Adegan dan beberapa kalimat di chapter ini diambil dari Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya halaman 190.
A Drop Of Hope
Chapter 2: During The Date
Aku meminta dengan sopan pada waktu untuk cepat berlalu, bukan begitu?
Tapi seperti biasa, waktu tidak mau memberimu apa yang kauinginkan. Ia terus berjalan semaunya, bahkan kalau mungkin, ia berjalan lambat-lambat, hanya untuk membuatmu kesal. Itu yang terjadi padaku saat ini.
Max baru saja pergi lima belas menit yang lalu, sepertinya. Aku tidak bisa yakin karena waktu mempermainkanku. Contohnya, sebelum duduk di tempat tidur ini aku mengecek jam tanganku, dan berdiam diri selama dua jam, kalau menurut yang kurasakan. Tapi waktu aku mengecek jam lagi, ternyata baru lima menit berlalu. Hhh, empat jam lagi sebelum Max kembali. Aku bangkit dari tempat tidurku dan melanjutkan kegiatanku sebelum duduk tadi. Mondar-mandir di sekitar kamarku, menunggu Max pulang. Aku ingin tahu, apakah kencannya berjalan baik atau tidak.
Kau tanya padaku, kenapa aku peduli?
Aku hanya khawatir pada Max, tidak lebih. Dia adalah orang pertama yang kupercayai, dan telah kukenal hampir seumur hidupku. Ia adalah teman baikku, pemimpinku, dan aku menyayanginya seperti saudara perempuanku sendiri.
Max adalah orang yang sangat kuat. Ialah sebenarnya yang memiliki tanggung jawab dan tugas paling berat. Ia adalah yang paling tua di kelompok kami, sehingga ia yang menjadi pemimpin, dan harus mengurus segala keperluan kami. Ia yang memutuskan segala sesuatu yang akan kami lakukan di masa mendatang. Ia yang membagi tugas, menyelesaikan masalah, mencari informasi dan menyimpulkannya, menjaga kawanan kami tetap utuh dan bersama-sama. Ia yang harus menyelamatkan dunia. Dan ia berusaha melakukannya dengan baik. Ia telah melakukannya dengan baik.
Dalam kawanan kami, ia adalah sosok ibu bagi anak-anak yang lebih muda. Ia memang ibu bagi kami. Max selalu berusaha memenuhi apapun keinginan kami kalau itu mungkin, memastikan bahwa kami merasa nyaman dan dapat hidup senormal mungkin. Yah, senormal yang bisa kau alami kalau kau adalah manusia dengan dua persen DNA burung dalam tubuhmu. Setiap malam, bila memungkinkan, ia akan membawa Angel ke tempat tidurnya dan menyelimutinya, lalu mengecup dahinya dan membisikkan selamat malam ke telinganya. Hal itu juga berlaku bagi Gazzy dan Nudge.
Iggy tentunya sudah tidak perlu diselimuti atau dicium dahinya, namun gestur bersahabat dan perhatian selalu diperlihatkan Max padanya. Terkadang memang Max memarahinya karena ia mengajari Gazzy membuat bom jenis baru atau Gazzy dan Iggy berbisik-bisik merencanakan sesuatu, biasanya kejahilan pada anak lain. Terkadang juga Max dan Iggy bertukar komentar sarkastis, bahkan kadang tentang topik sensitif seperti kebutaan Iggy. Namun itu justru pertanda bahwa Max dekat dengannya, dan tidak peduli meskipun ia buta. Iggy mengerti hal itu. Sebagai yang paling tua, kami bertiga harus bergantian berjaga ketika dalam pelarian, mengantisipasi serangan Pemusnah di malam hari. Terkadang Max mengambil tugas berjaga semalaman agar yang lainnya bisa tidur cukup.
Max mungkin tidak bisa memasak―Iggylah yang menjadi koki di kelompok kami. Pada faktanya, Max bahkan bisa menghanguskan roti panggang dari toaster otomatis. Satu-satunya yang bisa dimasaknya dengan sukses―benar-benar ajaib―adalah chocolate chip cookies kesukaannya, ia belajar membuatnya saat ia berada di rumah Dr. Martinez. Tapi meski begitu, anak-anak tetap menyayanginya. Ia yang memastikan bahwa kami bisa makan cukup, dan itu berarti makanan harus banyak, karena kami membutuhkan minimal tiga ribu kalori setiap harinya. Baginya, keselamatan dan kenyamanan kawanan adalah nomor satu. Yang lainnya bisa dinomor duakan, termasuk kepentingannya sendiri.
Ia adalah teladan bagi anggota kawanannya. Iggy, meskipun sering melempar komentar sarkastis pada Max, namun ia menghormati Max dan belajar banyak darinya. The Gasman ingin bisa sekuat dan setegar Max, agar bisa ikut melindungi kawanan, dan lebih penting lagi bisa melindungi adiknya, Angel. Max selalu mengatakan padanya agar dia tidak terlalu berusaha keras, dan bahwa setiap orang juga butuh istirahat. Setiap orang mempunyai batasan masing-masing.
Ya, Maximum Ride Yang Tidak Tertaklukkan juga sebenarnya memiliki batas tertentu. Ada saat dimana berat beban yang dipikulnya di pundaknya tak tertahankan. Namun Max selalu menutupinya dari anggota kawanan yang lain. Mereka tidak butuh hal lain untuk dikhawatirkan, itulah alasannya. Dan Maximum Ride yang mengalami keterpurukan adalah alasan bagus untuk khawatir. Aku adalah satu-satunya orang yang pernah melihat ia pada saat-saat terlemahnya. Aku satu-satunya orang yang pernah melihatnya menangis. Dan aku diam-diam senang bahwa ia mempercayaiku untuk menyaksikan dan menenangkannya di saat rentannya.
Nudge dan Angel ingin bisa secerdik dan secantik Max, walau mereka jarang mengatakannya.
Max tidak pernah menyadarinya, tapi ia memang cantik. Rambutnya adalah helaian pirang dan coklat berselang-seling, tidak akan kautemukan pada manusia manapun, kecuali kalau mereka mengecat rambutnya. Bila sudah terlalu panjang dan mengganggu, Max biasanya mengguntingnya dengan asal, dan menggunakan alat terdekat yang bisa memotong rambut, termasuk pisau dapur dan gunting rumput. Kalau tidak sempat, dia akan mengikatnya di puncak kepalanya.
Tubuhnya lebih tinggi dari anak perempuan seusianya, sekitar lima kaki delapan inchi, dan ramping. Itu karena latihan setiap hari yang dijalaninya saat masih berada di Sekolah, membantai para Pemusnah dan berlarian di labirin yang memusingkan. Saat berada dalam pelarianpun, kegiatan itu tidak berubah banyak, hanya tempatnya yang berbeda. Tentunya terbang juga membakar banyak sekali energi, sehingga semua yang dimakannya tidak terbuang percuma.
Matanya yang lebar berwarna coklat dan dalam. Sorot matanya memancarkan ketangguhan, kewaspadaan dan kendali. Tapi mata yang sama juga menyiratkan kelembutan dan kehangatan, serta intelegensi dan kebijaksanaan jauh di atas umurnya. Sayapnya adalah bulu-bulu krem dengan sapuan coklat lembut di beberapa tempat. Rentang sayapnya mencapai empat belas kaki, dan dengan kepakan lembut mampu terbang dengan kecepatan lebih dari seratus mil per jam. Saat mengudara, helaian bulunya sering bergoyang lembut dan terkadang bergesekan dengan sayap hitamku jika atau terbang terlalu dekat dengannya.
Max tidak pernah menyadari pesonanya, dan kalau ia menyadarinya, ia memilih untuk tidak meributkannya. Ia tetap fokus pada tugas di tangannya. Itu menambah nilai plusnya dalam kamusku.
Baiklah, aku menyayanginya lebih dari sekedar sebagai teman baik, lebih dari sekedar sebagai saudara. Aku mencintainya.
Bukan berarti aku akan mengatakan itu padanya. Tidak hari ini, tidak besok, tidak dalam seribu tahun mendatang.
Aku tidak tahu apakah ia juga mencintaiku lebih dari sekedar teman baik, saudara, dan tangan kanannya, atau tidak. Bila jawabannya adalah yang terakhir, aku yakin bahwa aku tidak akan sanggup menerimanya dan pasti akan mengalami keterpurukan yang sangat parah. Hatiku yang rapuh pasti akan pecah menjadi seribu kepingan, dan takkan bisa disatukan lagi, meski dengan superglue sekalipun. Daripada mengambil resiko penolakan seperti itu, lebih baik aku bungkam dan tidak mengatakan apa-apa.
Ditambah lagi Max memang hampir tidak pernah menunjukkan perhatian lebih apapun padaku, jadi kemungkinan sangat besar bahwa jawabannya adalah yang terakhir. Bukan berarti dia tidak pernah menunjukkan perhatiannya padaku. Ia sangat peduli padaku, dengan porsi yang tepat, namun ia juga mencurahkan perhatian yang hampir sama pada anggota kawanan yang lain.
Aku mencoba untuk tidak terlalu ambil pusing tentang hal itu. Jadi aku mencoba bersahabat dengan seorang anak perempuan berambut merah bernama Lissa. Dan kami berciuman.
Saat itu kelas sedang kosong, memang sudah waktunya istirahat. Aku berdiri memandangnya tanpa ekspresi, hanya setengah mendengarkan apa yang dikatakannya. Sementara ia berbicara dengan menggebu-gebu dan bersemangat, hampir seperti Nudge. Lalu, dengan tiba-tiba, ia mendekat padaku, merapatkan tubuhnya ke tubuhku, dan berjinjit lalu menciumku, di bibir.
Seketika aku membeku, tak tahu harus melakukan apa.
Aku merasa seperti mengkhianati cintaku pada Max. Tapi... belum tentu Max mencintaiku kan? Sebenarnya, aku bahkan tidak yakin kalau ia memiliki perasaan lebih padaku. Jadi, satu ciuman saja tidak masalah, ya kan...?
Jadi perlahan, kunaikkan kedua tanganku menyentuh pinggang gadis itu. Lalu kupeluk ia lebih erat. Aku memiringkan kepalaku sedikit agar bisa menciumnya lebih baik. Beberapa detik berlalu sebelum kami harus berpisah untuk bernapas. Dengan ragu-ragu kulepaskan pelukanku padanya, dan kami berdiri canggung dalam diam selama beberapa detik berikutnya, sebelum Lissa tersenyum ragu-ragu dan mengatakan bahwa ia ingat ia punya janji bertemu temannya di perpustakaan. Aku hanya mengangguk singkat, dan dalam dua detik gadis itu sudah menghilang dari kelas ini.
Aku masih terpaku di tempat selama beberapa saat, berusaha memahami apa saja yang baru terjadi. Berusaha merasakan apa yang baru saja terjadi. Aku berusaha mengingat rasa mulutnya di mulutku, lembut bibirnya menyentuh bibirku, dan hangat tubuhnya menekan tubuhku. Aku memang menikmatinya, tapi... ini berbeda. Rasanya berbeda.
Aku lebih bisa merasakan saat Max menciumku.
Rasanya peristiwa itu terjadi berabad-abad yang lalu. Namun aku bisa mengingatnya dengan jelas, seakan baru terjadi kemarin. Itu hanyalah ciuman singkat, dan Max sendiri mengkonfirmasi bahwa ciuman itu "terjadi begitu saja". Namun selama sedetik itu, aku melupakan keadaanku yang tengah luka parah, hanya sanggup merasakan tekstur bibirnya yang lembut dan hangat di atas bibirku. Saat itu aku juga membeku, dan tidak sempat membalas menciumnya atau melakukan reaksi lain. Barulah beberapa detik kemudian saraf-sarafku bekerja kembali. Dan reaksi pintarku adalah, "Ouch!" mengacu pada bibirku yang pecah dan berdarah.
Rasa manis terasa dalam mulutku. Tidak mungkin itu rasa darah kan? Karena rasanya seperti karat, dan aku memang merasakan karat itu. Aku memikirkan lagi sejenak tentang apa yang kurasakan beberapa detik lalu, juga secara otomatis berusaha mematrinya dalam ingatanku, sensasi ciumannya yang bagai obat bius bagiku.
Saat itulah kusadari bahwa aku mencintainya, meskipun sejak pertama kali bertemu dengannya aku sudah merasakan ketertarikan dan keinginan melindungi yang besar terhadapnya. Aku menyadari, dan menerima bahwa aku memang mencintainya.
Dan setelah menciumnya, aku semakin yakin bahwa aku mencintainya, dan perasaan itu tak bisa diubah lagi, akan tetap ada selamanya. Max takkan pernah tergantikan dalam hidupku, bahkan meskipun aku menginginkannya. Dan aku tidak menginginkannya.
Karena itulah aku peduli soal hal ini. Aku merasa resah saat mendengar bahwa Max diajak kencan. Dan lebih resah lagi karena ia berkencan dengan orang yang tidak dikenal, orang yang tidak kuketahui baik atau tidak bagi Max. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya pergi, karena aku sendiri berkencan dengan Lissa.
Aku sama sekali tidak merencanakan hal ini, kuyakinkan kau. Tapi tentunya setelah menciumnya―well, dia yang menciumku, tapi intinya sama, kami berciuman―aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Jadi aku harus bertahan menghadapi celotehannya, senyumnya yang manis memuakkan―aku baru menyadarinya, entah kenapa―dan juga sikap manjanya dimana ia terus saja bergelantungan di lenganku. Literally.
Saat ia melakukan hal yang menyebalkan atau salah, barulah aku bisa menemukan alasan untuk memutuskannya. Mungkin aku bahkan tidak perlu melakukan apapun untuk memutuskannya. Kami kan tidak akan berada terus di sini, suatu saat kawananku akan pergi meninggalkan Virginia dan aku akan ikut dengan mereka. Dengan senang hati.
Lagipula aku ini hanya sembilan puluh delapan persen manusia, jadi aku tidak mungkin terus bersama Lissa bahkan kalaupun aku menginginkannya. Dan aku tidak menginginkannya, jadi tidak masalah.
Sampai saat itu tiba―saat aku putus dengan Lissa atau saat kawananku memutuskan untuk pergi―aku harus bersabar.
Ini sama sekali tidak memecahkan masalahku mengenai Max. Aku mengkhawatirkannya. Dan aku juga―dengan egoisnya―tidak rela kalau Max berkencan. Aku tidak bisa membuntutinya selama ia kencan. Kalau sampai ketahuan, Max akan marah padaku, dan Iggy serta yang lain akan terus mengejekku, kira-kira sampai seratus tahun ke depan, kalau kami masih hidup. Dan kalau aku membuntutinya, dan mengetahui kalau ternyata Max menikmati kencannya, aku tidak tahu apa yang akan kurasakan―dan kulakukan―mengenai hal itu.
Yang jelas bukan perasaan yang baik.
Aku mendesah. Sepertinya aku memang harus menunggu Max pulang untuk melihat bagaimana keadaannya setelah kencan. Dan itu masih lama sekali.
Labels: fiction