<body> my scribbled notes

Friday, January 16, 2009

FICTION SECTION

MY FANFICTION
Harry Potter Fanfiction
My Last Breath
Category: Books >> Harry Potter
Author: second.hand.of.time
Language: Indonesian
Fiction Rated: K+
Genre: Angst
Chapter: 1, Words: 1,309
Character: Lily Evans Potter
Summary: Ia akan melindunginya apapun yang terjadi. Ia takkan mundur, ia akan bertahan hingga desah napas terakhirnya.

Twilight Fanfiction
Snapshots: My Mind's Keeper
Category: Books >> Twilight
Author: second.hand.of.time
Translator (to English): CourtneyHale
Language: Indonesian/English
Fiction Rated: T
Genre: Romance/Angst
Chapters: ?, Words: ?
Characters: Bella & Edward
Summary:
I: Aku ingat, seseorang yang selalu menempati ruang terbesar hatiku sering bertanya, "Bisa kau beritahu aku, apa yang ada di pikiranmu?" Ia harus bertanya karena ia tak bisa membaca pikiranku, padahal ia ingin sekali. Aku ingin mengabulkan keinginannya. EXB.
E: I remember, someone who always occupied the largest space of my heart often asked, "Can you tell me, what are you thinking?" He had to ask because he could not read my mind, but he wanted to. I wanted to fulfill his desires. EXB.
Prologue/Prologue
Chapter 1/Chapter 1
Chapter 2/Chapter 2

Maximum Ride Fanfiction
A Drop Of Hope
Category: Books >> Maximum Ride
Author: second.hand.of.time
Language: Indonesian
Fiction Rated: K+
Genre: Romance/Angst
Chapters: 3, Words: 5,809
Characters: Max & Fang
Summary: Di minggu-minggu itu terjadi hal-hal paling aneh yang pernah kualami. Tapi tidak ada di antara hal-hal itu yang lebih aneh―dan lebih membuatku terhenyak dalam hati―dibanding hal paling normal ini, yang tentu saja sangat mungkin terjadi. Three-shot. FAX.
Chapter 1: Before the Date
Chapter 2: During the Date
Chapter 3: After the Date

The Days I Met Them
Category: Books >> Maximum Ride
Author: second.hand.of.time
Language: Indonesian
Fiction Rated: K
Genre: Family/Friendship
Chapters: 5 (possibly, in proggress), Words: 2,315 ++ words, ?? pages Ms Word.
Character: Max
Summary: Mereka semua berharga bagiku. Setiap individunya. Aku menyayangi mereka sejak pertama kali aku bertemu dengan mereka.
Prologue, Chapter 1: Fang
Chapter 2: Iggy
Chapter 3: Nudge
Chapter 4: Gazzy
Chapter 5: Angel, Epilogue

Detective Conan/Case Closed Fanfiction
Always
Category: Anime/Manga >> Detective Conan/Case Closed
Author: second.hand.of.time
Language: Indonesian
Fiction Rated: K
Genre: Romance/Angst
Chapters: 1, Words: 749
Character: Ran Mouri
Summary: Dan yang paling tak kumengerti adalah, mengapa aku selalu menunggunya?

When Did I Fall In Love With You?
Category: Anime/Manga >> Detective Conan/Case Closed
Author: second.hand.of.time
Language: Indonesian
Fiction Rated: K+
Genre: Romance/General
Chapters: 1, Words: 2,591
Character: Ai Haibara
Summary: Sejak kapan kau merapalkan mantra sihirmu padaku, sampai-sampai aku menyatakan (dalam pikiranku) bahwa aku mabuk cinta (untukmu)? One-shot.

X-Over Fanfiction
Hiding In The Dark Corner
Category: Books >> Twilight/MR X-Over
Author: second.hand.of.time
Beta-reader: avatarbear67
Language: Indonesian
Fiction Rated: T
Genre: Romance/Adventure
Chapters: 12/?
Summary: Bella berhasil menyelamatkan Edward dari Volturi. Namun ada ancaman baru datang dari Seattle. Dan Forks kedatangan penghuni baru. Semua mengenai mereka misterius dan mencurigakan. Apakah mereka berbahaya bagi keluarga Cullen? EXB, FAX.
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12


MY NANO WRITING
2008
Untitled
Author: second.hand.of.time
Language: Indonesian
Fiction Rated: T
Genre: General
Summary: Your life is nothing but ordinary, Kaye... But however odd your life may turn, and hard your way may seem, if you choose it with your heart, yours will turn into happiness.
Chapter 1


POEM
One Dozen Roses by Angel Ren

Labels:

Saturday, January 3, 2009

A Drop of Hope: Chapter 2

Adegan dan beberapa kalimat di chapter ini diambil dari Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya halaman 190.


A Drop Of Hope

Chapter 2: During The Date

Aku meminta dengan sopan pada waktu untuk cepat berlalu, bukan begitu?

Tapi seperti biasa, waktu tidak mau memberimu apa yang kauinginkan. Ia terus berjalan semaunya, bahkan kalau mungkin, ia berjalan lambat-lambat, hanya untuk membuatmu kesal. Itu yang terjadi padaku saat ini.

Max baru saja pergi lima belas menit yang lalu, sepertinya. Aku tidak bisa yakin karena waktu mempermainkanku. Contohnya, sebelum duduk di tempat tidur ini aku mengecek jam tanganku, dan berdiam diri selama dua jam, kalau menurut yang kurasakan. Tapi waktu aku mengecek jam lagi, ternyata baru lima menit berlalu. Hhh, empat jam lagi sebelum Max kembali. Aku bangkit dari tempat tidurku dan melanjutkan kegiatanku sebelum duduk tadi. Mondar-mandir di sekitar kamarku, menunggu Max pulang. Aku ingin tahu, apakah kencannya berjalan baik atau tidak.

Kau tanya padaku, kenapa aku peduli?

Aku hanya khawatir pada Max, tidak lebih. Dia adalah orang pertama yang kupercayai, dan telah kukenal hampir seumur hidupku. Ia adalah teman baikku, pemimpinku, dan aku menyayanginya seperti saudara perempuanku sendiri.

Max adalah orang yang sangat kuat. Ialah sebenarnya yang memiliki tanggung jawab dan tugas paling berat. Ia adalah yang paling tua di kelompok kami, sehingga ia yang menjadi pemimpin, dan harus mengurus segala keperluan kami. Ia yang memutuskan segala sesuatu yang akan kami lakukan di masa mendatang. Ia yang membagi tugas, menyelesaikan masalah, mencari informasi dan menyimpulkannya, menjaga kawanan kami tetap utuh dan bersama-sama. Ia yang harus menyelamatkan dunia. Dan ia berusaha melakukannya dengan baik. Ia telah melakukannya dengan baik.

Dalam kawanan kami, ia adalah sosok ibu bagi anak-anak yang lebih muda. Ia memang ibu bagi kami. Max selalu berusaha memenuhi apapun keinginan kami kalau itu mungkin, memastikan bahwa kami merasa nyaman dan dapat hidup senormal mungkin. Yah, senormal yang bisa kau alami kalau kau adalah manusia dengan dua persen DNA burung dalam tubuhmu. Setiap malam, bila memungkinkan, ia akan membawa Angel ke tempat tidurnya dan menyelimutinya, lalu mengecup dahinya dan membisikkan selamat malam ke telinganya. Hal itu juga berlaku bagi Gazzy dan Nudge.

Iggy tentunya sudah tidak perlu diselimuti atau dicium dahinya, namun gestur bersahabat dan perhatian selalu diperlihatkan Max padanya. Terkadang memang Max memarahinya karena ia mengajari Gazzy membuat bom jenis baru atau Gazzy dan Iggy berbisik-bisik merencanakan sesuatu, biasanya kejahilan pada anak lain. Terkadang juga Max dan Iggy bertukar komentar sarkastis, bahkan kadang tentang topik sensitif seperti kebutaan Iggy. Namun itu justru pertanda bahwa Max dekat dengannya, dan tidak peduli meskipun ia buta. Iggy mengerti hal itu. Sebagai yang paling tua, kami bertiga harus bergantian berjaga ketika dalam pelarian, mengantisipasi serangan Pemusnah di malam hari. Terkadang Max mengambil tugas berjaga semalaman agar yang lainnya bisa tidur cukup.

Max mungkin tidak bisa memasak―Iggylah yang menjadi koki di kelompok kami. Pada faktanya, Max bahkan bisa menghanguskan roti panggang dari toaster otomatis. Satu-satunya yang bisa dimasaknya dengan sukses―benar-benar ajaib―adalah chocolate chip cookies kesukaannya, ia belajar membuatnya saat ia berada di rumah Dr. Martinez. Tapi meski begitu, anak-anak tetap menyayanginya. Ia yang memastikan bahwa kami bisa makan cukup, dan itu berarti makanan harus banyak, karena kami membutuhkan minimal tiga ribu kalori setiap harinya. Baginya, keselamatan dan kenyamanan kawanan adalah nomor satu. Yang lainnya bisa dinomor duakan, termasuk kepentingannya sendiri.

Ia adalah teladan bagi anggota kawanannya. Iggy, meskipun sering melempar komentar sarkastis pada Max, namun ia menghormati Max dan belajar banyak darinya. The Gasman ingin bisa sekuat dan setegar Max, agar bisa ikut melindungi kawanan, dan lebih penting lagi bisa melindungi adiknya, Angel. Max selalu mengatakan padanya agar dia tidak terlalu berusaha keras, dan bahwa setiap orang juga butuh istirahat. Setiap orang mempunyai batasan masing-masing.

Ya, Maximum Ride Yang Tidak Tertaklukkan juga sebenarnya memiliki batas tertentu. Ada saat dimana berat beban yang dipikulnya di pundaknya tak tertahankan. Namun Max selalu menutupinya dari anggota kawanan yang lain. Mereka tidak butuh hal lain untuk dikhawatirkan, itulah alasannya. Dan Maximum Ride yang mengalami keterpurukan adalah alasan bagus untuk khawatir. Aku adalah satu-satunya orang yang pernah melihat ia pada saat-saat terlemahnya. Aku satu-satunya orang yang pernah melihatnya menangis. Dan aku diam-diam senang bahwa ia mempercayaiku untuk menyaksikan dan menenangkannya di saat rentannya.

Nudge dan Angel ingin bisa secerdik dan secantik Max, walau mereka jarang mengatakannya.

Max tidak pernah menyadarinya, tapi ia memang cantik. Rambutnya adalah helaian pirang dan coklat berselang-seling, tidak akan kautemukan pada manusia manapun, kecuali kalau mereka mengecat rambutnya. Bila sudah terlalu panjang dan mengganggu, Max biasanya mengguntingnya dengan asal, dan menggunakan alat terdekat yang bisa memotong rambut, termasuk pisau dapur dan gunting rumput. Kalau tidak sempat, dia akan mengikatnya di puncak kepalanya.

Tubuhnya lebih tinggi dari anak perempuan seusianya, sekitar lima kaki delapan inchi, dan ramping. Itu karena latihan setiap hari yang dijalaninya saat masih berada di Sekolah, membantai para Pemusnah dan berlarian di labirin yang memusingkan. Saat berada dalam pelarianpun, kegiatan itu tidak berubah banyak, hanya tempatnya yang berbeda. Tentunya terbang juga membakar banyak sekali energi, sehingga semua yang dimakannya tidak terbuang percuma.

Matanya yang lebar berwarna coklat dan dalam. Sorot matanya memancarkan ketangguhan, kewaspadaan dan kendali. Tapi mata yang sama juga menyiratkan kelembutan dan kehangatan, serta intelegensi dan kebijaksanaan jauh di atas umurnya. Sayapnya adalah bulu-bulu krem dengan sapuan coklat lembut di beberapa tempat. Rentang sayapnya mencapai empat belas kaki, dan dengan kepakan lembut mampu terbang dengan kecepatan lebih dari seratus mil per jam. Saat mengudara, helaian bulunya sering bergoyang lembut dan terkadang bergesekan dengan sayap hitamku jika atau terbang terlalu dekat dengannya.

Max tidak pernah menyadari pesonanya, dan kalau ia menyadarinya, ia memilih untuk tidak meributkannya. Ia tetap fokus pada tugas di tangannya. Itu menambah nilai plusnya dalam kamusku.

Baiklah, aku menyayanginya lebih dari sekedar sebagai teman baik, lebih dari sekedar sebagai saudara. Aku mencintainya.

Bukan berarti aku akan mengatakan itu padanya. Tidak hari ini, tidak besok, tidak dalam seribu tahun mendatang.

Aku tidak tahu apakah ia juga mencintaiku lebih dari sekedar teman baik, saudara, dan tangan kanannya, atau tidak. Bila jawabannya adalah yang terakhir, aku yakin bahwa aku tidak akan sanggup menerimanya dan pasti akan mengalami keterpurukan yang sangat parah. Hatiku yang rapuh pasti akan pecah menjadi seribu kepingan, dan takkan bisa disatukan lagi, meski dengan superglue sekalipun. Daripada mengambil resiko penolakan seperti itu, lebih baik aku bungkam dan tidak mengatakan apa-apa.

Ditambah lagi Max memang hampir tidak pernah menunjukkan perhatian lebih apapun padaku, jadi kemungkinan sangat besar bahwa jawabannya adalah yang terakhir. Bukan berarti dia tidak pernah menunjukkan perhatiannya padaku. Ia sangat peduli padaku, dengan porsi yang tepat, namun ia juga mencurahkan perhatian yang hampir sama pada anggota kawanan yang lain.

Aku mencoba untuk tidak terlalu ambil pusing tentang hal itu. Jadi aku mencoba bersahabat dengan seorang anak perempuan berambut merah bernama Lissa. Dan kami berciuman.

Saat itu kelas sedang kosong, memang sudah waktunya istirahat. Aku berdiri memandangnya tanpa ekspresi, hanya setengah mendengarkan apa yang dikatakannya. Sementara ia berbicara dengan menggebu-gebu dan bersemangat, hampir seperti Nudge. Lalu, dengan tiba-tiba, ia mendekat padaku, merapatkan tubuhnya ke tubuhku, dan berjinjit lalu menciumku, di bibir.

Seketika aku membeku, tak tahu harus melakukan apa.

Aku merasa seperti mengkhianati cintaku pada Max. Tapi... belum tentu Max mencintaiku kan? Sebenarnya, aku bahkan tidak yakin kalau ia memiliki perasaan lebih padaku. Jadi, satu ciuman saja tidak masalah, ya kan...?

Jadi perlahan, kunaikkan kedua tanganku menyentuh pinggang gadis itu. Lalu kupeluk ia lebih erat. Aku memiringkan kepalaku sedikit agar bisa menciumnya lebih baik. Beberapa detik berlalu sebelum kami harus berpisah untuk bernapas. Dengan ragu-ragu kulepaskan pelukanku padanya, dan kami berdiri canggung dalam diam selama beberapa detik berikutnya, sebelum Lissa tersenyum ragu-ragu dan mengatakan bahwa ia ingat ia punya janji bertemu temannya di perpustakaan. Aku hanya mengangguk singkat, dan dalam dua detik gadis itu sudah menghilang dari kelas ini.

Aku masih terpaku di tempat selama beberapa saat, berusaha memahami apa saja yang baru terjadi. Berusaha merasakan apa yang baru saja terjadi. Aku berusaha mengingat rasa mulutnya di mulutku, lembut bibirnya menyentuh bibirku, dan hangat tubuhnya menekan tubuhku. Aku memang menikmatinya, tapi... ini berbeda. Rasanya berbeda.

Aku lebih bisa merasakan saat Max menciumku.

Rasanya peristiwa itu terjadi berabad-abad yang lalu. Namun aku bisa mengingatnya dengan jelas, seakan baru terjadi kemarin. Itu hanyalah ciuman singkat, dan Max sendiri mengkonfirmasi bahwa ciuman itu "terjadi begitu saja". Namun selama sedetik itu, aku melupakan keadaanku yang tengah luka parah, hanya sanggup merasakan tekstur bibirnya yang lembut dan hangat di atas bibirku. Saat itu aku juga membeku, dan tidak sempat membalas menciumnya atau melakukan reaksi lain. Barulah beberapa detik kemudian saraf-sarafku bekerja kembali. Dan reaksi pintarku adalah, "Ouch!" mengacu pada bibirku yang pecah dan berdarah.

Rasa manis terasa dalam mulutku. Tidak mungkin itu rasa darah kan? Karena rasanya seperti karat, dan aku memang merasakan karat itu. Aku memikirkan lagi sejenak tentang apa yang kurasakan beberapa detik lalu, juga secara otomatis berusaha mematrinya dalam ingatanku, sensasi ciumannya yang bagai obat bius bagiku.

Saat itulah kusadari bahwa aku mencintainya, meskipun sejak pertama kali bertemu dengannya aku sudah merasakan ketertarikan dan keinginan melindungi yang besar terhadapnya. Aku menyadari, dan menerima bahwa aku memang mencintainya.

Dan setelah menciumnya, aku semakin yakin bahwa aku mencintainya, dan perasaan itu tak bisa diubah lagi, akan tetap ada selamanya. Max takkan pernah tergantikan dalam hidupku, bahkan meskipun aku menginginkannya. Dan aku tidak menginginkannya.

Karena itulah aku peduli soal hal ini. Aku merasa resah saat mendengar bahwa Max diajak kencan. Dan lebih resah lagi karena ia berkencan dengan orang yang tidak dikenal, orang yang tidak kuketahui baik atau tidak bagi Max. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya pergi, karena aku sendiri berkencan dengan Lissa.

Aku sama sekali tidak merencanakan hal ini, kuyakinkan kau. Tapi tentunya setelah menciumnya―well, dia yang menciumku, tapi intinya sama, kami berciuman―aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Jadi aku harus bertahan menghadapi celotehannya, senyumnya yang manis memuakkan―aku baru menyadarinya, entah kenapa―dan juga sikap manjanya dimana ia terus saja bergelantungan di lenganku. Literally.

Saat ia melakukan hal yang menyebalkan atau salah, barulah aku bisa menemukan alasan untuk memutuskannya. Mungkin aku bahkan tidak perlu melakukan apapun untuk memutuskannya. Kami kan tidak akan berada terus di sini, suatu saat kawananku akan pergi meninggalkan Virginia dan aku akan ikut dengan mereka. Dengan senang hati.

Lagipula aku ini hanya sembilan puluh delapan persen manusia, jadi aku tidak mungkin terus bersama Lissa bahkan kalaupun aku menginginkannya. Dan aku tidak menginginkannya, jadi tidak masalah.

Sampai saat itu tiba―saat aku putus dengan Lissa atau saat kawananku memutuskan untuk pergi―aku harus bersabar.

Ini sama sekali tidak memecahkan masalahku mengenai Max. Aku mengkhawatirkannya. Dan aku juga―dengan egoisnya―tidak rela kalau Max berkencan. Aku tidak bisa membuntutinya selama ia kencan. Kalau sampai ketahuan, Max akan marah padaku, dan Iggy serta yang lain akan terus mengejekku, kira-kira sampai seratus tahun ke depan, kalau kami masih hidup. Dan kalau aku membuntutinya, dan mengetahui kalau ternyata Max menikmati kencannya, aku tidak tahu apa yang akan kurasakan―dan kulakukan―mengenai hal itu.

Yang jelas bukan perasaan yang baik.

Aku mendesah. Sepertinya aku memang harus menunggu Max pulang untuk melihat bagaimana keadaannya setelah kencan. Dan itu masih lama sekali.

Labels:



A Drop of Hope: Chapter 1

Sudut pandang Fang mengenai 'insiden' di buku Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya. Mungkin akan terlihat OOC, atau aneh, tapi mau bagaimana lagi, karena dialter ke bahasa Indonesia, jadi ada beberapa istilah atau kalimat yang terdengar aneh mungkin. Uh, dan harus diakui kalau menulis dari sudut pandang Fang itu sulit :D.

NOTE: Kalimat/kata-kata yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini adalah pikiran Angel. Sementara kalimat/kata-kata yang cuma dimiringkan seperti ini, kalau bukan kata-kata asing atau penekanan, berarti percakapan pikiran atau pikiran yang diarahkan langsung pada Angel.

Disclaimer: Maximum Ride dan segala sesuatu yang bersangkutan dengannya adalah milik James Patterson.

Disclaimer ini juga untuk chapter-chapter berikutnya. Percakapan dan beberapa kalimat di chapter ini diambil dari Maximum Ride: Sekolah Selesai―Selamanya halaman 247-250.


A Drop Of Hope

Chapter 1: Before The Date

Minggu-minggu ini adalah hari-hari paling ajaib yang pernah kujalani. Dan itu mengatakan sesuatu, karena datangnya dari orang yang pernah tinggal di kandang anjing, dan menghabiskan waktu menjalani berbagai eksperimen—bukan, bukan yang melakukan eksperimen, tetapi yang menjadi eksperimen―di laboratorium berbau antiseptik yang disebut Sekolah dengan hurup depan kapital S, dan berlari-lari di labirin sambil berusaha menghindari—atau kalau perlu, melawan dan membunuh―manusia serigala―buatan, bukan asli. Oh, jangan lupa, ia juga punya sayap hitam dengan panjang rentang sayap dari kiri ke kanan sekitar tiga belas kaki. Minggu-minggu ini lebih aneh dibanding ketika kami menjadi pelarian, dikejar-kejar mutan terbang, dan mencari-cari gedung tinggi bernama Institut Kehidupan Tinggi yang harus kami hancurkan.

Ini lebih aneh dibanding itu semua.

Hidup kami kembali seperti orang normal.

Benar, mungkin kau akan bilang kalau aku―kami―beruntung, bisa menjalani kehidupan normal seperti manusia lainnya. Dan seharusnya begitu, karena itu adalah hal yang paling kami inginkan. Hidup normal, punya orangtua, punya rumah dengan tempat tidur dan sarapan enak setiap hari, pergi sekolah dan punya banyak teman. Tapi seperti yang kau ketahui, kami ini mutan aneh, hidup berpindah dan tidak punya rutinitas tetap sudah jadi hal yang wajar bagi kami, sehingga hal-hal normal terasa aneh untuk kami, dan sejujurnya, aku tidak begitu senang pergi ke sekolah. Menyebut namanya saja membuatku merinding. Tapi Anne bersikeras bahwa hal ini penting untuk kami.

Jadi, seperti kubilang tadi, hidup kami seperti orang normal, dan seperti baru saja kutekankan, aku tidak begitu antusias dengan prospek pergi ke sekolah, yang sayangnya harus kujalani. Dan minggu-minggu pertama saja sudah penuh insiden dan hal-hal baru yang kami temukan. Aku dan Max secara tidak sengaja menemukan orangtua Iggy, misalnya. Juga beberapa... uh, kejadian tidak terduga. Gazzy dan Iggy sudah beberapa kali membuat ulah dengan menjelajahi beberapa tempat dan meledakkan bom mereka. Mereka juga menemukan beberapa keganjilan. Dan itu sempat membuat kami panik.

Namun besoknya, saat kami kembali ke sekolah, semua berjalan seperti biasa. Kami juga berusaha bersikap biasa, tidak mengundang perhatian, namun tetap waspada penuh. Dan sejauh ini tidak ada guru yang memandang curiga dari balik kacamata tebalnya, atau tiba-tiba meliburkan kelas dan membebaskan pe-er selama seminggu―dengan adanya pengendali pikiran seperti Angel di sekitarmu kau takkan pernah tahu. Nudge diundang ke pesta ulang tahun temannya. Anne berjanji mencarikannya pakaian yang bisa menyembunyikan sayapnya namun tetap terlihat cantik dan normal. Ia sangat antusias sampai-sampai berceloteh sepanjang hari dan membuat kuping semua orang hampir lepas―bahkan earphoneku pun tidak sanggup menghalau suara bernada tingginya menjauh dari telingaku.

Tapi tidak ada di antara hal-hal itu yang lebih aneh―dan lebih membuatku terhenyak dalam hati―dibanding hal paling normal berikut ini, yang tentu saja sangat mungkin terjadi:

Seorang cowok berambut coklat terang bernama Sam mengajak Max kencan.

“Apa?” seru Iggy.

Saat itu makan malam. Semua orang duduk mengelilingi meja makan, menyerang makanan bertumpuk yang dimasak Iggy, dan yang dengan susah payah dimasak Anne. Kecuali aku. Aku sudah menghabiskan bagianku, dan sekarang berdiri bersandar ke lemari es, memperhatikan percakapan di sekitarku dalam diam.

“Aku diajak kencan,” ulang Max dengan suara ‘normal’, tetap melanjutkan makannya dengan tenang.

“Oh, Max!” seru Nudge antusias―yeah, seperti yang ia tak pernah antusias saja.

“Kau bercanda,” ujar Gazzy sambil tertawa, namun berusaha susah payah supaya tidak menyemburkan makanan di mulutnya, sementara Nudge mengerlingnya dengan jijik. Anne tidak akan senang kalau lantainya sampai kotor. “Dasar payah! Apa katanya waktu kau menolaknya?”

Hening melanda ruangan. Tidak ada yang berbicara atau bergerak―aku bahkan hampir curiga tidak ada yang bernapas. Hanya terdengar suara pisau berdenting beradu dengan piring ketika Max memotong steaknya.

“Kau menerimanya ya?” Nudge memecah keheningan.

“Oh, ya Tuhan,” Iggy bergaya mendramatisir, telapak tangannya diletakkan di dahi. “Max berkencan. Kukira kita harus menghindari air mata, kekerasan dan penganiayaan.”

Max mendelik tajam padanya, tapi sebagai bocah burung yang buta, Iggy tentu saja punya kemewahan untuk dengan mudah mengabaikannya.

“Kurasa ini asyik,” kata Angel dengan manis, ikut angkat bicara. “Max cantik. Sudah seharusnya ia berkencan.” Kau juga berpendapat begitu kan, Fang?

Aku merasa ada makna ganda dalam kalimat itu. Jadi aku tidak menjawabnya. Juga karena aku tidak tahu yang mana yang dimaksud Angel, mengenai kalau Max cantik, atau kalau sudah seharusnya Max berkencan. Pendapatku? Menurutku keduanya. Max memang cantik, dan aku setuju kalau sudah seharusnya ia berkencan. Tapi aku tidak sependapat dengan pilihan pasangan kencannya. Ia sama sekali tidak cocok untuk Max!

Tapi tentu saja aku tidak mengatakan hal itu. Alih-alih aku memasang ekspresi kosong seperti biasanya. Dan berusaha tidak mengepalkan tanganku dengan keras sampai buku-buku jariku memutih, untuk menahan diriku dari meninju sesuatu, lebih disukai kalau anak laki-laki berambut coklat terang yang jadi samsak tinjuku.

Kalau begitu menurutmu siapa yang cocok berkencan dengan Max, Fang?

Ugh, aku lupa bahwa di sekitarku ada Angel, yang berarti seharusnya aku tidak boleh lengah dengan apa yang ada di benakku. Tapi seharusnya ia memang tidak boleh menginvasi pikiran orang lain. Dasar pembaca pikiran kecil―Uh, maaf Angel...

Tidak apa-apa, Fang.

Dan tolong jangan baca pikiranku, tambahku sesingkat mungkin pada Angel, berusaha menjaga kalimatku tetap pendek-pendek.

Oke. Jawaban itu datang agak terlambat, tapi tetap diucapkan. Aku menghembuskan napas yang tak sadar kutahan dalam hati, lega karena benakku sekali lagi aman―mungkin.

“Dan apa yang akan kaupakai?” suara Anne membawaku kembali ke kenyataan. Ia bertanya pada Max sambil tersenyum, mungkin antusias karena mendapat boneka barbie untuk didandani. Max yang malang.

“Tidak tahu,” gumam Max pelan, wajahnya memerah. Mungkin ia malu karena tidak punya ide sama sekali apa yang harus dilakukannya di kencan pertamanya. Atau mungkin karena semua orang mengomentarinya.

Sadarkah kau siapa yang sama sekali tidak berkomentar?

Benar.

***

“Anggap saja ini misi pengamatan.”

Sekarang sekitar satu sampai beberapa puluh menit sebelum pasangan kencan Max datang. Aku bersandar di pintu kamar Max, sementara ia bersiap-siap untuk kencannya yang akan mulai sebentar lagi. Ia bolak-balik memperhatikan refleksinya di cermin meja rias.

“Apa?” katanya, nadanya jelas-jelas tersinggung, mungkin mengira aku menganggapnya gugup―yang mana memang benar. “Aku baik-baik saja.” Sudut-sudut mulutku terangkat sepersekian milimeter, heran sekaligus geli dengan fakta bahwa ia tersinggung. Memangnya aku bilang apa, eh? Aku memperhatikannya menarik kausnya dan mengenakan jaket bertudung agak kebesaran yang menyembunyikan sayap-sayapnya. Sayang sekali disembunyikan, padahal menurutku sayap-sayap itu cantik. Tapi tanpa sayap-sayap itupun, apapun yang Max kenakan, ia tetap cantik...

Dan sekali lagi, karena aku adalah aku, maka tentu saja aku tidak mengatakan hal itu, tapi sebagai gantinya malah...

“He-eh. Biasanya jika kau tampak seperti itu, aku tahu kau bakal muntah.” Senyum mikroskopisku berkembang jadi seringai.

Kerja yang bagus, Fang. Sepertinya kau bisa berharap dia meninju pipimu dalam dua detik mendatang.

Tik. Tik.

Ah, rupanya tidak. Suatu keberuntungan. Tapi aneh sekali. Mungkin ia tidak mau dandanannya rusak? Biasanya anak perempuan hanya peduli pada hal itu―bukan berarti peraturan itu berlaku pada Max. Sekarang saja ia tidak mengenakan make up sama sekali. Dan ia tetap tampak... Ya, ya, pikiran, sebaiknya kau menyingkir sebentar. Kembali ke mengapa Max tidak meninjuku. Mungkin ia terlalu senang hari ini sampai-sampai komentar sarkastisku tidak merusak harinya?

Tapi aku tidak sarkastis tanpa alasan, dan aku memang mengatakan yang sebenarnya. Ia tampak seperti mau muntah (Sekali lagi aku ingin tahu apakah itu karena ia sangat antusias, atau sebaliknya?). Hampir setiap detik berada di sekitarnya membuatku bisa memprediksikannya dengan baik. Berbeda denganku, ia dengan mudah hampir selalu bisa dibaca.

“Aku baik-baik saja,” jawabnya kaku. Ia terdiam sejenak, agak mengerutkan kening. Sebagai sahabat baiknya yang sudah bersamanya hampir seumur hidupnya, aku tahu bahwa ia sedang memutuskan sesuatu. Atau sedang berdebat dengan Suara di kepalanya untuk memutuskan sesuatu. Ya, Max punya Suara di kepalanya, kau tidak punya? Wah, kejutan besar. Mungk―

Bel pintu berdering, memotong laju pikiranku, sekaligus mengakhiri perdebatan batin Max. Aku segera membenahi ekspresiku dan tersenyum jail, lalu mendahului berjalan menuju lantai bawah.

Oh, waktu, ayo cepatlah berlalu.

Labels:



My Last Breath

Ini adalah SongFic untuk death scene di malam Harry Potter berhasil menyingkirkan Pangeran Kegelapan untuk pertama kalinya. Saya tidak tahu apakah scene ini ada yang pernah membuat fanficnya, dalam bahasa apa, dsb. Kalau ada, ya... Anggap aja ga ada :D *dikemplang* Saya cuma iseng memodifikasi sedikit post RPG death scene Lily Evans menjadi fanfic dan mem-postnya di sini.

Note: Tulisan yang ditebalkan dan dimiringkan seperti ini, diambil dari buku Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Bab 'Patronus'.

Disclaimer: Harry Potter adalah milik J. K. Rowling. Saya hanya meminjam karakternya dan plotlinenya. Lirik My Last Breath adalah milik Evanescence.


MY LAST BREATH
by .

"Lily, bawa Harry pergi! Itu dia! Pergilah! Lari! Akan kucoba menahannya!"

BRAKK! Suara pintu menjeblak ditutup.

Drap, drap, drap, drap. Suara langkah kaki terburu-buru menaiki tangga.

Lily berlari ke lantai atas, terburu-buru, terengah-engah. Pikirannya berkecamuk, bercampur-aduk, namun sekacau apapun, tak pernah lepas dari keluarganya. Keluarga kecilnya yang bahagia, yang baru saja terbentuk dan lengkap setahun yang lalu, bersamaan dengan hadirnya si kecil Harry ke tengah-tengah mereka. Benaknya melayang cepat pada suaminya, yang berada di bawah, menghadapi bahaya sendirian. Oh, kenapa hal ini harus terjadi? Lily mengkhawatirkan keselamatan James. Ia takut sekali...

Hold on to me love
you know i can't stay long
all i wanted to say was i love you and i'm not afraid
can you hear me?
can you feel me in your arms?

Wanita berambut merah kini berdiri di kamar Harry, di lantai dua. Ia melirik putra kecilnya penuh sayang. Betapa ia sangat menyesalkan kejadian malam ini yang tak dapat dicegahnya... Lily tahu bahwa begitu ia memutuskan melawan Voldemort, ia dan keluarganya akan selalu berada dalam bahaya. Namun ia tetap berjuang dan mendukung sisi Dumbledore bersama James, tahu bahwa mereka berada di sisi yang benar. Namun takdir menyiapkan hal lain yang lebih besar bagi mereka semua. Hanya gara-gara ramalan, keluarganya, anaknya tercinta, diburu untuk dihabisi. Padahal ramalan itu belum tentu benar adanya. Voldemortlah yang ketakutan bahwa Harry kecilnya suatu saat akan menumpasnya.

Harry yang malang... Ia akan besar tanpa belaian dan kecupan selamat tidur dari ibunya, tanpa dorongan semangat dan tawa konyol ayahnya.

Lily berusaha tidak memikirkan hal seperti itu, namun itu tak bisa dipungkiri. Sekali Voldemort mendatangi mereka, Lily tahu bahwa waktunya dan James sudah dekat. Karena mereka akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk melindungi putra mereka, bahkan meski nyawa taruhannya. Ia dan James tak takut mati, apalagi jika itu demi putra mereka satu-satunya. Ia hanya takut Harry tidak akan bisa tumbuh dengan baik tanpa kedua orangtuanya. Ia takut Harry menganggap Lily dan James mengabaikannya dan tidak mencintainya. "We love you, Harry. We always love you," bisiknya sambil mendekap erat anak laki-laki berambut gelap berantakan―seperti ayahnya―yang tengah tertidur lelap itu, seakan ingin menentramkan putranya―atau dirinya sendiri.

holding my last breath
safe inside myself
are all my thoughts of you
sweet raptured light it ends here tonight

Lily menghela napas. Dan menghirup udara bersih lagi. Tarikan-tarikan napas terakhirnya di dunia ini. Ah, ia tak menyesali hal itu, asalkan Harry selamat. Ia juga takkan merasa kesepian dan jauh dari Harry. Semua memori tentangnya akan selalu ada dalam benak dan hati Lily. Cintanya untuk Harry takkan pernah pudar, apapun yang terjadi.

James. Lily sekarang menyesali keputusannya meninggalkan James di lantai bawah. Ah, tidak, James takkan menyukai pikiran Lily yang seperti itu. James cukup berani untuk mempertahankan keluarganya yang dicintainya. James memang akan mempertahankannya hingga saat terakhir. Sikap keras kepalanya―salah satu alasan Lily bertengkar terus dengannya selama enam tahun pertama mereka di Hogwarts, dan salah satu alasan mengapa Lily akhirnya luluh dan memberikan tangannya pada James untuk diselipi cincin di jari manisnya, di hari pernikahannya dan James―dan keberaniannya, tanda bahwa ia adalah seorang Gryffindor sejati, di samping seorang kepala keluarga yang bertugas melindungi keluarganya. Lily berharap sekali lagi, bahwa James-nya tidak akan apa-apa. Bahwa teriakan-teriakan dan tawa mengerikan di bawah hanyalah ilusinya saja. Bahwa itu hanyalah Sirius dan topeng bodohnya, datang untuk merayakan Halloween bersama keluarga mereka seperti tahun-tahun yang lalu.

Lily tahu, bahwa harapannya sia-sia belaka.

i'll miss the winter
a world of fragile things
look for me in the white forest hiding in a hollow tree (come find me)
i know you hear me
i can taste it in your tears

Harry sangat mirip ayahnya, dengan rambut berantakan yang tak bisa rapi, bahkan meskipun Lily menyisirnya berkali-kali dengan sisir basah. Sirius bahkan menyarankan agar Harry memakai gel rambut atau semacam itu, untuk membuat rambutnya kelimis. Lily dan James dengan kompak menolaknya, meskipun untuk alasan berbeda. Lily menganggap Harry masih kecil untuk memakai gel rambut. James menganggap rambut berantakan Harry itu keren, dan akan dengan sukses menarik perhatian gadis-gadis seperti saat ia berada di Hogwarts dulu. Lily cuma bisa memutar bola matanya bosan mendengar alasan James.

Bila Lily dan James tidak ada― Bila yang terjadi adalah kemungkinan terburuk, dan mereka berdua mati― Lily sama sekali tidak ingin memikirkan hal itu, namun bila itu adalah hal yang tak terhindarkan...

Bisa didengarnya derap langkah kaki menuju ke atas.

Air mata Lily tak bisa dibendung lagi. Bila semuanya berakhir buruk dan―akan dipastikannya hal ini sekuat tenaganya―Harry berhasil bertahan hidup.... Diharapkannya sepenuh hatinya bahwa Sirius akan mengurus Harry dengan baik, dan tidak meninggalkannya, yang tak diragukan Lily akan dilakukannya. Sirius sangat menyayangi Harry, dan Lily percaya penuh padanya.

Ia ingin terisak, namun ditahannya dirinya. Entah bagaimana, ia tahu bahwa yang sedang menuju ke atas bukanlah suaminya. Ia merasakan kehampaan di jiwanya, seakan memperingatkannya... Ikatannya dengan James sangatlah kuat. Ia ingin berteriak histeris memanggil-manggil suaminya, namun bila itu dilakukannya, akan semakin mudah mereka berdua ditemukan. Yang bisa dilakukannya hanyalah menangis dalam diam dan membisikkan sepatah kata tak terucap.

James....

holding my last breath
safe inside myself
are all my thoughts of you
sweet raptured light it ends here tonight

closing your eyes to disappear
you pray your dreams will leave you here
but still you wake and know the truth
no one's there

Sekali lagi ia berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruknya, dan bahwa ia akan segera terbangun, berkeringat dan terengah-engah terduduk di tempat tidur, dengan Harry yang terlelap di sisinya. Dengan begitu ia masih bisa mencium Harry di keningnya, menenangkan dirinya bahwa itu cuma bunga tidur, bunga tidur yang ditanam di Azkaban dan terlalu lama menghirup oksigen yang sama dengan para Dementor itu. Bila tidak, ia berharap Dumbledore akan datang, seperti dalam beberapa mimpinya, menyelamatkan mereka semua. Bagaimanapun juga, Dumbledore dikatakan sebagai satu-satunya penyihir yang ditakuti oleh Voldemort. Dimana ia disaat dibutuhkan seperti ini? Sama seperti mimpinya, saat ia membuka mata ia tak ada di sana.

say goodnight
don't be afraid
calling me calling me as you fade to black

BRAKK!! Pintu menjeblak terbuka.

Trap, trap. Langkah kaki memasuki kamar Harry, di lantai dua.

Sosok berjubah hitam memasuki ruangan. Wajah ratanya yang pucat, seperti ular, tidak menunjukkan belas kasihan, tanpa ekspresi yang manusiawi. Lily memberanikan dirinya sekali lagi, mengingatkan dirinya lagi bahwa ia akan melindungi putranya. Sosok berjubah hitam itu melangkah mendekatinya, memerintahkannya untuk menyerahkan putranya, agar ia bisa membunuhnya. Agar ramalan bodoh yang belum tentu benar adanya tidak terlaksana.

"Jangan Harry! Jangan Harry! Kumohon―aku bersedia melakukan apa saja..." Lily tak memiliki pilihan lain, ia memohon demi hidup Harry. Tongkatnya di tangan satunya, tersembunyi di saku jubahnya. Tangan lainnya melindungi Harry dengan protektif, anak laki-laki itu tidur nyenyak tak terusik dalam pelukan ibunya. Dalam benaknya, Lily mempersiapkan rencana terakhir. Mantra terakhir yang akan memastikan keselamatan putranya, meski itu akan berganjaran nyawanya sendiri.

"Minggir―minggir, perempuan..." Sosok berjubah hitam mendorongnya hingga terjatuh, mencabut tongkatnya, siap mengucapkan kutukan terlarang untuk menyingkirkan siapapun dari jalannya. Lily mengucapkan dengan gemetar mantra yang diperlukan secara non-verbal, tongkat di tangannya digenggamnya erat. Mata emeraldnya tak lepas memandang si wajah rata, penyihir hitam paling ditakuti abad ini. Lord Voldemort....

Bersamaan dengan itu, Voldemort mengacungkan tongkatnya kepada Lily, siap mencabut nyawanya. Tatapan Lily tak goyah, biarpun dalam hatinya, ia berbisik, merapalkan nama suami dan putranya berulang-ulang. Bibir pucat itu menyeringai mengerikan, kemudian bergerak pelan, mengeja setiap suku kata dengan jelas.

holding my last breath
safe inside myself
are all my thoughts of you
sweet raptured light it ends here tonight

"Avada Kedavra!"

Sinar hijau melesat dari tongkat yew milik sang penyihir berjubah, berkilat menyeberangi ruangan, tepat mengenai dada si wanita berambut merah.

Mencuri desah napas terakhirnya.


A/N. Ah, baiklah, saya ga tau bagaimana mengakhirinya, jadi biarkan saja begitu lah :P. Err, percaya ga kalau ini sama sekali tidak dimaksudkan jadi fanfic? Soalnya kalo ya, saya pasti nulis lebih dari 2000 kata :P.

Labels: