanyadan Iggy tidak menunjukkan tanda-tanda penolakan―" aku mengedipkan sebelah mataku padanya, "―dan mungkin dalam beberapa bulan Nudge juga akan naksir cowok, hmm... tidak masalah, asalkan cowok itu baik dan perhatian padanya," ujarku mengangkat bahu.
Ekspresi Fang malah menjadi panik mendengar kata-kataku. "Tidak Max, bukan seperti itu. Uh, kau tidak mengerti. Ya, aku memang―bagaimana menjelaskannya―bagaimana bisa kau tidak mengerti?!" Fang memandangku frustasi, jari-jarinya menyisir rambut hitamnya, mengacaknya dengan kasar. Aku juga ingin mencoba menyusupkan jari-jariku ke sana―
"Oh?" giliranku menaikkan sebelah alisku. "Bagaimana aku bisa mengerti kalau kau tidak menjelaskannya? Kau memang naksir seseorang dan takut kalau aku melarangmu demi kepentingan kawanan kita, ya kan? Aku bisa menafsirkannya dari setiap pandanganmu yang membuatku ingin kabur itu," aku mendesah panjang, memiringkan kepalaku dan mengangganya dengan tanganku yang bertumpu pada lututku. "Itu normal saja, Fang. Aku tahu aku pernah bilang kalau kita tidak bisa menjalin hubungan serius, tapi waktu itu kita sedang dalam pelarian, banyak bahaya yang menghadang. Hidup kita bisa terancam, begitu pula hidup Lissa, atau Brittany, atau siapapun yang kauinginkan. Sekarangpun mungkin keadaannya tidak jauh berbeda, kita ini jauh dari normal. Tapi... bukan berarti tidak ada kesempatan untuk kita berbahagia. Kalau orang yang kausukai ternyata mengerti kau, dan semua kelebihan dan kekuranganmu, mau menerimamu apa adanya, maka itu bukan masalah lagi..." jelasku, nada suaraku melembut. "Hanya saja cobalah untuk berhati-hati, ya? Jangan bertindak gegagah, jangan beritahu dia kecuali kau benar-benar yakin bahwa dia tidak akan mengatakan pada siapapun, dan bahwa ia benar-benar mencintaimu."
Aku bergerak untuk berdiri. "Aku akan menyiapkan kantung tidurnya dulu." Namun gerakanku terhambat tanganku yang diraih Fang, sehingga aku terpaksa duduk lagi.
"Max," katanya, matanya sekali lagi menangkap mataku, memohon aku untuk mendengarkannya, "dengarkan ceritaku dulu. Sebenarnya aku―"
“Aaaaaaaaahh―”
Kepala kami berdua tersentak ke samping, ke arah teriakan itu berasal. Kami berdua berpandangan sejenak, mengetahui bahwa suara teriakan itu terdengar familiar...
Kami tidak membuang waktu lagi. Dengan segera kaki kami bergerak secepat yang kami bisa, berlari menyusuri hutan untuk menuju ke tempat suara itu berasal.
Nudge tidak memiliki kemampuan hipnotis, tidak. Yang punya kontrol pikiran adalah Angel, tapi dia dilarang oleh Max kalau tidak sangat-sangat-sangat-sangat perlu. lagipula Max itu kebal terhadap pengendalian pikiran Angel. Tapi Max tidak bisa menolak keinginan Nudge (dan Gazzy dan Angel) saat memandang mereka hanya karena mereka mempunyai tampang memelas dan bibir cemberut paling mematikan di seluruh dunia :D. Yah, anggap saja itu bisa membuat Hitler merangkak, kalau mereka memintanya sambil mengeluarkan kartu As itu.
Tanggal kadaluarsa. Setiap mutan itu punya tanggal kadaluarsa, tanggal saat mereka mati. Untuk jenis lupine-human, atau Pemusnah, mereka adalah hasil produksi massal akan mati pada usia tujuh tahun―mereka mencapai kedewasaan dalam usia empat-enam tahun kalau tidak salah―dan kadang bisa hidup lebih lama jika diperbaiki oleh para ilmuwan di Sekolah. Mutan-mutan hasil percobaan lain tidak begitu beruntung, biasanya mereka mati dalam percobaan karena tidak sesuai bentuk adaptasi yang dipasangkan kepadanya. Para human-avian―kawanannya Max―tidak diketahui berapa panjang hidupnya, karena mereka satu-satunya mutan bukan hasil produksi massal (itu berarti mereka itu dari ibu manusia, bukan seperti Pemusnah yang dikembang biakkan dalam tabung laboratorium) yang berhasil kabur dari Sekolah dan berhasil hidup selama ini (Max, Fang dan Iggy sudah hidup 17 tahun kan). Tapi mereka masih yakin bahwa suatu saat tanggal kadaluarsa mereka akan muncul. Ia akan muncul jika kematian mereka sudah mendekat, tercetak di sisi leher mereka.
Labels: fiction
NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti pikiran seseorang.
Disclaimer: Twilight adalah milik Stephenie Meyer, Maximum Ride adalah milik James Patterson.
Max POV
Keesokan harinya keputusanku mulai diterapkan. Angel dan Gazzy kurang lebih bisa menjalani hari-hari sekolah yang normal, karena di sekolah mereka tidak ada sesuatupun yang mencurigakan, namun kami berempat, yang satu sekolah dengan Edward dan Alice Cullen harus lebih waspada. Saat sarapan pagi aku mengingatkan empat anggota kawananku yang lebih tua untuk berhati-hati dan tidak mengundang masalah. Aku tidak meragukan kemampuan mereka membaur. Mereka pemain sandiwara yang sama hebatnya denganku.
Saat aku memasuki halaman sekolah dengan Maseratiku, lapangan parkir sudah hampir penuh. Namun ada lahan kosong dua mobil dari Volvo perak Edward. Pilihan apa lagi yang kupunya? Tentu saja aku menyambar lahan itu, dan memarkirkan mobilku dengan mulus. Aku dan ketiga saudaraku keluar dari mobil dengan santai, dan aku mencuri pandang ke arah Volvo itu. Alice dan Edward juga baru keluar dari mobil. Saat Edward dan aku bertemu pandang―sangat singkat, dua detik paling lama―ia mengangguk sopan. Anggukan itu mempunyai dua arti, sejauh itu aku tahu. Ia memberi salam, dan ia memberi tanda bahwa ia tahu kami ini tidak normal.
Kuputuskan untuk memberinya tanda sekaligus peringatan. Aku membalas anggukannya dan menyeringai kecil, lalu segera menghapus segala jejak ekspresiku sebelumnya dan menggantinya dengan wajah polos berhiaskan seulas senyum sopan. Kalau ia pintar, ia akan menerjemahkannya sebagai Aku mengerti, aku tahu kau juga punya rahasia, dan aku akan bersikap baik selama kau tidak macam-macam denganku dan keluargaku. Kalau dia sama bodohnya dengan cowok-cowok kelebihan hormon yang kemarin mengerubuti Maseratiku, ia akan mengartikannya sebagai Aku tertarik padamu, aku menginginkanmu, aku tahu kau menginginkanku juga dan mari kita bermain api di belakang pacarmu. Eww.
Dengan terkejut―namun senang―aku mendapati bahwa hari-hari berikutnya berjalan lumayan normal, seakan kami tidak menemukan keanehan pada diri satu sama lain. Well, tapi aku tahu bahwa Edward dan Alice Cullen tahu mengenai kami, sikap mereka yang sedikit kaku dan formal, dan di mata mereka terdapat antisipasi yang bisa kudapati terdapat di mataku juga. Tapi mereka tidak melakukan hal yang aneh-aneh, dan dalam hati aku tahu bahwa mereka sudah mencapai kesepakatan bahwa mereka tidak akan menganggu kami, bahkan sebelum aku memberinya peringatan di lapangan parkir.
Kami tidak banyak berinteraksi satu sama lain, namun saat berinteraksi kami seperti saling mengamati dan mempelajari. Tapi mereka tidak mendorong aspek itu dan berusaha menyelidiki kami. Mengetahui sedikit lebih banyak tentang sekutumu bisa dibilang adalah... keuntungan sampingan. Bukan berarti mereka akan mendapatkan informasi mengenai kami dengan mudah. Sekali lagi, aku benar-benar bangga pada kawananku yang merupakan aktor dan aktris dengan bakat alami.
Namun lain halnya dengan Bella. Yeah, dia yang disebut-sebut sebagai pacarnya Edward. Sebaliknya dari Alice dan Edward Cullen, Bella justru sepertinya bersemangat untuk dekat dan mengenal kami. Mungkin Bella tidak tahu apa-apa tentang keanehan kami? Apa benar Edward belum menceritakannya? Yah, aku hanya perlu tetap waspada dan mengawasi semua yang terjadi di sekitarku.
***
Bella POV
Aku tidak sempat berkenalan dengan anak-anak baru itu. Aku sama sekali tidak berniat untuk ‘mempergunakan’ mereka―seperti yang ingin dilakukan Jessica, menurut Edward―atau menggoda cowok-cowok Ride itu―menurut Edward juga, katanya itu yang dipikirkan sebagian besar cewek di sini. Edward mengatakan bahwa ia lega, karena untuk pertama kalinya tidak ada yang memandangnya dengan tatapan ‘menggoda’, padahal sudah jelas ia sudah punya pacar. Aku. Dan ia juga lega bahwa tidak ada lagi―atau tidak banyak lagi, lebih tepatnya―cowok yang memandang aku seakan aku ini sepotong daging, perhatian mereka semua tertuju pada Martinez dan cewek Ride itu. Aku sama sekali tidak bisa menyalahkan cowok-cowok itu.
Tapi aku ingin berkenalan dan membantu mereka. Selain karena aku tahu bahwa menjadi murid baru di sebuah sekolah baru bisa menjadi menyebalkan, dengan segala macam perhatiannya, terutama karena ini adalah Forks yang berpenduduk sedikit, sehingga orang baru akan sangat mencolok, menurutku mereka juga sangat menarik. Tidak hanya dari segi fisik saja, namun dari segi kepribadian dan segala hal yang mereka lakukan. Well, aku baru mengamati mereka tak lebih dari beberapa jam, mungkin hanya tiga jam, kalau ditotal. Namun tiga jam sudah cukup bagiku untuk menyatakan bahwa mereka memang menarik.
Max Martinez, gadis berambut pirang-coklat, memiliki bermata coklat sepertiku. Tindak tanduknya dan penampilannya mengatakan padaku bahwa ia suka kepraktisan. Aku mungkin tidak terlalu tahu tentang fashion―baiklah, aku sama sekali tidak tahu apa-apa soal fashion―tapi bahkan akupun bisa melihat bahwa di luar pakaiannya yang manis dan cocok untuknya, pakaian itu tidak merepotkan dan memudahkannya bergerak. Tingkah laku dan gerakannya juga tidak ada yang sia-sia. Mungkin saja tebakanku ini salah, tapi kita lihat saja beberapa hari ke depan.
Saat memperkenalkan diri, ia mengatakan bahwa hobinya adalah makan. Mungkin itu benar, mengingat porsi yang dihabiskannya saat makan siang. Kecantikannya tidak perlu diragukan lagi. Ia seperti seorang Rosalie, dalam hal fisik. Tapi ia seperti tidak memperhatikan penampilannya. Seperti kubilang, praktis. Ia juga nampaknya baik sekali dan perhatian terhadap keluarganya.
Nicholas Ride―atau Nick, menurut yang kudengar―terlihat penyendiri dan jarang bicara. Pakaiannya serba hitam dan sikapnya serius. Kau lihat tidak, ia bahkan menolak Lauren saat makan siang. Bukan berarti aku mengatakannya tidak bisa menilai ‘penggoda’ saat ia melihat salah satunya, namun kukira mungkin kebanyakan cowok―tidak termasuk Edward―akan menyukai cewek-cewek gampangan yang berpakaian seksi dan cantik―meskipun cantik buatan, dengan make-up dan sebagainya―tapi rupanya aku menilainya terlalu rendah.
Sikap seriusnya meluntur saat ia bersama keluarganya, aku melihat ia tertawa saat makan siang, ia terlihat lebih tampan saat tertawa lepas seperti itu―aku tetap setia pada Edward, tentu saja, aku tidak akan berpaling dari Edward hanya karena menganggap seseorang tampan. Nick sepertinya sangat melindungi Max, hal itu terlihat dari tindak tanduknya. Aku juga melihat bahwa mata Nick melembut saat menatap Max. Aku mungkin belum mengenal mereka lama, namun aku tahu pandangan itu. Itu pandangan yang diberikan Edward setiap kali ia menatapku. Aku bertanya-tanya, apakah ia dan Max bersama-sama? Tapi Max sepertinya bersikap biasa saja, kecuali saat ia memandang Nick saat ia mengira tidak ada yang melihat. Saat perkenalan, ia mengatakan bahwa ia suka menulis. Apa yang ia tulis? Cerita? Lagu? Ataukah mungkin puisi cinta untuk Max? Aku ingin sekali membacanya, kalau bisa...
Jeff Ride, satu lagi pribadi yang menarik. Ia buta, sangat jelas, namun ia tak kalah menariknya dengan saudara-saudaranya. Sikapnya seperti orang yang tidak membutuhkan bantuan di tempat apapun, ia bisa berjalan dengan sangat elegan, ia bahkan tidak pernah tersandung―dan aku yang ‘normal’ tersandung udara kosong beberapa kali sehari, hebat sekali―maupun menabrak apapun. Di depan kelas ia mengatakan bahwa ia suka memasak dan melakukan percobaan kimia dan listrik―itu kan gunanya kabel-kabel itu?―yang jelas-jelas membuat semua orang bingung. Maksudku, bagaimana caranya ia melihat apa yang dipotongnya, bagaimana kalau ia terbakar atau menumpahkan minyak, dan banyak hal lainnya. Lalu, bahan-bahan kimia juga merupakan benda yang berbahaya, bagaimana juga cara ia melihat warna-warna bahan-bahan tersebut dan kabel-kabel listriknya? Tapi tidak ada yang mempertanyakan hal itu.
Satu orang lagi, kudengar ia bernama Krystal Ride. Aku belum pernah berada dekat dengannya, jadi aku tidak bisa berkata banyak tentangnya. Aku hanya bisa menyimpulkan bahwa ia sejenis dengan Alice, yang suka melompat-lompat dan berbicara. Ia terlihat juga sering tertawa. Dilihat dari pakaiannya yang bermerek dan penampilannya, mungkin ia suka berbelanja juga seperti Alice. Selain itu, aku tidak bisa bicara apapun tentangnya.
Mereka semua cantik dan luwes, sudahkah aku mengatakan itu? Ya, sepertinya sudah. Aku juga menemukan saat kelas Biologi bahwa paling tidak tiga diantara mereka memang pintar―mereka bisa menjawab semua pertanyaan Mr. Banner―bahkan Iggy bisa menyebutkan rantai DNA salah satu jenis spesies tertentu, aku lupa nama spesiesnya. Di PE, mereka juga ikut berolahraga bahkan di hari pertama mereka. Dan Jeff juga ikut berpartisipasi. Mereka bisa dibilang cepat―seharusnya aku sudah tidak heran lagi... ―dan mereka juga bahkan tidak berkeringat atau memiliki rambut yang kusut atau berantakan.
-
Keesokan harinya datang. Aku sudah bertekad akan menyapa dan mencoba berteman dengan mereka. Saat di lapangan parkir, Edward menganggukkan kepalanya pada mereka, yang dibalas seringai, lalu senyuman sopan oleh Max. Apa-apaan itu? Ups... Sabarlah, Bella, kau tidak boleh terlalu cepat mengambil kesimpulan... Biarpun aku masih penasaran tentang apa sebenarnya itu. Aku tidak sempat mengatakan apapun saat itu, Edward menarikku ke kelas pertama kami.
Selama pelajaran pagi aku tidak terlalu bisa berkonsentrasi. Bukan hanya karena tangan Edward yang terkadang membelai kakiku, atau pesan-pesan tertulis yang kami saling kirim di meja, namun juga pikiran tentang anak-anak baru itu. Apakah sebaiknya aku mengundang mereka ke meja kami saat makan siang? Mereka tidak tampak terpengaruh atau terintimidasi dengan superioritas Edward dan Alice. Mungkin itu disebabkan mereka sendiri terlihat superior, meskipun mereka itu manusia, bukan vampir. Mungkin Alice akan menemukan teman baru untuk diajak berbelanja, jadi ia tidak akan bermain Bella Barbie lagi dan menyiksaku berjam-jam hanya untuk makeover.
Tapi sayangnya saat makan siang mereka duduk di meja mereka, seperti kemarin. Berempat mereka tertawa-tawa dan bercakap-cakap lagi, terlihat sangat lengkap dan harmonis. Aku seakan sedang menonton salah satu adegan film saat melihat mereka. Memori tahun lalu saat aku memandangi meja keluarga Cullen seperti terulang lagi di hadapanku, hanya saja pemerannya berbeda. Aku tadinya berniat menghampiri mereka, namun Edward mengalihkan perhatianku dengan ciuman-ciumannya di leher dan bahuku, dan juga napasnya yang dingin ketika ia berbisik di telingaku. Jantungku berdetak tak tentu irama, seperti biasa kalau aku berada bersamanya. Terkadang cepat, terkadang tetap dan lambat.
Biologi datang. Kami duduk di tempat duduk kami masing-masing, dan ternyata Mr. Banner memiliki urusan di ruang guru sehingga ia hanya memberi kami tugas dan meninggalkan kami. Ini kesempatan bagus! Karena itu aku segera bangkit dari kursiku, dan menghampiri meja Max, yang sedang mengerjakan tugasnya. Edward ikut bangkit dari kursinya, dan mengikuti di belakangku.
Max tidak mendongak dari pekerjaannya saat aku datang. Nick dan Jeff juga tidak mengatakan apapun. Jeff sedang menulis di selembar kertas putih―bagaimana caranya ia bisa menulis rapi dan hampir sebagus Edward padahal ia tidak bisa melihat?!―sementara tangannya yang lain meraba-raba buku braillenya, namun senyum di bibirnya seolah mengejek, entah apa yang diejeknya.
“Halo, Max,” kataku memulai, sedikit meringis. Duh, bukan kalimat yang terdengar cerdas untuk memulai percakapan. Tapi aku tidak bisa memikirkan pembuka yang lain, jadi, itu yang kukatakan.
Max mendongak dari pekerjaannya, dan Nick dan Jeff menoleh ke arahku. Dari sudut mataku aku juga melihat beberapa orang siswa memperhatikan kami, berbisik-bisik. Yang lainnya tetap mengobrol seperti biasa atau mengerjakan tugasnya. Max tidak memandangku, namun memandang Edward, menaikkan satu alisnya. Edward hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Sebenarnya apa yang mereka lakukan? Apakah mereka sudah saling kenal? Jangan-jangan, Max...?! Uhh... Tenang Bella...
Mata Max beralih padaku, lalu dengan nada bingung ia menjawab, “Err, halo?”
Aku tersenyum melihatnya, dan memperkenalkan diriku, “Umm, aku Isabella Swan, namun kau bisa memanggilku Bella. Dan ini Edward Cullen, pacarku,” ujarku menekankan pada kata terakhir, tersenyum semanis yang aku bisa. Aku tidak mengerti maksudnya apa, namun ya... “Kalau kalian butuh bantuan kami untuk hmm... mengejar ketertinggalan pelajaran kalian―” yeah, alasan yang bagus sekali, Bella, kau sendiri tahu bahwa mereka pintar, setidaknya di Biologi, namun dengan penjelasan Jeff yang rinci kemarin, apa bisa kau meragukan intelegensi mereka di mata pelajaran lainnya? “―atau butuh bantuan untuk hal lain, kami akan dengan senang hati membantu.” Senyumku memudar menjadi senyum ragu, kemudian mengulurkan tanganku.
Max tersenyum sedikit sinis―atau geli? Tidak, itu pasti sinis―dan memperhatikan wajahku, kemudian beralih pada tanganku yang terulur. Beberapa detik kemudian barulah ia menjabat tanganku. “Max,” katanya singkat. Aku melihat Nick, yang sedang mendelik ke arah Edward, aku tidak mengerti apa masalah mereka. Err... apa Nick cemburu karena Max berinteraksi dengan Edward? Delikannya beralih padaku... Apa? Memangnya apa salahku?!
“Nick,” katanya setelah beberapa saat. Aku mengangguk, dan terdengar suara tawa tertahan dari sampingku, membuatku menoleh. Jeff sedang memandang Nick dengan ekspresi puas, sementara Nick beralih mendelik kepadanya, lebih tajam daripada delikannya pada Edward dan padaku. Max menoleh ke belakang, dan memberi Jeff pandangan tidak menyetujui, membuat Jeff langsung berhenti.
”Maaf, Max, aku hanya merasa lucu melihat―err...maksudku, merasakan―gambar penguin di salah satu halaman bukuku,” jawabnya sambil nyengir puas. Max hanya memutar kepalanya dan kembali pada pekerjaannya. Nick melempar satu lagi pandangan tajam―yang diabaikan Jeff sepenuhnya―sebelum kembali menunduk membaca bukunya. Jeff masih tersenyum lebar, senyuman yang membuatku merasa bahwa bukan penguin yang membuat ia tertawa. “Oh, aku Jeff, tapi tentu saja seharusnya kalian tahu itu,” katanya ramah, namun kemudian mengabaikanku dan kembali meraba bukunya.
“Err... Ya,” jawabku, sebelum duduk lagi di kursiku dan berpikir. Aku menoleh memandang Edward, yang ekspresinya netral dan hati-hati. Uh, hari yang aneh...
***
Edward POV
Sejauh ini mereka tidak melakukan apapun yang mencurigakan. Satu-satunya interaksi serius yang menandakan bahwa mereka mengetahui rahasia kami hanyalah pertukaran kecil antara aku dan Max yang terjadi di lapangan parkir di awal hari kedua mereka bersekolah. Aku mengangguk sopan padanya, memasang sesedikit mungkin ekspresi yang tidak perlu. Aku tidak memerlukan kesalahpahaman di waktu seperti ini. Anggukan itu dimaksudkan sebagai Selamat datang di Forks, tolong jangan berbuat onar apapun kalian ini atau kalian dalam masalah. Aku berharap ia mendapat pesannya dengan benar, dengan gestur sederhana dariku itu.
Ia membalas anggukanku dengan anggukan hampir antusias dan ia menyeringai nakal, kemudian dengan cepat mengubah ekspresinya menjadi ekspresi polos tak bersalah, seakan tadi tidak terjadi apa-apa. Seulas senyum terpasang di bibirnya. Hmm, dia pintar juga membalasku tanpa kata. Kalau ia menerima pesanku dengan benar, maka sepertinya aman bagiku untuk menafsirkan bahwa jawaban darinya adalah Trims, kami tahu, hal yang sama berlaku untukmu, kau macam-macam dengan kami dan kau mati―aku tertawa dalam hati pada penafsiranku sendiri, ha, aku sudah mati sekali, kalau kau tidak memperhatikan―jadi cobalah bersikaplah biasa-biasa saja.
Semoga penafsiranku benar, dan dia bukannya mengirimkan sinyal Halo tampan, kau lumayan juga, mau bertemu di belakang sekolah saat makan siang nanti? Tapi jangan beritahu pacarmu. Aku cukup yakin bahwa Max lebih pintar dari itu, dan tidak berpikiran seperti gadis-gadis berpikiran memuakkan itu, walaupun aksinya tadi amat sangat meyakinkan dan mengatakan sebaliknya. Ya, kita awasi saja mereka dengan ketat.
Semoga Bella tidak melihat seringai dan anggukan antusias Max.
Namun rupanya Bella telah merasa tertarik pada Max dan keluarganya. Padahal belum bisa dipastikan apakah mereka berbahaya atau tidak, meskipun mereka sudah mengatakan bahwa mereka akan bertingkah baik, melalui gestur samar kami. Ah, namun Bella bukanlah Bella jika tidak tertarik―atau bahkan menarik hal yang berbahaya. Bella-ku, magnet bahayaku. Lihat saja, saat aku pergi―mengingatnya bahkan masih menyakitkan bagiku. Bagaimana bisa aku memikirkan untuk meninggalkannya, dan menorehkan pedih di hati malaikat seperti Bella... Aku masih tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena hal itu, meskipun ia memintaku melupakannya saja―Bella malah bersahabat dengan serigala-serigala. Bahkan salah satunya jatuh cinta padanya. Dan serigala yang masih muda pula, yang akan kesulitan mengendalikan emosinya.
Akhirnya, saat Biologi Bella memperkenalkan diri, yang diterima Max dengan baik namun hati-hati. Tidak ada insiden berarti, kecuali Nick yang mendelik tajam padaku. Aku tidak bisa membaca pikirannya, tapi aku bisa mendeteksi sedikit kecemburuan di matanya yang kelam. Jeff mungkin menyadarinya juga―meskipun bagaimana caranya, itu adalah misteri yang mungkin suatu saat bisa kupecahkan, bersama dengan mengapa pikiran mereka bisa diblok dengan mudah dari interferensiku dan bagaimana bisa seorang buta memasak dan bermain dengan bahan kimia namun tidak tampak bekas-bekas luka kecelakaan lab apapun―karena ia tertawa tertahan, namun ia beralasan ia tertawa karena melihat gambar penguin, alasan yang tidak kupercayai. Max sepertinya tidak percaya juga, karena ia memutar bola matanya dan mengabaikan Jeff. Nick mengutarakan ketidak percayaannya dengan mendelik tajam ke arah Jeff yang tidak bisa melihatnya. Usaha yang sia-sia, tapi lucu juga melihatnya.
Sisa hari ini, begitu juga hari-hari berikutnya, minggu-minggu berikutnya, bulan-bulan berlalu tanpa insiden berarti. Kami jarang berinteraksi, hanya bertukar senyum sopan dan beberapa kata. Satu-satunya interaksi berarti selain perkenalan Bella dan Max adalah pertemuan Alice dan gadis somophore itu, Krystal. Bella masih berusaha mendapatkan teman dalam diri Max, yang hanya merespon seperlunya. Aku merasa kasihan pada Bella, namun mungkin tindakan Max adalah yang terbaik. Tidak ada yang bisa dipercayai di luar kelompokmu. Bella mengetahui rahasiaku, dan lihat apa akibatnya. Ia sebentar lagi akan menjadi salah satu dari kaum terkutuk juga, sama sepertiku, meskipun itu berarti ia bisa berada di sisiku selamanya.
Sisa minggu inipun berlalu cepat, dan Bella masih belum menyerah, masih sering memperhatikan para Ride dan Martinez. Hari ini jumat siang, dan di kafetaria, Alice sedang merencanakan salah satu kegiatan berbelanjanya bersama Bella, yang sama sekali tidak memperhatikan kata-kata Alice. Aku sedang memperhatikan Bella yang sedang memandang ke seberang kafetaria dan mengabaikan Alice.
"―dan kita bisa mengunjungi Victoria Sec―"
Aku segera menoleh untuk melihat apa yang menghentikan Alice. Matanya berkilau memantulkan sinar dari luar, menandakan bahwa ia sedang mendapatkan salah satu dari penglihatannya. Begitu ia kembali, raut wajahnya terlihat muram. Aku memandangnya khawatir.
"Oh, ini buruk sekali..." gumamnya pelan, dahinya berkerut dan bibirnya membentuk kerucut, menandakan bahwa ia sangat kecewa.
Apa yang bisa membuat Alice kecewa?
"Besok matahari bersinar! Aku jadi tidak bisa berbelanja ke Portland bersama Bella!" teriaknya frustasi.
Oh, benar. Belanja dibatalkan. Apalagi yang lebih penting daripada perjalanan belanja ke Victoria Secret? Aku tersenyum memikirkan jalan pikiran saudara perempuanku yang satu ini.
"Oh, jangan senyum-senyum begitu, Edward!" bentaknya kesal. "Kalau matahari bersinar, itu berarti kau tidak bisa keluar rumah dan di rumah Bella juga kurang aman. Dan lagi Carlisle pasti merencanakan perburuan keluarga."
Oh, Alice benar lagi. Seharusnya aku tahu lebih baik daripada meragukan Alice. Yang ini memang harus dikecewakan. Biarpun aku tidak kecewa soal pembatalan belanjanya.
"Jadi kau harus pergi, Edward?" tanya Bella dari sisiku. Aku tidak menyadari kalau ia sudah tidak memperhatikan Max dan keluarganya―kadang aku merasa cemburu tak beralasan saat ia memberi perhatian seperti itu pada mereka. Rasanya seperti saat ia pertama kali datang ke Forks, memperhatikan meja tempatku dan keluargaku duduk, kau tahu?―dan mendengarkan kabar buruk dari Alice.
"Ya, Carlisle memang sudah merencanakan perburuan keluarga dalam waktu dekat. Tapi aku selalu bisa berburu di malam hari ini saja, menangkap beberapa rusa atau―"
"Tidak, kau sebaiknya pergi," matanya menatap mataku yang hitam seperti onyx, seperti mata Nick. Aku memang sudah seminggu lebih tidak berburu. Tentu saja kami membicarakan perburuan ini dengan suara pelan, dan memastikan bahwa tidak ada yang bisa mendengar kami. Max dan keluarganya sudah keluar dari kafetaria beberapa menit yang lalu, karena itulah Bella memperhatikan kata-kata Alice. Bagi siswa-siswa lain yang melihat, mungkin kami akan terlihat seperti membisikkan kata-kata manis, atau sebaliknya, sedang terlibat pertengkaran serius namun tidak ingin diketahui publik.
"Tapi rusa―"
Ah, bila dilihat dari raut wajah kami berdua, sepertinya kemungkinan pertama tidak bisa masuk hitungan.
"Kau harus menghabiskan waktu dengan keluargamu juga," sergahnya lagi, "aku bisa pergi ke La Push hari sabtu dan minggu ini."
Itulah yang tidak kusukai. Saat seperti ini, ketika aku harus berburu, ia terpaksa mencari perlindungan pada para serigala itu. Serigala yang masih muda, beringas, cepat marah, belum memegang kontrol sepenuhnya, berbahaya―ya, vampir juga berbahaya, aku juga berbahaya, namun aku memiliki kontrol yang jauh lebih kuat dibanding mereka, dan aku lebih tak terhancurkan, dan juga lebih berpengalaman beberapa dekade daripada mereka, lebih mengetahui tentang Victoria, juga―siapa yang sedang kucoba buat terkesan? Aku merasa kekanak-kanakan...
Aku menatap Bella dengan mata memelas. Namun matanya tak tergoyahkan. Dan jauh di lubuk hatiku, aku tahu bahwa Bella merindukan sahabatnya. Yang memusuhinya karena Bella memilihku. Yang mencintai Bella... Namun Bella mencintaiku, dan Bella tidak mencintainya... atau belum menyadari mencintainya. Bella memiliki cinta di hatinya untuk sahabatnya, melihat perjuangannya untuk bertemu sahabatnya itu, sampai-sampai kabur dari sekolah dan pengawasan Alice juga, dua kali. Menggunakan sepeda motor. Namun ia tetap menganggap itu hanya perasaan terhadap sahabat. Dan aku tahu bahwa cintanya padaku jauh lebih besar... Jadi bila Bella akan bahagia dengan pengaturan ini, dengan perginya aku berburu dan ia pergi ke tempat sahabatnya...
"Baiklah, Bella. Baiklah, bila itu akan membuatmu bahagia," bisikku saat aku mencondongkan tubuhku ke arahnya, menyembunyikan wajahku di rambutnya, menghirup aroma shampo strawberry yang sangat kusukai di helai-helainya. Tanganku menyusup ke pinggangnya, mendekapnya rapat ke tubuhku. Aku menyentuhnya hati-hati, seperti boneka kaca, karena itulah Bella bagiku, boneka kaca yang sangat berharga, yang dapat pecah bahkan dengan sedikit kekuatan berlebih di jariku yang sekeras granit. Bella merespon dengan melingkarkan satu tangannya ke leherku, membawa wajahku mendekat padanya. Matanya perlahan menutup, napasnya panjang pendek, menggodaku... dan hanya berakhir dengan aku memberinya ciuman singkat di bibir.
Aku tersenyum melihatnya cemberut saat aku menjauhkan wajahku, kecewa karena aku tidak bertindak lebih jauh daripada itu. "Sabar, Bella... Kita ada di sekolah," kataku sambil tertawa tertahan. Bella selalu berusaha mematahkan pertahananku, selalu meminta lebih dan mempercayaiku lebih besar daripada yang seharusnya, lebih daripada yang kumiliki. Kontrolku tidak sebaik itu...
Sekarang aku menjadi vampir yang plin-plan. Apa yang dilakukan gadis muda ini padaku?
Rencana perburuan esok hari membayang lagi di benakku. Aku menatap ke dalam mata coklatnya yang lebar lagi, ia belum juga melepaskan tangannya jadi leherku, dan aku juga tidak melonggarkan pelukanku di pinggangnya. Hangat tubuhnya membuatku merasa hidup lagi, detak jantungnya yang kencang rasanya mewakili detak jantungku yang telah lama berhenti, membeku bersama sisa tubuhku. Lembut dan rapuh kulitnya, membuatku menginginkan keberadaannya setiap saat di sisiku, hanya untuk menyentuhnya dan melindunginya...
Aku mendesah, keputusan ini berat, namun memang harus diambil, aku nampaknya tidak punya pilihan selain mempercayakan keselamatan Bella-ku pada serigala-serigala itu. Satu-satunya alasan aku mempercayai mereka adalah karena Bella mempercayai mereka, dan aku akan―harus―mempercayai Bella, sama seperti ia memaafkan kesalahanku dan mempercayai bahwa aku tetap mencintainya, bahkan setelah aku meningg―kau tahu maksudku. Paling tidak karena salah satunya mencintai Bella, itu berarti ia akan melakukan apapun, termasuk mempertaruhkan nyawanya, demi melindungi Bella. Seperti yang akan kulakukan jika Bella dalam bahaya.
Kudekatkan lagi wajahku padanya, dan kukecup pelan keningnya beberapa lama, menghargai momen ini dan mematrinya di benakku, bersama dengan aromanya yang merupakan candu bagiku. Ia mendesah, dan aku bisa mengatakan bahwa ia juga menutup matanya seperti aku, meskipun aku tidak bisa melihatnya. Kulanjutkan dengan sapuan pelan dan sehalus bulu di sepanjang pelipis dan rahangnya, membuat matanya terbuka pelan dan jantungnya mulai berpacu lagi, lebih keras daripada sebelumnya. Di sisi mulutnya, di samping telinganya, kubisikkan kata-kata penguatan―bagiku dan baginya, "Berjanjilah, Bella-ku, berhati-hatilah selama aku pergi... Aku selalu mencintaimu, kau dan hanya kau, sekarang dan untuk selamanya... Jaga hatiku baik-baik, karena aku meninggalkannya bersamamu, terantai oleh cintaku padamu..."
Dengan kata-kata itu, kusapukan mulutku ke mulutnya, meninggalkan satu ciuman singkat terakhirku di bibirnya.
A/N. Eww, ketahuan kalau saya ga bisa nulis fluff ;)) Whatever... Apa turunin ratingnya jadi K+ aja ya? :D.
Ehm, penjelasan. Iggy itu salah satu kekuatannya adalah bisa melihat warna asalkan backgroundnya putih. Jangan tanya bagaimana cara kerjanya, atau detailnya. Saya juga ga gitu ngerti :P. Yang jelas, itu memungkinkan dia untuk bisa membaca buku dan menulis.
Labels: fiction